Oleh: Suko Widodo

Pertengahan September 2006, sejumlah elemen masyarakat Surabaya memprotes peresmian patung Sir Thomas Stamford Rafles. Patung setinggi 5 meter itu dibangun di sebuah kompleks perumahan elite di Surabaya Barat. Para pemrotes merasa bahwa patung yang dibangun itu merupakan representasi dari kaum penjajah. Hasilnya, protes tak digubris dan patung itu tetap berdiri sebagai sarana “promosi” produk perumahan yang bernuansa Singapura.

Sementara, di bagian utara Surabaya ada sebuah jembatan yang menyimpan kisa besar dalam konteks perjuangan mempertahankan kemerdekaan, namanya Jembatan Merah. Tetapi tidak banyak warga Surabaya sendiri yang mengetahui jembatan itu dengan kisahnya. Orang Surabaya saat ini mungkin lebih mengenal “Jembatan merah Plasa” – yang berdiri disamping jembatan tersebut. Akibatnya makna jembatan merah dalam konteks perjuangan sejarah kemerdekaan menjadi sirna di telan waktu.

Dua kisah di atas bisa menjelaskan bahwa betapa orang tak peduli tentang masa silam, sekalipun memiliki informasi atau pesan penting. Orang Surabaya (mungkin juga Indonesia), justru ada kecenderungan memonumenkan sesuatu yang bukan miliknya (asing) dalam kehidupannya. Akibatnya, banyak orang yang kemudian tidak mengenal wilayahnya dan perkembangan kebudayaannya sendiri.

Menghadirkan sebuah material dan peristiwa di masa silam dalam perhelatan wacana kekinian memang bukan perkara mudah. Perbedaan konteks waktu dan konteks nilai menjadi “penghambat” dalam proses penghadiran masa silam itu. Oleh karena itu diberlukan sebuah rekonstruksi terhadap pola berpikir kekinian agar bisa memahami bahwa masa silam adalah bagian inti dari masa kini.

Kehadiran “kekunoan” asing atau kehadiran “kebaruan” yang menggusur kekunoan lokal, tak akan terjadi di Surabaya dan berbagai kota di Indonesia manakala konstruksi berpikir warganya memahami dengan baik makna penting arkeologi. Menghadirkan arkeologi sebagai bagian dari wacana kekinian masyarakat juga tidak cukup hanya dengan membangun fisik (material) dari benda kuno itu. Karena yang penting dari sebuah publikasi arkeologi bukan sekedar material bendanya, tetapi nilai yang dikandung dari benda itu. Karenanya, diperlukan strategi pengkomunikasian yang tepat untuk membangun kesadaran publik terhadap makna arkeologi.


Memahami Strategi Komunikasi

Komunikasi secara sederhana dipahami sebagai tindakan proses pengiriman pesan dari satu pihak ke pihak lain. Dalam teori klasik, Harold D. Laswell mendiskripsikan formula pertanyaan untuk menjelaskan makna komunikasi; yakni: who says what in which to whom and with what effect? (siapa berkata apa melalui saluran apa kepada siapa dan dengan pengaruh apa?). Jawaban atas formula pertanyaan Laswell itulah yang bisa menjadi rujukan memahami proses komunikasi. Jawabannya adalah bahwa komunikasi itu melibatkan sejumlah elemen dalam prosesnsya. Di dalamnya terdapat unsur atau elemen: (a). komunikator, sebagai pihak penyampai pesan; (b) pesan, yaitu materi informasinya; (c) media, yakni saluran komunikasi untuk pengiriman pesan; (d) penerima pesan/ khalayak, yaitu pihak yang menjadi sasaran atau penerima pesan; (e) dampak, yaitu pengaruh atas akibat terkirimnya pesan.

Sementara itu, R. Wayne Pace (2002) menjelaskan terdapat 3 tujuan utama dari tindakan komunikasi, yakni: to secure understanding, to establish acceptance, dan to motivate action; (memastikan adanya pengertian informasi atau pesan, membina pengertian, dan membangun motivasi atas pengertian tersebut).

