Libra Hari Inagurasi
Puslitbang Arkenas


1. Latar Sejarah dan Pertumbuhan Pabrik Gula di Indonesia

Sejak berabad-abad, gula pasir sebagai suatu mata dagangan komersial telah dikenal dan dibuat di Indonesia. Gula menjadi mata dagangan yang penting karena dibutuhkan manusia sebagai bahan pemanis minuman, makanan, dan sumber kalori. Sehubungan dengan hal tersebut dikenal pembuatan gula dari cara sederhana hingga modern. Bahan baku untuk membuat gula adalah tebu. Pada awalnya pembuatan gula dilakukan dengan cara sederhana menggunakan ”kilang”, alat pemeras tebu dibuat dari bahan batu berbentuk silinder. Bersamaan dengan kemajuan teknologi maka pembuatan gula mengalami perubahan dari cara tradisional kemudian beralih ke cara menggunakan mesin dan mendirikan pabrik-pabrik gula (Inagurasi. 2010).

Peninggalan pabrik gula merupakan bagian dari warisan industri (industrial heritage) yang terdapat di Indonesia. Beberapa warisan industri yang dijumpai di Indonesia antara lain: peninggalan pabrik gula, pabrik karet, pabrik teh, pabrik batubara, dan lain sebagainya. Peninggalan pabrik gula di Indonesia memiliki keterkaitan sejarah dengan bangsa Indonesia yang cukup panjang. Awal pertumbuhan pabrik gula di Indonesia berlangsung pada masa kolonisasi Belanda abad ke-19 M. Munculnya pabrik-pabrik gula yang digerakkan oleh mesin ketika itu sekaligus menandai awal pertumbuhan industri di Indonesia.

Secara umum pertumbuhan industri gula di Indonesia berlatarbelakang pada beberapa hal, yakni politik, ekonomi, kemajuan teknologi, dan potensi daya dukung lingkungan. Perubahan pemerintahan masa kolonisasi Belanda di Indonesia dari serikat dagang Belanda VOC (Vereniging Oost-Indische Compagnie) ke pemerintahan Hindia-Belanda turut berpengaruh terhadap pendirian pabrik-pabrik gula. Berawal dari pemerintahan Hindia-Belanda yang menerapkan sistem ekonomi liberal pada tahun 1870. Secara ringkas yang dimaksud dengan sistem ekonomi liberal ialah modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia, khususnya mendirikan usaha perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun daerah di luar Jawa dengan cara menyewa tanah (Leirissa.1980:299). Sistem ekonomi liberal tersebut menggantikan sistem ekonomi yang ada sebelumnya yakni ekonomi cultuurstelsel atau disebut juga “Tanam Paksa”, Ketika penerapan cultuurstelsel pemerintah sangat berperan dalam perekonomian. Cultuurstelsel ditentang oleh orang-orang yang menganut faham liberal di Belanda. Mereka menuntut kepada Pemerintah Kerajaan Belanda untuk menghapuskan cultuurstelsel dan memberi peluang kepada para pemilik modal untuk mendirikan usaha.

Sehubungan dengan diberlakukannya sistem ekonomi liberal tersebut modal swasta milik para pengusaha Eropa masuk ke Hindia Belanda, mereka menyewa tanah-tanah diusahakan sebagai perusahaan perkebunan tebu dan mendirikan pabrik-pabrik gula tempat untuk mengolah tebu-tebu dari perkebunan menjadi gula.. Bahan baku gula yakni tebu (Saccharum officinarum) dibudidayakan secara besar-besaran sebagai tanaman industri. Lambat laun pabrik-pabrik gula jumlahnya semakin bertambah. Pendirian pabrik gula disertai dengan adanya undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda pada abad ke-19. Undang-undang mengenai pembudidayaan tebu (Wet op de Suikercultuur) diberlakukan sejak tahun 1878, selain itu terdapat pula Fabrieken Ordonantie dan Grondhuur Ordonantie tahun 1899 dan diperbaiki tahun 1922, tentang peraturan-peraturan pelaksanaan pendirian pabrik gula dan penyewaan tanah kepada pabrik gula (Hardjosoepoetro. 2008:17–18).

