Oleh: Widiati
Direktorat Warisan Budaya Bawah Air dan Masa Kolonial


1. Pendahuluan

Sudah sering terdengar bahwa perairan Indonesia kaya dengan sumber daya alam. Namun dalam 30 tahun belakangan ini, sumber daya budaya termasuk di dalamnya. Banyak pemburu ‘harta karun’–terutama dari luar negeri–melirik perairan Indonesia karena kandungan tinggalan budaya bawah air berupa muatan kapal-kapal kuno yang karam di dasar laut. Perhatian tersebut didasari atas latar belakang sejarah perairan Indonesia pada masa lalu sebagai jalur pelayaran perdagangan internasional. Berbagai kapal asing meramaikan perairan Nusantara, dan berbagai kecelakaan akibat berbagai peristiwa buruk memungkinkannya tenggelam di dasar laut. Oleh karena itu, biasanya informasi tentang lokasi kapal tenggelam diperoleh dari nelayan, yang tidak sengaja menemukannya, seperti mangkuk, piring atau guci berglasir. Benda-benda itulah yang menjadi petunjuk keberadaan sisa-sisa kapal kuno di dasar laut.

Peninggalan budaya bawah air di Indonesia mulai menjadi pusat perhatian setelah keberhasilan pencarian dan pengangkatan muatan kapal tenggelam di perairan Riau, Sumatera tahun 1986 oleh seorang warga negara asing. Keberhasilannya meraup keuntungan jutaan dolar dalam lelang temuan muatan kapal, mendorong banyak pihak untuk mengikuti jejaknya mencari, menemukan, dan mengangkat tinggalan budaya bawah air di perairan Indonesia. Namun disayangkan pengangkatan itu tidak diikuti dengan penelitian arkeologi bawah air yang seharusnya.

Kegiatan penelitian tinggalan bawah air dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu arkeologi oleh instansi terkait hingga saat ini belum pernah dilakukan. Sebenarnya penelitian arkeologi bawah air sudah pernah dilakukan di Indonesia, yaitu oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (dulu Puspan). Pada 1981 instansi tersebut telah membuka langkah awal dalam penelitian arkeologi bawah air. Ketika itu telah didata enam situs arkeologi bawah air atau yang diduga mengandung tinggalan arkeologi di dalamnya di sekitar Laut Jawa (Nurhadi, 1985). Namun setelah itu hingga kini tidak diketahui kelanjutan terhadap penelitian dan hasil temuan-temuannya, bahkan gaung terhadap kegiatan ini di Indonesia seolah-olah sirna.

Dalam waktu sekitar 25 tahun belakangan ini di berbagai belahan dunia telah ditemukan sekitar 33 lokasi kapal tenggelam yang diidentifikasi sebagai kapal VOC (Jerzy Gawronski, 1992:14). Data-data tersebut terbatas pada peninggalan-peninggalan dari setelah abad ke-16, yaitu setelah orang-orang-orang Eropa mulai terlibat langsung dalam perdagangan laut internasional (Rijksmuseum, 1992:30). Penemuan terhadap kapal-kapal Belanda tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya pencarian data melalui penelusuran catatan sejarah yang dibuat orang-orang pada masa itu. Catatan itu tidak jarang memudahkan penemuannya di kemudian hari. Sementara itu keberadaan lokasi kapal-kapal tenggelam sebelum datangnya orang-orang Eropa dalam aktivitas pelayaran di perairan Indonesia, meskipun barangkali juga meninggalkan catatan sejarah, agak sulit menemukan rekaman tertulisnya.


2. Kebijakan Pengelolaan Tinggalan Budaya Bawah Air di Indonesia

Sejak tahun 2005 hingga saat ini, melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.17/HK.01/MKP-2005, tertanggal 27 Mei, tinggalan budaya bawah air ditangani tersendiri oleh satu instansi yaitu Direktorat Peninggalan Bawah Air (PBA) yang berada di dalam lingkup Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sebelumnya, penanganan temuan ini menjadi kewenangan dari subdit perlindungan, pada direktorat yang menangani peninggalan purbakala. Perluasan kewenangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari makin besar permasalahan yang harus dipecahkan. Sehubungan dengan itu, maka penyiapan pengelolaannya dalam berbagai aspek seperti regulasi, peningkatan sarana prasarana, sumber daya manusia, dan anggaran, merupakan hal yang mutlak dilakukan dalam rangka melestarikan peninggalan tersebut dan mengelolanya sebaik mungkin agar memberikan manfaat besar bagi masyarakat luas.