Dengan demikian, strategi komunikasi sesungguhnya merupakan sebuah perencanaan tindakan terencana dalam mendiseminasikan informasi melalui media tertentu untuk khalayak dengan tujuan tertentu. Esensi dari tujuan komunikasi itu sendiri adalah terciptanya pengertian yang sama. Penretian sama antara pengirim informasi dan penerima informasi. Mempublikasikan arkeologi, berarti mengkomunikasikan arekeologi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat memiliki pengertian atau pemahaman sama dari penggiat yang bergerak dalam dunia arkeologi.

Dalam teori komunikasi modern, komunikasi cenderung tidak bersifat satu arah. pemahaman ini lantaran didasarkan bahwa publik bukanlah orang yang menerima apa adanya informasi. Publik adalah entitas manusia yang juga memiliki sikap aktif dan mungkin melawan isi informasi. Oleh karenanya, strategi komunikasi harus dibangun berdasarkan karakter dan kondisi publik itu sendiri.

Dan B. Curtis (2000), mendeskripsikan komunikasi sebagai tindakan komunikasi yang mengarah pada pelbagai perubahan, yakni social change/ participation, opinion change, attitude change dan behavioral change. Dengan demikian, tindakan komunikasi dari sebuah strategi yang ditetapkan harus mengarah pada upaya perubahan. Tujuan akhirnya sekali lagi adalah “kesamaan pengertian”. Kemampuan melakukan perubahan persepsi, opini dan sikap dari khalayak atau publik inilah yang menjadi tugas utama dari para perancang komunikasi.

Ada sejumlah konsep strategi komunikasi yang banyak dimanfaatkan dalam memasarkan sebuah produk atau gagasan. Misalnya yang dikembangkan Philip Kloter dengan Konsep 4P (Product, Place, Price, Promotion). Tahun 1990-an juga berkembang konsep bauran komunikasi (mix communication), yang kemudian berkembang dengan apa yang disebut integrated marketing communication (IMC)/ komunikasi pemasaran terpadu. Tetapi inti dasarnya sejatinya adalah tindakan pendistribusian informasi untuk sebuah pengaruh tertentu.

Maka dengan demikian, kunci dasar dari tujuan strategi komunikasi adalah bagaimana mengusahakan perubahan pemahaman dari khalayak. Sedangkan dampak akhirnya adalah perubahan perilaku berupa “ketundukan” khalayak mengikuti anjuran pesan atas tindakan komunikasi itu.

Inti dasar dari strategi komunikasi adalah menciptakan/ mengupayakan adanya “proximity” entitas arkeologi dalam imajinasi publik. Oleh karena itu, perencanaan strategi sejatinya juga sangat kontekstual merujuk pada kepentingan yang hendak dituju. Catatan berikut sekiranya dapat menjadi rujukan dasar awal untuk mengupayakan agar arkeologi menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia:


1. Pentingnya Membangun Image Arkeologi

Di masa alalu dan bahkan hingga sekarang ini pun, arkeologi selalu mendapat cap tentang “kekunoan”. Image ini agaknya menjadi kendala untuk menancapkan pada generasi yang tidak pernah mengalami masa lalu atas nilai kekunoan tersebut. Rentang waktu panjang membuat jarak “frame of experience” dan “frame of reference” antara informasi arkeologi tersebut dengan publik (sebagai konsumen).

Disinilah kemudian diperlukan creator yang bisa menjembatani nilai informasi masa silam menjadi bagian dari masa kini. Lebih dari mengkreasi inofrmasi, dalam konteks bauran komunikasi diperlukan tenaga pemasar yang piawai untuk membawakan atau menghantarkan informais tersebut.

Para creator harus menetapkan entitas arkeologi sebagai product-knowledge. Penetapan ini bermaknakan bahwa arkeologi sebagai sebuah pesan. Maka dengan demikian, perlu identifikasi terhadap nilai informasi yang terkandung dalam material arkeologi. Misalnya, saat ini publik mengetahui bahwa Kerajaan Majapahit itu berpusat di Trowulan, Mojokerto. Maka, informasi yang bisa dikomunikasikan kepada publik jangan semata-mata hanya berupa benda-benda purbakala. Harus disediakan informasi yang sifatnya in-tangible yang mampu membawa imajinasi bagi publik. Selama ini, kritik yang harus ditujukan kepada arkeolog adalah ketidak-terssampaikannya informasi yang berkualitas tentang ke-arkeologian kepada publik. Akibatnya, ketika publik melihat atau menyaksikan sesuatu yang kuno, maka cara pandangnya (persepsinya) hanya berdasarkan pandangan kasat mata belaka. Sampai sekarang belum banyak dikembangkan informasi yang dikemas dengan efektif yang mampu menyita “kebutuhan” publik. Dengan demikian, publik tidak memperoleh manfaat sama sekali dan tidak tertarik.