Pabrik-pabrik gula didirikan oleh para pengusaha Eropa di Pulau Jawa di luar kota Batavia pada pertengahan abad ke-19, seperti di pesisir utara Pulau Jawa dari daerah Cirebon di sebelah barat hingga daerah Pasuruan di sebelah timur. Namun demikian pengusaha pabrik gula bukan hanya orang Eropa tetapi terdapat juga pengusaha orang-orang Cina. Oei Tiong Ham, tercatat sebagai kelompok pengusaha gula terkemuka sebelum Perang Dunia II (Chudori.2005:32-33). Selain di pesisir utara Jawa, pabrik gula juga didirikan oleh para bangsawan di daerah kerajaan di pedalaman Jawa yakni di sekitar Surakarta. Para bangsawan mendirikan pabrik gula sebagai salah satu sumber pendapatan kerajaan (Hardjosoepoetro.2008:28; Tim Penelitian.2003). Mengenai persebaran pabrik gula di Jawa lihat peta berikut ini.

Sumber: Inagurasi. 2010

Masa pendudukan Jepang tahun 1942—1945 diambil alih oleh tentara Jepang, kecuali dua buah pebrik gula milik Praja Mangkunegaran yakni Pabrik Gula Tasikmadu dan Colomadu di Surakarta dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri. Setelah kemerdekaan Indonesia sekitar tahun 1950-an hubungan Indonesia dengan Belanda membaik, maka para pengusaha di sektor industri gula diperbolehkan beroperasi kembali. Pabrik-pabrik gula yang hancur akibat peprangan di rehabilitasi. Namun dengan adanya konfrontasi dengan Belanda untuk merebut Irian Barat pada tahun 1957, semua pabrik gula diambil alih pemerintah Indonesia (Hardjosoepoetro.2008: 15—30).


2. Arkeologi Industri dan Warisan Industri Gula

Saat ini terdapat perubahan paradigma arkeologi, semula menitikberatkan pada ranah akademis untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dalam perkembangannya kemudian ditujukan kepada ranah praktis yakni memperhatikan pula segi pemanfaatannya bagi masyarakat. Demikian pula halnya dengan peninggalan pabrik gula. Dengan latarbelakang sejarah pergulaan di Indonesia yang cukup panjang sudah tentu pabrik gula menyimpan peninggalan-peninggalan bernilai sejarah, arkeologis, dan arsitektur. Sebagai salah warisan industri, apabila dikelola, dikembangkan ke ranah praktis dapat memberikan manfaat, antara lain untuk objek wisata. Akan tetapi apabila sebuah kawasan pabrik gula akan dikelola untuk kepentingan praktis yang memiliki nilai ekonomis, alangkah baiknya dilakukan penelitian arkeologi secara tuntas terlebih dahulu.

Terdapat dua hal yang sangat bertolak belakang yakni pada satu pihak terdapat keinginan mengembangkan peninggalan pabrik gula untuk kepentingan praktis, namun dipihak lain tinggalan arkeologi berupa pabrik-pabrik gula belum pernah disentuh oleh penelitian arkeologi untuk kepentingan akademis. Dengan kata lain penelitian arkeologi dengan objek peninggalan pabrik gula untuk pengembangan ilmu pengetahuan masih sangat sedikit sekali dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut sebelum peninggalan pabrik gula dikelola, dikembangkan untuk kepentingan praktis seyogyanya terlebih dahulu dilakukan penelitian arkeologi, adapun kajian yang digunakan ialah arkeologi industri.

Arkeologi industri dijadikan titik tolak dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan pabrik gula di Indonesia pada hakekatnya merupakan perkembangan dari Revolusi Industri yang berlangsung di Inggris abad ke-18 yang selanjutnya menyebar ke Belanda hingga ke Indonesia. Pada prinsipnya arkeologi industri merupakan sebuah studi sistematis mengenai struktur dan artefak-artefak sebagai sarana untuk memperluas pemahaman kita tentang industri di masa lalu. Arkeologi industri memberikan bukti-bukti nyata mengenai perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi dengan jangka waktu sejak munculnya industrialisasi di Inggris (Palmer. 1998: 1).

Diakui bahwa kajian arkeologi industri memiliki pandangan yang Eropa sentris artinya berkiblat dari pandangan ahli arkeologi Eropa. Hal tersebut dapat dipahami mengingat Eropa merupakan tempat lahirnya Revolusi Industri. Konsekuensinya ialah bahwa objek-objek arkeologi industri adalah situs-situs yang memiliki keterkaitan dengan Revolusi Indstri. Objek-objek arkeologi industri di Inggris ialah sisa-sisa industri dan pengangkutan masa lampau seperti bangunan-bangunan pabrik, molen (mill, penggilingan atau tempat pemintalan), mesin-mesin uap, sisa-sisa jalan kereta api, lokomotif uap, kanal, rangka besi untuk bangunan, jembatan besi, pintu air, dan kanal-kanal yang berasal dari abad ke-18 dan 19. Objek-objek tersebut merupakan monumen-monumen yang berasal dari zaman uap air (Hudson.1979:1). Artefak-artefak, monumen-monumen industri yang terdapat pada situs-situs industri di Eropa pada hakekatnya juga ditemukan pada situs pabrik gula di Indonesia.