Penyediaan peraturan perundangan-undangan yang tegas dan komprehensif sangat dibutuhkan sebagai dasar dalam pengelolaan pelestarian peninggalan budaya bawah air selanjutnya. Karena selama ini tinggalan budaya bawah air tidak hanya menjadi domain perhatian lembaga pemerintah yang menangani bidang kebudayaan saja, tetapi juga lembaga pemerintah lain seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Lembaga-lembaga pemerintah yang menjadi anggota Panitia Nasional atau Pemerintah Daerah.

Selain itu, karena berbagai aktivitas yang tercakup di dalam pengelolaan peninggalan bawah air seperti survei, ekskavasi, pengolahan data, konservasi benda temuan, maupun penyediaan tempat penyimpanan, maka sangat diperlukan penyediaan sarana prasana yang memadai. Meskipun demikian, penyediaan sarana prasarana tersebut tidak akan bermanfaat maksimal apabila tidak didukung oleh penyediaan sumber daya manusia handal yang sesuai dengan bidang yang ditanganinya. Aktivitas yang berlangsung di dalam penanganan peninggalan budaya bawah air ini termasuk yang berisiko tinggi (high risk) dan juga membutuhkan biaya tinggi (high cost), terutama terkait dengan pengadaan peralatan khusus, dan membutuhkan waktu yang relatif cukup panjang–baik untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan, pengolahan data, penanganan temuan, dll– termasuk pembinaan sumber daya manusia.

Tahun 2010 telah terbit undang-undang cagar budaya nomor 11. Undang-undang ini secara eksplisit mencantumkan pengaturan tentang tinggalan budaya bawah air, yang tidak ditemukan dalam undang-undang cagar budaya sebelumnya. Dalam pasal 26 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa:

  1. pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya;
  2. pencarian cagar budaya atau yang diduga cagar budaya dapat dilakukan oleh setiap orang dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air;
  3. pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) hanya dapat dilakukan melalui penelitian dengan tetap memperhatikan hak kepemilikan dan/atau penguasaan lokasi;
  4. setiap orang dilarang melakukan pencarian cagar budaya atau yang diduga cagar budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali dengan izin pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Sementara itu pasal 27 menyebutkan bahwa ‘ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya diatur dalam peraturan pemerintah’.


3. Penanganan Tinggalan Budaya Bawah Air

Kegiatan pencarian dan pengangkatan tinggalan budaya bawah air seperti yang diamanatkan dalam undang-undang di atas telah dilakukan oleh para investor asing yang bekerja sama dengan perusahaan swasta nasional. Selama ini keterlibatan investor dalam kegiatan tersebut dikoordinasikan oleh Panitia Nasional BMKT (Barang Muatan Kapal Tenggelam) melalui Peraturan Presiden No.19 tahun 2007. Namun tujuannya semata-mata untuk kepentingan komersial, maka yang diupayakan adalah mengangkat benda temuan sebanyak-banyaknya dan dalam kondisi baik. Hal itu tidak sesuai dengan amanat dalam pasal 26 ayat (3), yang tujuannya adalah penelitian, yang sudah tentu harus mengikuti kaidah penelitian arkeologi.

Oleh karenanya data yang dihasilkan dalam aktivitas yang dilakukan para investor tersebut menjadi tidak maksimal. Informasi yang didapat terbatas mengenai keletakan situs di dalam air (titik koordinat dan kedalamannya), jenis dan jumlah benda yang telah diangkat, dan biasanya dokumentasi selama proses pengangkatan. Sementara data tentang aspek-aspek lain cenderung terabaikan, seperti konteks antar temuan di dalam himpunan temuan, dan konteks temuan dengan ekosistem di dasar laut.

