Edi Triharyantoro
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Samarinda


PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan pengelolaan warisan budaya (cagar budaya) di Indonesia, jelas bahwa minat terhadap warisan budaya dan upaya pelestariannya muncul dan berkembang dalam alam lingkungan kolonial, terutama atas usaha komunitas Eropa pencinta barang seni dan benda unik-antik. G.E. Rumphius, seorang ahli ilmu alam yang banyak berkarya di Maluku, disebut sebut sebagai salah satu ilmuwan yang memicu minat terhadap warisan budaya di Indonesia. Pada tahun 1705, sarjana ini menerbitkan buku berjudul D’Amboinsche Rareteitkamer yang beberapa bagiannya menguraikan tentang temuan kuno seperti kapak batu, kapak perunggu dan nekara perunggu serta mitos mitos yang ada di balik benda benda itu. Sejak itu banyak peminat benda benda unik antik mulai melakukan penelitian dan mengoleksi tinggalan-tinggalan masa lampau, termasuk batu-batu candi dan benda-benda dari masa prasejarah. Bahkan, pada tahun 1778 berdirilah organisasi peminat dan peneliti benda seni dan antik yang diberi nama Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Sulaiman dkk, 1976, Tanudirjo, 1995).

Perhatian terhadap pengelolaan sumber daya arkeologi tersebut semakin berkembang dan semakin intensif tepatnya ketika pada tanggal 14 Juni 1913 pemerintah Belanda mendirikan Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie (Dinas Purbakala di Nederland-Indie). Sejak saat itu semua urusan yang berkaitan dengan warisan budaya di negara ini termasuk upaya mengumpulkan, mendaftar, meneliti serta melestarikan dan memanfaatkannya menjadi urusan negara.

Bagaimana setelah Indonesia merdeka? Tanudirjo menjelaskan bahwa kebijakan pengelolaan cagar budaya masih belum banyak berubah. Ia mengatakan bahwa ketika undang-undang baru tentang benda cagar budaya pengganti MO 1931 dirancang awal 1990 an, cara pandang yang lama itu tanpa disadari masih tetap dipakai. Tidak mengherankan, undang-undang no.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan MO 1931, peranan negara dalam pengelolaan warisan budaya tetap dominan dan cenderung menjadi bagian dari birokrasi pemerintah. Sementara itu hak dan partisipasi masyarakat luas belum dapat diwadahi dengan selayaknya. Sejauh ini penelitian di situs-situs purbakala hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah, sebagaimana juga terjadi di bidang pemugaran dan pelestarian (ibid).

Baru pada akhir tahun 2010 pemerintah secara politis mulai menunjukkan perhatiannya kepada peranan masyarakat dalam hal pengelolaan cagar budaya. Hal ini nampak dari diterbitkannya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dari 120 pasal yang ada di Undang Undang tersebut, 19 pasal mengatur kepentingan masyarakat dalam kaitannya dengan cagar budaya, antara lain mengenai kesejahteraan (pasal 3 huruf D), pengamanan cagar budaya (pasal 63), pemugaran (pasal 77 ayat 3), meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab (pasal 95), dan lainnya. Namun demikian perlu diketahui bahwa Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya tersebut dalam posisi masih ”sendiri”, artinya belum didukung dengan peraturan lainnya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan lainnya. Oleh karena itu dari aspek hukum Undang Undang tersebut belum optimal bila diterapkan di masyarakat.