Pada dasarnya, tindakan komunikasi diperlukan untuk mewujudkan adanya perubahan main-set publik terhadap makna arkeologi. Bangunan kesadaran baru diperlukan agar publik tidak menjadi berjarak dengan makna arkeologi tersebut.


2. Otorisasi Kelembagaan

Selama ini, arkeologi hanya dikelola oleh Badan Purbakala saja dan sejumlah perguruan tinggi. Lembaga pengelola ke-arkeologian lebih disibukkan dengan urusan penyelanatan produk arkeologi. Kesibukkan ini seolah tidak memberikan peluang serius untuk melakukan relasi dengan publik.

Diperlukan sebuah system yang dinamis yang bisa menciptakan partisipan baru untuk bersama-sama mengembangkan entitas arkeologi. Partisipan baru itu diantaranya lembaga perpustakaan, sekolah, dan sebagainya lembaga-lembaga itu bisa menjadi partner dalam mengembangkan ke-arkeologian. Sementara itu pula, kelembagaan kepurbakalaan harus dikembangkan lebih besar baik dalam otoritasnya maupun pendanaannya.

Lembaga Kepurbakalaan pendek kata harus berperan sebagai sebuah lembaga komunikasi. Oleh karena itu, diperlukan sdm berikut perangkat komunikasi yang bisa “membawa” nilai masa silam atas entitas arkeologi dalam benak publik masa kini. Pesan dari benda kuno dengaan perangkat komunikasi terbaru, akan mempercepat proses penyadaran atas pentingnya makna arkeologi.


3. Proses atau Tindakan Komunikasi

Tindakan komunikasi adalah serangkaian kegiatan pengumpulan informasi, pengelolaan informasi, pendesainan informasi dan pendistribusian informasi, serta monitoring dan evaluasi. Dalam banyak pengalaman, program bangunan penyadaran di Indonesia lebih bertumpu pada distribusi informasi yang lazim disebut sosialisasi. Pada konteks ketika media informasi jumlahnya terbatas, pendekatan sosialisasi sangatlah mungkin melahirkan dampak signifikan sesuai harapan pengelola informasi. Kondisi ini sangat berbeda tatkala media komunikasi sudah demikian variatif, yang memungkinkan banyak sumber informasi mengembangkan paket-paket wacana informasi. Ketika publik memiliki alternative informasi, maka mereka membandingkan ke-akuraian informasi dan menyeduaikannya dengan kepentingannya.

Sebagaimana konsep komunikasi baru, maka tindakan komunikais bukanlah sekedar mencetak brosur dan menyebarkannya. jauh lebih dari itu harus memilihkan sudut bidik informasi yang compatible dengan kebutuhan publik, memilih media yang efektif, serta merespon balikan atau respon atas informasi tersebut.

Pendek kata, tindakan komunikasi itu tak bisa dilakukan secara sepihak dan harus berlangsung secara terus menerus. Sebagaimana tujuan akhir komunikasi yakni membangun motivasi dan mendorong partisipasi; maka komunikasi juga dilakukan secara terus menerus dengan tahapan-tahapan sesuai konteks kondisi publiknya sebagai sasaran informasi.

Sejarah adalah pelajaran berharga dari masa silam yang penting bagi masa depan. Dari sejarah kita belajar akan keberhasilan masa silam dan belajar menyesali kekeliruan. Arkeologi adalah sejarah yang harus menjadi bagian dekat dalam kehidupana bangsa Indonesia, jika ingin masa depan Bangsa Indonesia lebih baik****

*MAKALAH PLENO PIA 2011