Menurut catatan Panitia Nasional BMKT, sejak tahun 1989 hingga tahun 2010 telah dilakukan 13 kali kegiatan pengangkatan muatan kapal tenggelam di perairan Indonesia. Enam lokasi berada di wilayah perairan Pulau Sumatera, khususnya di Kepulauan Riau dan Bangka Belitung, enam lokasi tersebar di perairan Pulau Jawa, mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, dan satu lokasi berada di selat Karimata, Kalbar (tabel 1). Seluruh lokasi itu merupakan runtuhan dari sisa-sisa perahu kuno yang memuat keramik Cina dalam jumlah relatif besar, yang diperkirakan sebagai barang dagangan.

Tabel 1. Kegiatan Pengangkatan Tinggalan Budaya Bawah Air
oleh Panitia Nasional BMKT

NO

TAHUN

LOKASI

1

1989

Perairan P.Buaya, Riau

2

1993

Perairan Tuban, Jawa Timur

3

1996

Perairan Selat Karimata, Kalbar

4

1996

Perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat

5

1999

Perairan Batu Itam, Belitung

6

2000

Perairan Selat Gelasa, Belitung

7

2004

Perairan Cirebon, Jawa Barat

8

2005

Teluk Sumpat, Kepulauan Riau

9

2005

Perairan Karang Heluputan, Kepulauan Riau

10

2007

Perairan Mandalika, Jepara Jawa Tengah

11

2008

Perairan Mandalika, Jepara Jawa Tengah

12

2008

Perairan Karawang, Jawa Barat

13

2009

Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung

 

Direktorat Peninggalan Budaya Bawah Air, sebagai instansi teknis yang menangani pelestarian tinggalan budaya bawah air, hingga saat ini masih terbatas melakukan kegiatan survei tinggalan bawah air. Kegiatan itu sesungguhnya dimulai dari langkah paling awal, yaitu mendapatkan informasi mengenai potensi budaya bawah air di daerah perairan tertentu. Informasi tersebut diperoleh dari berbagai sumber, melalui laporan penemuan, arsip, dokumen lama di pusat arsip, maupun di museum atau dari masyarakat setempat. Informasi dari masyarakat nelayan selama ini paling sering terjadi.

Ketika mulai dibentuknya instansi teknis ini, setidaknya 12 daerah perairan telah disurvei dan diindentifikasi. Sejumlah situs bawah air tersebar di perairan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Bangka-Belitung, Bali, Ambon, Maluku Utara, Karimunjawa, dan Kepulauan Seribu (tabel 2). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa situs-situs tinggalan bawah air tidak hanya berupa kapal-kapal kuno yang tenggelam, tetapi juga berupa reruntuhan pesawat terbang PD II, yang selama ini banyak ditemukan tersebar di perairan Indonesia timur, seperti di Halmahaera Utara, Maluku Utara. Hingga saat ini belum satu lokasi dengan tinggalan budaya bawah air tersebut yang telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Kondisi ini sudah tentu menjadi tantangan tersendiri di masa depan.

Tabel 2. Kegiatan Survei dan Pemetaan Lokasi Peninggalan Budaya Bawah Air

NO

TAHUN

LOKASI SITUS

1

2006

Selayar, Sulawesi Selatan

2

2006

Barang Lompo, Sulawesi Selatan

3

2007

Pesisir Selatan, Sumatera Barat

4

2007

Tulamben, Bali

5

2008

Sagori, Buton, Sulawesi Tenggara

6

2009

Pulau Nangka, Bangka

7

2009

Wayame, Teluk Ambon, Ambon

8

2009

Selat Lembe, Bitung, Sulawesi Utara

9

2009

Tobelo, Halmahera Utara

10

2009

Tidore, Maluku Utara

11

2010

Karimunjawa, Jawa Tengah

12

2010

Kepulauan Seribu

 

Perairan Indonesia diduga kaya dengan potensi tinggalan bawah air. Upaya pelestarian terhadap tinggalan ini sudah tentu harus didukung berbagai aspek Keterbatasan anggaran merupakan salah satu kendalanya, di samping terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia handal yang mampu melakukan pelestarian dan penelitian arkeologi di bawah air.