Minat terhadap kajian arkeologi industri didorong oleh keinginan untuk menambah pengetahuan mengenai industri pada masa lampau yang masih terpendam yang belum diteliti, dan keinginan untuk memperluas pemahaman tentang perubahan teknologi yang dipilih dari generasi ke generasi (Hudson.1976:1). Pabrik-pabrik gula yang terdapat di Indonesia menyimpan pengetahuan tentang teknologi yang belum banyak diketahui karena belum banyak diteliti, arkeologi industri memiliki peran penting untuk mengungkapnya.


3. Cakupan Arkeologi Industri Kawasan Pabrik Gula

Dengan mempelajari arkeologi industri yang dirintis dari Inggris, telah membuka pemahaman bagaimana dan seperti apa melakukan penelitian pada tinggalan pabrik gula di Indonesia. Penelitian tersebut lebih ditekankan guna kepentingan pengembangan ilmu arkeologi. Peninggalan industri baik itu pabrik gula, pabrik karet, pertambangan batubara, pertambangan minyak, dan lain sebagainya pada umumnya adalah sebuah kawasan yang luas. Kendatipun demikian industri gula merupakan industri termegah dibandingkan dengan industri lainnya pada masa yang sama. Industri gula meninggalkan jejak monumental.

Berdasarkan pengamatan penulis ketika melakukan penelitian pabrik-pabrik gula di daerah pantai utara Jawa, cakupan arkeologi industri kawasaan pabrik gula meliputi unit-unit pengamatan sebagai berikut, (1) andskap/bentang lahan, (2) sub-sub kawasan, (2) macam ragam bangunan arsitektur, dan (3) artefak teknologi uap. Landskap atau bentang lahan sangat menentukan keletakan sebuah pabrik gula. Di Pulau Jawa pada umumnya berada di dataran rendah, dekat dengan sumber air. Dataran rendah di bagian utara Pulau Jawa merupakan lokasi yang dipilih untuk mendirikan pabrik-pabrik gula, dengan pertimbangan daerah-daerah tersebut diapit oleh dataran tinggi (perbukitan) di sebelah selatan merupakan hulu sungai. Sungai-sungai yang berhulu di derah perbukitan tersebut mengalir ke arah utara dan bermuara ke Laut Jawa. Di tepi-tepi aliran sungai itulah pabrik gula didirikan. Sungai besar perannya bagi industri gula. Hampir semua pabrik gula didirikan berdekatan dengan sungai. Pabrik-pabrik gula di Kendal didirikan di tepi Sungai Bodri, pabrik-pabrik gula di Pemalang didirikan dekat Sungai Comal dan Cibiuk, pabrik-pabrik gula di Jombang didirikan di dekat Sungai Brantas. Debit air dalam jmlh banyak merupakan sumber energi yang akan menggerakkan mesin-mesin bertenaga uap di pabrik gula. Tidak jarang dibangun jembatan dan dibuat saluran air baru, saluran air tersebut untuk menghubungkan antara sungai dengan perkebunan tebu (Tim Penelitian Tahun 2004; Tim Penelitian 2006).

Pabrik gula menempati sebuah kawasan yang luas yang dinamakan emplasemen, sebagai contoh Pabrik Gula Cepiring di Kendal memiliki luas kurang lebih 5 hektar (Inagurasi.2010). Kawasan pada pabrik gula dapat di perinci menjadi beberapa sub kawasan yang lebih kecil yakni (1) sub kawasan pabrik, (2) sub kawasan pemukiman, dan (3) sub kawasan rekreasi. Sub kawasan pabrik, merupakan kawasan utama atau inti, ditandai dengan adanya bangunan industri yakni bangunan pabrik tempat aktivitas industri gula berlangsung. Sub kawasan pemukiman, kawasan tersebut diandai dengan berdirinya sekelompok bangunan-bangunan tempat tinggal orang-orang yang bekerja di pabrik gula, baik dari golongan atas pemmpin pabrik (administrateur), menengah (para ahli mesin, chemicher: ahli pengolah tebu menjadi gula), hingga golongan bawah (para buruh). Letak antara kawasan pemukiman golongan atas-menengah dengan kawasan pemukiman golongan bawah dibedakan. Kedua kawasan pemukiman tersebut penempatannya dipisahkan. Sub kawasan rekreasi ditandai dengan adanya sarana rekreasi yakni gedung societiet dan kolam renang, seperti yang terdapat pada Pabrik Gula Comal di Pemalang dan Pabrik Gula Cepiring di Kendal (Tim Penelitian 2004).Untuk lebih jelasnya mengenai pembagian sub-sub kawasan pabrik gula tersebut maka perlu dilakukan pemetaan.