Apabila kita amati berdasarkan perkembangan peraturan tentang cagar budaya yang telah disusun oleh pemerintah, nampak bahwa perkembangan tersebut menunjukkan adanya kemajuan dari aspek politik. Artinya pengelolaan cagar budaya yang pada awalnya hanya diatur oleh negara (pemerintah), tahap selanjutnya sudah mulai dipikirkan mengenai keterlibatan masyarakat di dalamnya, meskipun peraturan yang terinci mengenai keterlibatan tersebut belum ada. Dengan ini bisa dipahami bahwa sebenarnya pemerintah telah menetapkan azas pelestarian yang berlandaskan pada kepentingan masyarakat dalam mengelola cagar budaya, karena disadari bahwa sebagaimana sumber daya lainnya, sumber daya arkeologi pada hakekatnya adalah warisan untuk seluruh masyarakat, sehingga segala sesuatu yang terjadi padanya harus sepengetahuan masyarakat luas(Tanudirjo, 1998; McGimsey and Davis, 1977,. Cleere, 1990). Ini pula yang pernah digagas oleh Dickens dan C.E.Hill(Mayer-Oakes,1990) mengenai azas pengelolaan sumber daya budaya : ”Kita harus melestarikan sumberdaya budaya itu jika kita ingin mengambil manfaat darinya, kita harus mempelajarinya jika ingin memahami manfaat yang kita peroleh, dan kita harus menerjemahkan pengetahuan yang kita peroleh untuk masyarakat. Jadi dari masyarakatlah proses ini berawal, dan kepada merekalah semua itu harus diserahkan”

Pertanyaan yang perlu diletakkan dalam bidang makalah ini ialah seberapa jauh negara dalam hal ini pemerintah saat ini mengurusi pengelolaan cagar budaya dari aspek politik? Benarkah sudah tidak ada konflik kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat dalam pengelolaan tersebut, mengingat dua unsur tersebut merupakan hal yang sangat esensial dalam aspek politik


PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA DAN POLITIK IDENTITAS

Menurut Ismail Gani ada dua arti kata politik yang terpenting, satu yaitu politik dalam arti yang dipergunakan untuk menunjuk satu segi dari kehidupan manusia bersama dalam masyarakat yaitu segi kehidupan politik manusia, segi kehidupan bermasyarakat yang menyangkut hubungan kekuasaan. Dalam artian ini terkandung isi politik sebagai usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau memperluas serta mempertahankan kekuasaan. Dua, politik di dalam arti yang dipergunakan untuk menunjuk kepada suatu rangkaian tujuan yang hendak dicapai, atau cara-cara atau arah kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan, atau dengan kata yang lebih singkat adalah kebijaksanaan (Sulistyowati Ismail Gani, 1984).

Dalam pandangan Dye, politik didefinisikan sebagai ”the management of conflict”. Definisi ini didasarkan pada satu anggapan bahwa salah satu tujuan pokok pemerintahan adalah untuk mengatur konflik. Jadi pemerintahan sendiri pada dasarnya diperlukan untuk memberikan jaminan kehidupan yang tentram bagi masyarakatnya, terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik di antara individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Seperti dikatakan Dye bahwa, “the management of conflict is one of the basic purposes of government” (Thomas R Dey, 1988; Asep Saeful Muhtadi, 2008). Politik juga sering diartikan sebagai bermacam macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem tersebut dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut.(Miriam Budiarjo, 2004), namun politik juga berarti interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Dari beberapa pengertian tentang definisi politik yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat dirangkum bahwa pada intinya politik adalah berkaitan dengan soal penyelenggaraan pemerintahan dan negara, oleh karena itu kegiatan-kegiatannya diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan atas masyarakat dan berkaitan pula dengan pelaksanaan kebijakan publik.

Berkaitan dengan soal kegiatan pengelolaan warisan budaya atau cagar budaya, aspek politik muncul pertamakali dapat dikaitkan dengan masalah nasionalisme yang hampir mendominasi kehidupan negara negara di dunia. Pada umumnya dibawah dorongan nasionalisme, arkeologi melepaskan diri dari fokus utamanya pada evolusi dan lebih konsentrasi pada dokumentasi dan interpretasi dari data-data arkeologi dari masyarakat spesifik. Kecenderungan baru ini lebih berperan dalam mendiskripsi tinggalan arkeologi secara lebih lengkap dan lebih sistematis daripada yang pernah dilakukan sebelumnya. Lebih berarti lagi, utamanya di negara-negara kolonial, munculnya akeologi nasionalistik “ketika bercampur dengan rasa kekhawatiran akan martabat dari keberadaan umat manusia”, telah memberikan pertolongan perlawanan terhadap kolonialisme dan rasisme, dimana ke duanya sering memakai samaran (Philip L.Kohl dan Clare Fawcett, 2000).