Hingga saat ini di dalam lingkungan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, tercatat sebanyak 58 orang memiliki sertifikat selam, tersebar di tingkat pusat dan di daerah (tabel 4). Dari jumlah itu, sebanyak 19 orang bersertifikat tingkat dasar (A1), 34 orang bersertifikat tingkat lanjut (A2), dan 5 orang bersertifikat tingkat mahir (A3). Untuk melakukan penelitian arkeologi bawah air, sudah tentu dibutuhkan setidaknya arkeologi penyelam bersertifikat tingkat lanjut (A2) dan mahir (A3), dengan jam selam yang cukup tinggi (berpengalaman). Keadaan ini dapat dimengerti karena kegiatan penyelaman di dasar laut dengan kedalaman tertentu, dipastikan berisiko tinggi jika tidak dipersiapkan dengan baik.

Untuk meningkatkan kemampuan para penyelam tersebut, telah diupayakan mengikutkan mereka dalam pelatihan underwater archaeology di luar negeri, seperti di Thailand yang setiap tahun diselenggarakan secara rutin oleh Unesco. Pada saat ini sedang diupayakan pelatihan underwater archaeology yang diampu oleh Unesco, pada masa yang akan datang, akan diselenggarakan di Indonesia, dengan melalui pendirian pusat pengembangan kompetensi peninggalan bawah air di kota Makassar.

Tabel 3. Distribusi Peninggalan Budaya Bawah Air

NO

TAHUN

TUJUAN

JUMLAH

1

*

BPSNT Padang

100

2

*

Museum Adityawarman, Padang

101

3

2006

BP3 Batu Sangkar

101

4

2007

Jurusan Arkeologi, UGM

100

5

2007

Departemen Arkeologi UI

100

6

2007

Museum Kabupaten Belitung

100

7

2007

Museum Siwa Lima, Ambon

97

8

2007

Dinas Budpar Provinsi Jambi

100

9

2008

Museum Prov. Sumatera Utara

125

10

2008

Balai Arkeologi Medan

124

11

2008

Jurusan  Arkeologi UNUD

25

12

2008

Jurusan Arkeologi UNHAS

124

13

2008

Museum Kabupaten Belitung

1000

14

2008

Pemda Wakatobi, Sulawesi Tenggara

100

15

2009

Museum Kabupaten Belitung

2000

16

2010

Departemen Arkeologi UI

25

17

2010

Fak. Sastra UNUD

85

18

2010

BPSNT Bali

45

19

2010

BTN Kepulauan Seribu

49

20

2010

Balai Arkeologi Bandung

116

21

2010

Balai Konservasi Peninggalan Candi Borobudur

34

22

2010

Balai Arkeologi Ambon

100

23

2010

Museum Nasional

675

24

2010

Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

117

25

2010

Muskala Jarahnitra Disbudpora Cirebon

100

26

2010

Museum Ranggawarsito, Jawa Tengah

100

27

2010

Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

100

28

2010

BPSNT Tanjung Pinang

200

29

2011

Balai Arkeologi Makassar

100

30

2011

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Bangka

100

 

 

Jumlah

5.620

 

Terkait dengan keberadaan lokasi sisa-sisa tinggalan budaya di sejumlah perairan di Indonesia dan mengidentifikasinya, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh instansi teknis pelestarian adalah mengupayakan benda dan lokasinya yang berada di dasar laut ditetapkan sebagai benda dan situs cagar budaya.

Balai Taman Nasional Karimunjawa, mencatat bahwa setidaknya di dalam perairan zona kawasannya terdapat 38 titik lokasi kapal tenggelam. Beberapa titik lokasinya telah disurvei dan diidentifikasi oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air, sebagian lainnya masih harus dikaji untuk menilai layak atau tidak layaknya untuk ditetapkan sebagai cagar budaya. Mengingat sebarannya yang cukup padat di perairan tersebut, maka untuk melestarikan peninggalan bawah air di Karimunjawa, Direktorat Peninggalan Bawah Air dalam tahun anggaran 2010 berupaya menyusun sebuah masterplan untuk pengembangan dan pemanfaatan kawasan tersebut.

Di sisi lain, dalam rangka pemanfaatan tinggalan budaya bawah air, Direktorat Peninggalan Bawah Air telah mendistribusikan tinggalan budaya bawah air terutama keramik hasil pengangkatan ke berbagai berbagai lembaga pendidikan, penelitian maupun instansi pemerintah yang membutuhkan untuk dimanfaatkaan berbagai kepentingan (tabel 3).