Perkebunan tebu merupakan bagian dari pabrik gula, karena pada hakekatnya perusahaan pemilik pabrik gula adalah sekaligus pemilik perkebunan tebu, berbeda dengan sub kawasan lainnya pada kawasan perkebunan tebu tersebut tidak terdapat tinggalan monumen industri. Tetapi terkadang dijumpai toponimi atau nama yang menunjukkan tempat yakni “Patebon” pada perkebunan tebu yang artinya ialah tempat atau lokasi penanaman tebu. Toponimi tersebut dijumpai di Pabrik Gula Cepiring Kendal (Inagurasi. 2010).

Kawasan pabrik gula menyimpan bangunan-bangunan bersejarah yang monumental. Bangunan-bangunan bersejarah tersebut memiliki nilai arsitektur atau gaya bangunan pada masanya yakni bangunan-bangunan kolonial (indis) berasal dari abad ke-19 dan awal abad ke-20. Arsitektur bangunan pada kawasan pabrik gula tersebut merupakan bangunan “langka” yang jarang ditemukan di masa kini. Oleh sebab itu nilai penting bangunan-bangunan di kawasan pabrik gula ialah terletak pada nilai arsitektural dan historisnya. Berbagai ragam bangunan yang terdapat pada kawasan pabrik gula dapat dikelompokkan sebagai berikut, (1) bangunan indutri, (2) bangunan tempat tinggal, (3) bangunan perkantoran, masing-masing kelompok bangunan tersebut memiliki gaya bangunan yang berbeda. Kelompok bangunan industri fungsi utama ialah untuk aktivitas industri gula yakni kelompok bangunan pabrik. Bangunan industri tersebut memiliki ciri khas terdapat cerobong asap (chimney) pabrik yang tinggi yang mudah terlihat. Fungsi cerobong asap untuk membuang asap pabrik. Kelompok bangunan tempat tinggal dibedakan antara tempat tinggal untuk golongan atas-menengah dan golongan bawah. Termasuk dalam golongan atas-menengah ialah pemimpin pabrik-perkebunan tebu (administrateur) dan para tenaga ahli (ahli mesin/masinis, ahli pengolahan gula) adapun bawah ialah para buruh pabrik. Bangunan tempat tinggal dua golongan tersebut juga memiliki perbedaan. Bangunan rumah tempat tinggal untuk golongan atas-menengah ukurannya lebih besar, memiliki nilai arsitektur bangunan indis yang berkembang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan perpaduan gaya Eropa dan kebutuhan penyesuaian dengan iklim tropis yang panas dan basah. Bangunan tempat untuk golongan bawah sederhana, ukurannya lebih kecil, berupa petak bangunan atau barak. Bangunan-bangunan kuna di kawasan pabrik gula menjadi daya tari dari disiplin arsitektur. Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universiatas Katolik Sugijapranata, Semarang, telah melakukan penelitian di Pabrik Gula Tasikmadoe di Karanganyar, Jawa Tengah, dengan tema “Eksplorasi Tema Perancangan Pabrik Gula Tasikmadoe”. Penelitian tersebut menitikberatkan pada segi perancangan kawasan pabrik gula dan arsitektur, merupakan upaya awal untuk mengetahui potensi-potensi dari sudut nilai tempat yang dikandungnya (Widjaja. 2002).