Pada awal abad ke 19 nasionalisme telah membangkitkan perhatian begitu kuat pada sejarah, dan kemudian arkeologi. Di Spanyol para penulis mencatat seperti Margarita Diaz dengan mengutip Maravall mengatakan bahwa pada Abad Pertengahan di Spanyol telah muncul adanya kesadaran untuk memiliki satu kesatuan kebudayaan tunggal, yang kadang dapat disamakan dengan keinginan satu kesatuan politik. Pada abad ke 16 dan 17 konsep mengenai Spanyol sebagai kesatuan kebudayaan dan politik benar benar telah berkembang. Pada akhir abad 16 sejarah Spanyol ditulis tahun 1598 oleh Father Mariana. Demikian pula, kepustakaan menggambarkan perhatian tentang masa lampau dan sebuah pembelaan terhadap identitas Hispanik. Contoh yang menarik lagi ditulis Cervantes pada tahun 1584, tentang Numantia, kota Celtiberian yang bersejarah dalam perlawanan terhadap Roma pada abad ke 2.

Dari perspektif arkeologi, apa yang penting yang dirasa pada saat itu bahwa para intelektual mulai melihat kepada budaya materi di masa lampau, khususnya pada masa Klasik. Salah satu alasannya ialah bahwa memiliki item-item Klasik dan peninggalannya akan memperkuat jati diri perorangan maupun daerah. Selanjutnya, kaum terpelajar Eropa yang tertarik pereiode Klasik sejak abad 16, dengan bangganya mendaku miliknya dan tinggalan Klasik itu berada di wilayah mereka,. Adapun di Spanyol obyek-obyek kuno (arkeologi) dikumpulkan secara sistematis pada abad ke 15. Sebaliknya munculnya politik nasionalisme saat Revolusi Perancis pada akhir abad ke 18 awalnya tidak mempengaruhi arekeologi. Ini disebabkan karena pendorong utama gerakan menuju politik nasionalisme tidak berdasarkan kepada idntitas budaya. Oleh karena itu Bonaparte memutuskan untuk melindungi situs Italica yang tersisa semata karena keantikannya, dan bukan sama sekali sebagai symbol keruntuhan bangsa (Margarita Diaz, 2000).

Ada hubungan erat antara nasionalisme dengan perhatian terhadap cagar budaya merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Trigger menjelaskan, nasionalisme telah mempengaruhi pertanyaan arkeolog untuk menjawab dan mensortir data yang mereka kumpulkan sejak data tersebut menjadi kekuatan politik di Eropa dan bagian lain di dunia, terutama selama akhir tiga dekade abad ke sembilan belas. Oleh karena itu hubungan antara arkeologi dan nasionalisme pasti ada. Di Israel misalnya, nilai-nilai politik dari arkeologi untuk tujuan pembangunan telah diapresiasi, demikian pula di Jepang, hubungan arkeologi dengan nasionalisme telah didiskusikan sejak akhir Perang Pasifik di tahun 1945 (Fawcett, 1990;Tsude, 1986).