Tabel 4. Ketersediaan SDM Peselam

 

No

 

INSTANSI

«1

«2

«3

JUMLAH

1

Direktorat PBA

10

7

17

2

BP3 Serang

1

1

2

3

BP3 Aceh

1

1

4

BP3 Batusangkar

5

1

6

5

BP3 Jambi

1

6

7

6

BP3 Jawa Tengah

3

3

7

BP3 DIY

3

3

8

BP3 Jawa Timur

1

1

9

BP3 Bali

3

2

5

10

BP3 Makassar

3

1

4

11

BP3 Gorontalo

1

1

12

BP3 Ternate

1

1

13

Balai Arkeologi DIY

3

1

4

14

Balai Arkeologi Palembang

3

3

 

Total

19

34

5

58

 

Keramik-keramik itu merupakan sitaan TNI Angkatan Laut di perairan Selat Gelasa, Bangka Belitung yang diangkat oleh investor asing bekerja sama dengan perusahaan swasta nasional yang tidak melalui prosedur semestinya. Sangat disayangkan, sebelum terjadi penangkapan, sejumlah besar benda telah dibawa ke Australia melalui laut. Sekitar 29.000 keramik Cina sisanya di lokasi pengangkatan, disita dan dijadikan barang bukti dalam sidang pengadilan. Sementara benda-benda lolos ke luar negeri sebanyak 43 kontainer dilelang di Stuttgart, Jerman dan dikenal sebagai muatan kapal kuno Tek Sing.

Tinggalan budaya bawah air yang diangkat dibuat dari beragam jenis bahan seperti kayu, logam, kaca, keramik, dan gading yang selama ratusan tahun terendam di dasar laut. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila tinggalan itu mengadung kadar garam yang sangat tinggi, ditambah tumbuhan atau binatang laut yang melekat pada permukaannya. Semua itu akan sangat mempengaruhi kondisi benda, apabila terjadi perpindahan lokasi dari dasar laut ke daratan. Untuk kepentingan melestarikannya, maka Direktorat Peninggalan Bawah Air juga melakukan konservasi terhadap seluruh benda hasil pengangkatan bawah air, termasuk benda-benda sitaan TNI AL tersebut.

Oleh karena tinggalan budaya bawah air dianggap temuan bernilai ekonomis tinggi, maka tidak mengherankan apabila benda-benda itu menarik minat banyak orang untuk memilikinya, sudah tentu dengan berbagai cara, baik ilegal maupun legal. Sejak tahun 2005, yaitu ketika mulai berdirinya Direktorat Peninggalan Bawah Air hingga saat ini, setidaknya tercatat 11 pelanggaran terkait dengan pengangkatan tinggalan budaya yang dilakukan tanpa izin atau pencurian di berbagai perairan di Indonesia (tabel 5).

Tabel 5. Penanganan Kasus Pelanggaran Peninggalan Budaya Bawah Air

NO

TAHUN

PELANGGARAN

PENANGANAN

1

2005

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Taman Nasional Ujung Kulon Pelaku divonis 6 bulan

2

2005

Pengambilan sampel PBA tanpa izin di perairan Cirebon Penyidikan dihentikan

Dilanjutkan tahun 2008

3

2006

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Kalimantan Barat Tahap gelar perkara

4

2006

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Belitung Pelaku divonis 4 bulan

5

2006

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Cirebon Penerbitan SP3

6

2007

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Jepara Penyidikan

7

2008

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Makassar Penyidikan

8

2008

Pengambilan sampel PBA tanpa izin di perairan Taman Nasional Kepulauan Pulau Seribu Penyidikan

9

2008

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Selayar, Sulawesi Selatan Penyidikan

10

2010

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Blanakan, Cirebon oleh nelayan Penyidikan

11

2010

Pengambilan PBA tanpa izin di perairan Blanakan, Cirebon oleh Michael Hatcher Surat cekal thd Michael Hatcher

 

Selain bernilai ekonomis, yang utama dari peninggalan budaya bawah air ini adalah nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan yang sangat tinggi yang menyertai tinggalan itu. Namun sangat disayangkan bahwa tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui, menyadari, dan memahami tentang hal tersebut. Oleh karenanya dalam upaya meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan pemahaman masyarakat terhadap budaya masa lalu yang berada di bawah air ini, Direktorat Peninggalan Bawah Air merasa perlu, secara rutin menyelenggarakan sosialisasi dan pameran tentang peninggalan tinggalan budaya bawah air ke berbagai daerah di seluruh Indonesia terutama yang terletak di pesisir pantai, seperti daerah-daerah di sepanjang pantai utara Pulau Jawa (tabel 6).

Tabel 6. Kegiatan Sosialisasi dan Pameran Tinggalan Budaya Bawah Air

NO

TAHUN

LOKASI

JENIS KEGIATAN

1

2006

Jakarta (Sapta Pesona)

Pameran

2

2007

Jakarta (Sapta Pesona)

Pameran

3

2007

Jakarta (Hotel Sahid)

Pameran

4

2007

Jakarta (Sapta Pesona)

Pameran

5

2008

Jakarta (Museum Kebangkitan Nasional)

Pameran & Sosialisasi

6

2008

Palembang (Museum Sriwijaya)

Pameran & Sosialisasi

7

2008

Makassar (Benteng Rotterdam)

Pameran & Sosialisasi

8

2008

Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Pameran

9

2008

Gresik, Jawa Timur

Pameran

10

2008

Jakarta (Sapta Pesona)

Pameran

11

2009

Manado, Sulawesi Utara

Pameran

12

2009

Pekalongan, Jawa Tengah

Pameran

13

2009

Karawang, Jawa Barat

Pameran & Sosialisasi

14

2009

Rembang, Jawa Tengah

Pameran & Sosialisasi

15

2009

Belitung

Pameran & Sosialisasi

16

2009

Jakarta (Sapta Pesona)

Pameran

17

2010

Kepulauan Seribu

Pameran & Sosialisasi

18

2010

Ambon

Pameran

19

2010

Indramayu, Jawa Barat

Pameran

20

2010

Bangka

Pameran & Sosialisasi

21

2011

Kepulauan Seribu

Pameran

22

2011

Lombok, NTB

Pameran dan Sosialisasi

22

2011

Tanjung Pinang

Pameran

23

2011

Palembang, Sumsel

Pameran

 

 

Jumlah

23

 

Masih dalam upaya menyebarluaskan informasi tentang peninggalan budaya ini beserta seluruh aspek yang terdapat di dalamnya kepada masyarakat, maka Direktorat Peninggalan Bawah Air juga menerbitkan sejumlah publikasi yang memuat berbagai aspek yang terkait dengan tinggalan budaya bawah air (tabel 7).

Tabel 7. Judul Terbitan Direktorat Peninggalan Bawah Air

NO

TAHUN

JUDUL

JENIS

1

2006

VARUNA

Jurnal

2

2007

VARUNA

Jurnal

3

2007

Katalog PBA di Indonesia

Katalog

4

2007

Perawatan dan Pengawetan Koleksi PBA

Pedoman

5

2008

VARUNA

Jurnal

6

2009

VARUNA

Jurnal

 

4. Penutup

Tinggalan budaya bawah air merupakan salah satu aset budaya bangsa yang bernilai ilmu pengetahuan, sejarah, kebudayan dan juga ekonomis. Oleh karena itu melestarikannnya menjadi satu keharusan. Untuk itu pengelolaannya pun harus dilakukan secara baik agar memberikan nilai manfaat yang besar bagi masyarakat secara luas. Namun disadari bahwa untuk mewujudkannya bukan merupakan hal yang mudah. Kurangnya pengertian dan pemahaman di berbagai lapisan masyarakat dan di tingkat birokrasi, setidaknya turut berperan dalam upaya pelestariannya. Keadaan tersebut turut mempengaruhi pengambilan keputusan dalam berbagai aspek seperti dalam penyusunan regulasi, penyiapan sumber daya manusia, penyediaan sarana dan prasarana, serta anggaran yang tidak sedikit jumlahnya.

Yang menjadi masalah besar saat ini adalah belum satu pun lokasi tinggalan bawah air yang ditemukan tersebar luas di perairan Indonesia, telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Belum lagi pada sejumlah besar lokasi yang belum diketahui. Menjadi keharusan pemerintah untuk mencarinya seperti yang diamanatkan dalam undang undang nomor 11 tahun 2010. Hal ini menjadi tantangan besar bagi instansi terkait dalam rangka melestarikan tinggalan bawah air ini. (Widiati/Direktorat Warisan Budaya Bawah Air dan Masa Kolonial)