Budaya materi, artefak, situs, yang dirasa oleh arkeolog mampu menggambarkan banyak arti dalam sebuah kebudayaan, adalah focus dalam analisa arkeologi. Cagar budaya, dengan potensinya secara fisik dan tangible adalah mata rantai dengan masa lampau, memainkan peranan penting dalam perkembangan `identitas` secara luas (Zimmerman, 1998; Graham et al, 2000, Laurajane Smith, 2004). Untuk memahami konsekuensi praktis arkeologi dan interpretasi, dan interseksi arkeologi dengan kepentingan pribumi, identifikasi serta diskusi mengenai pentingnya identitas kebudayaan pribumi merupakan hal yang diperlukan. Pergerakan politik di Indian Amerika serta Pergerakan Hak-Hak Tanah Australia di akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970 dihubungkan dengan apa yang disebut sebagai `kebangkitan kembali kebudayaan`, telah mempertegas lagi akan pentingnya identitas kebudayaan pribumi. Kebudayaan materi telah mempermainkan peranan penting dalam menyangga dan melambangkan penekanan politik identitas ini (Laurajane Smith, 2004)

Demikian pentingnya politik identitas dalam pengelolaan cagar budaya maka Henry Cleere mengatakan bahwa ada tiga pokok kepentingan yang ada dalam pengelolaan cagar budaya, yakni kepetingan ideology dalam kaitannya dengan jati diri bangsa(politik), kepentingan akademik serta kepentingan ekonomi dalam kaitannya dengan pariwisata (Henry Cleere, 1990). Ideologi yang berlandaskan pada politik identitas pada dasarnya memang dipakai sebagai acuan di dalam pengelolaan cagar budaya, sebab menurut ideologi ini pemahaman yang mendalam akan identitas bangsa atau jati diri bangsa akan membawa bangsa tersebut kea rah kesatuan dan persatuan yang kuat.

Seperti sudah disinggung di muka bahwa di negeri kita tercinta ini pengelolaan cagar budaya yang bermuatan politik diawali dengan didirikannya Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie pada tanggal 14 Juni 1913. Sejak saat itu, semua urusan yang berkaitan dengan warisan budaya di negara ini termasuk upaya untuk mengumpulkan, mendaftar, meneliti, serta melestarikan dan memanfaatkannya menjadi urusan negara. Peran negara menjadi semakin kuat dengan diterapkannya Monumenten Ordonnantie No.19 tahun 1931 Staadblad 238. Ketentuan dalam ordonansi itu menyiratkan begitu besar penguasaan negara atas warisan budaya. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya MO 1931 merupakan upaya pemerintah colonial Belanda untuk menjamin akses mereka terhadap warisan budaya milik bangsa Indonesia. Dengan begitu, para peneliti dan peminat banda cagar budaya yang mayoritas orang Eropa dapat lebih leluasa melakukan eksplorasi sumber daya budaya itu (Tanudirjo, 2003).

Pengelolaan cagar budaya yang bermuatan politik identitas muncul ketika Undang Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya diterbitkan. Dalam bagian konsideran disebutkan menimbang : “bahwa benda cagar budaya yang merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional (Anonim, 1992). Namun di dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, nampaknya makna politik identitas yang tertuang dalam jati diri bangsa tersebut sudah tidak digunakan sebagai konsideran tetapi hanya disebutkan di dalam penjelasan atas undang-undang tersebut. Seperti diketahui bahwa di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 , terutama bagian konsideran menyebutkan sebagai berikut: “bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan seajarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat (Anonim, 2010). Dari perbedaan konsideran ke dua undang-undang tersebut, dapat dipahami bahwa politik identitas (jati diri bangsa) yang pada awalnya merupakan elemen sangat penting dalam pertimbangan untuk penyusunan undang undang cagar budaya tersebut, nampak bergeser menjadi kepentingan ekonomi masyarakat (untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat).

Sudah tentu pergeseran ini disebabkan karena pergeseran politik pemerintahan dari Orde Baru kepada Orde Reformasi. Hal ini menjadi lebih jelas ketika di dalam penjelasan undang-undang no.11 tahun 2010 tentang cagar budaya itu disebutkan bahwa “Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasi pemerintahan, perkembangan serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat” (Anonim, 2010).

Dikutipnya paradigma desentralisasi pemerintahan tersebut menunjukkan bahwa didalam pengelolaan cagar budaya saat ini juga tidak akan terlepas dengan sistem pemerintahan Otonomi Daerah. Sistem manajemen pemerintahan daerah dijalankan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan perbantuan. Sistem pemerintahan ini dalam pelaksanaannya belum memberikan kejelasan bagaimana seharusnya dilembagakan dalam sistem pemerintahan. Ketiga azas pemerintahan itu sebenarnya ingin memperjelas hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Miftah Thoha, 2009). Oleh karena itu ketika kita mengikuti begitu saja sistem tersebut dalam pengelolaan cagar budaya, maka sudah barang tentu akan terdapat bias esensi pekerjaan terthadapnya, mengingat bahwa pekerjaan pelestarian cagar budaya merupakan pekerjaan khusus dan penuh dengan muatan akademik.


PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA DI ERA OTONOMI DAERAH

Dari pengalaman yang selama ini kita alami, sering kita dengar melalui berbagai media antara lain adalah konflik antara pemerintah pusat dan daerah khususnya mengenai pengelolaan cagar budaya. Di satu sisi, pemerintah daerah merasa mempunyai kewenangan yang sangat besar untuk membuat kebijakan daerah khususnya untuk memberi pelayanan, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga kadang mereka begitu “berani” melakukan pengelolaan cagar budaya. Di sisi lain, pemerintah pusat merasa “ditinggalkan” dalam pengelolaan tersebut sehingga hasil darinya tidak sesuai dengan harapan bersama. Banyak contoh kasus yang dapat di kemukakan di sini antara lain ialah kasus Pabrik Es Petojo di Jawa Tengah, Benteng Sombaopu di Sulawesi, Gereja Immanuel di Kediri, Gereja Santoyosef di Pontianak, dan lainnya. Pelanggaran atau konflik itu muncul, pada hakekatnya adalah tidak terlepas dari dampak adanya sistem otonomi daerah yang diberlakukan selama ini.

Seperti sudah disinggung di muka bahwa azas dari pemerintahan daerah adalah desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam Perundangan Tentang Otonomi Daerah Ketentuan Umum Pasal 1 dijelaskan mengenai definisi kata desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Adapun tugas pemabantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Selanjutnya di dalam Perundangan Tentang Otonomi Daerah tersebut khusunya pasal 2 ayat (4) dan (5) dijelaskan sebagai berikut. Ayat (4) Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Adapun ayat (5) menyebutkan bahwa Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.

Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya lainnya (arkeologi) inilah pemerintah daerah melaksanakan kebijakan pengelolaan sumberdaya budaya. Namun demikian, mengingat bahwa sistem pemerintahan otonomi daerah itu sendiri belum jelas maknanya, maka sudah dapat kita bayangkan bahwa pelekasanaan pengelolaan cagar budaya di daerah juga tidak dapat ideal sesuai prosedur. Dalam hal ini pemerintah pusat (sekarang bernama Direktorat Tinggalan Purbakala) dalam rangka menyesuaikan kebijakan otonomi daerah tersebut telah menerapkan dua langkah yaitu dekonsentrasi dan tugas pembantuan (dekontp). Dekonsentrasi adalah kebijakan pemberian dana dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah untuk tujuan pelestarian cagar budaya non fisik misalnya untuk sosialisasi undang-undang, pelatihan ketrampilan teknis pengelolaan cagar budaya, pameran dan lainnya. Sedangkan tugas pembantuan adalah kebijakan pemberian dana Pemerintah kepada Pemerintah Daerah untuk tujuan pelestarian cagar budaya yang bersifat fisik seperti pemugaran bangunan, konservasi, dan lainnya.

Kebijakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut secara teknis diberikan kepada Guberrnur dan oleh Gubernur kemudian diserahkan kepada Dinas Pariwisata Propinsi yang akhirnya dana dibagi bagi keberbagai daerah kabupaten/walikota. Pada akhirnya kita bisa membayangkan bahwa sasaran kegiatan di daerah tidakoptimal. Halini disebabkan antara lain oleh ; 1. Pemerintah tidak melengkapi kebijakan tersebut dengan acuan acuan hukum atau juklakmaupun juknis tentang pengelolaan cagar budaya. 2. Pemerintah daerah tidak mempunyai pegangan teknis dalam pengelolaan tersebut sehingga banyak salah sasaran yang sering kita jumpai.

Memang benar seperti dikatakan oleh Timbul Haryono bahwa otonomi daerah membuka paradigma baru dalam pengembangan dan pengelolaan kebudayaan karena memberikan peluang kepada daerah untuk menggalipotensi yang dimiliki daerah. Namun demikian perlu disadari bersama oleh semua pihak bahwa pemanfaatan potensi di bidang pembangunan jangan sampai berbalik menjadi rusak atau musnahnya aset budaya (Timbul Haryono, 2005). Tidak jarang kita jumpai situs situs sangat penting berubah menjadi mall-mall megah simbol kapitalis ataupun masjid dan gereja kunodihancurkan untuk dibangun yang baru dengan alasan kurang mampu menampung jama’ah yang semakin membludak. Otonomi daerah yang hanya bertumpu pada landasan kepentingan ekonomi belaka akan membawa ke kehancuran cagar budaya.


PENUTUP

Pengelolaan cagar budaya adalah kebijakan khusus dalam pelaksanaan pemerintahan karena cagar budaya mempunyai banyak kandungan ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan. Oleh karena itu, hampir seluruh negara negara di dunia ini pada awal perhatiannya kepada cagar budaya selalu dikaitkan dengan poilitik identitas atau jati diri bangsa. Hal ini disebabkan karena dengan mengelola cagar budaya secara effektif maka simbol persatuan dan kesatuan dari bangsa tersebut akan juga terpelihara secara optimal.

Dalamkaitannya dengan otonomi daerah, pengelolaan cagar budaya menempati paradigma baru karena memberi peluang sebesar besarnya kepada daerah untuk mengelola potensi budaya daerahnya sendiri. Namun demikian tidak mudah melakukan hal tersebut bagi daerah karena kurangnya acuan teknis dan lemahnya sumber daya manusia sebagai pengelola.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah terhadap pengelolaan cagar budaya harus ada keseimbangan antar berbagai kepentingan baik pusat, daerah, masyarakat dan lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011, “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya” Jakarta, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Anonim, 1993, “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya”, Jakarta, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Budiardjo, Mirriam, Prof. 2008, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Haryono, Timbul, 2005, “Pengembangan dan Pemanfaatan Aset Budaya Dalam Otonomi Daerah”, Jakarta, Bulletin Cagar Budaya

Sulistyati, Gani Ismail, 1984, “Pengantar Ilmu Politik”, Jakarta, Yudistira

Kohl, L. Philip and Clarke Fawckett, 1995, “Nationalism, Politics, And The Practice Of Archaeology”, London, Cambridge University Press.

Muhtadi, Asep Saeful, Dr, 2008, “Komunikasi Politik Indonesia”, Bandung, Remaja Rosdakarya

Nur, Delian. 2007, “Ideologi Politik Dan Pembangunan”, Jakarta, LPPM Tan Malaka.

Smith, Laurajane, 2004, “Archaeological Theory And The Politics Of Cultural Heritage”, New York, Routledge Taylor Dan Francis Group.

———————-, 2006, “Uses Of Heritage”, New York, Routledge Taylor Dan Francis Group.

Tanudirjo, Daud Aris. 1998, “Cultural Resource Management Sebagai Manejemen Konflik” Dalam Majalah Artefak, Yogyakarta, Himpunan Mahasiswa Arkeologi FS-UGM.

—————————-, 2003, “Warisan Budaya Untuk Semua : Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia Di Masa Mendatang” Bukit Tinggi, Disampaikan Pada Kongres Kebudayaan V Di Bukittinggi.

Toha Miftah, 2009, “Birokrasi Pemerintahan Indonesia Di Era Reformasi”, Jakarta, Kencana Prananda Media Grup

*MAKALAH PIA 2011