Kawasan pabrik gula menyimpan artefak-artefak spesifik yakni artefak teknologi uap ditandai dengan adanya mesin penggerak tenaga uap, ketel uap (boiler). Teknologi uap merupakan sebuah kemajuan teknologi yang dicapai umat manusia sejak munculnya Revolusi Industri abad ke-18. Penemuan teknologi uap tersebut berdampak pada kemajuan peradaban manusia di berbagai bidang. Di bidang industri teknologi uap tersebut merupakan teknologi utama yang digunakan dalam sistem kinerja pabrik, menggerakkan crusher (alat pemotong batang tebu), mills (mesin pemeras tebu), hingga memasak nira tebu. Energi mesin bertenaga uap berasal dari uap air dalam jumlah banyak yang dipanaskan. Air pada umumnya diperoleh dari sungai atau sumber air lainnya waduk, telaga. Melalui saluran-saluran irigasi dan kincir, air dialirkan menuju pabrik dan dimasukkan ke dalam ketel-ketel uap untuk dipanaskan. Selain teknologi industri kawasan pabrik gula juga menyimpan teknologi transportasi berbasis teknologi uap yakni lori (kereta barang) pengangkut tebu yang ditarik oleh oleh lokomotif bertenaga uap. Di dalam lokomotif terdapat tungku berbahan bakar kayu dan tangki air. Air dipanaskan dan uapnya digunakan untuk menggerakkan jalannya lokomotif. Mesin penggerak tenaga uap, ketel uap, lokomotif uap, yang terdapat pada pabrik-pabrik gula di Indonesia berasal dari Belanda dan Jerman, antara lain berasal dari pabrik GEBR STORK & Co HENGELO di Belanda (Inagurasi.2010).


4. Dari Penelitian Arkeologi Industri untuk Pendirian Pusat Informasi Teknologi

Uraian mengenai penelitian arkeologi industri pada kawasan pabrik gula yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, merupakan pokok bahasan dalam ranah akademis. Ranah tersebut menitikberatkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan yakni pengetahuan tentang awal peradaban industri di Indonesia. Selanjutnya hasil-hasil penelitian tersebut di rekomendasikan untuk pemanfaatan peninggalan pabrik gula. Selain menjalankan fungsi sebagai tempat memproduksi gula, juga menyimpan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang ikut serta dalam kegiatannya (Widjaja.2002). Sehubungan dengan hal tersebut, pemanfaatan kawasan pabrik gula mempertimbangkan nilai-nilai tersebut.

Pabrik gula menyimpan potensi-potensi, antara lain kawasannya cukup luas dengan bangunan-bangunan dalam jumlah banyak dan ukuran besar. Kenyataannya kawasan dan bangunan pada pabrik gula di masa kini banyak yang tidak difungsikan, terbengkalai. Penanganan yang tepat terhadap kawasan bangunannya tersebut secara arsitektural merupakan salah satu upaya untuk menghindari kesia-siaan atau kehancuran tanpa makna dari potensi bangunan tua tersebut (Widjaja. 2002). Selama ini telah diupayakan pengelolaan pabrik gula sebagai destinasi wisata diantaranya ialah Pabrik Gula Tasikmadu, di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pabrik Gula Tasikmadu selain berfungsi sebagai bangunan industri juga terdapat wahana rekreasi dengan konsep perpaduan wisata perkebunan, industri, edukasi, dan agrowisata. Konsep wisata tersebut cakupannya cukup luas meliputi berbagai tema yang dikemas dalam sebuah paket wisata. Melalui paket wisata tersebut pengunjung menikmati atraksi wisata sejarah budaya dan memperoleh pengetahuan industri (solodejava.blogspot.com. diunduh 14 September 2011).

Penulis beranggapan, selain sebagai tujuan wisata masih terdapat hal penting lainnya berkaitan dengan pemanfaatan pabrik gula yakni aspek pengetahuan teknologi. Dilihat dari kemajuan teknologi, pabrik-pabrik gula menyimpan pengetahuan kemajuan teknologi uap air yang dikenal sejak Revolusi Industri. Teknologi uap air merupakan teknologi yang telah tua umurnya dan besar perannya dalam peradaban manusia. Dengan dikenalnya teknologi uap air pekerjaan manusia menjadi lebih ringan, dari teknologi tersebut maka muncul lokomotif uap, kapal uap dan lain sebagaintya. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, di masa kini teknologi up air banyak ditinggalkan, tidak dipakai, digantikan dengan dengan temuan-temuan baru dibidang teknologi (energi lisrik, energi bahan bakar minyak dan sebagainya).

Apabila teknologi uap air tersebut sudah punah, lenyap karena digantikan oleh teknologi yang lebih canggih, tentu teknologi uap air tersebut tidak dikenali lagi oleh generasi sekarang dan akan datang. Hal itulah yang mendasari munculnya pemikiran atau gagasan bahwa kawasan pabrik gula juga dapat dikembangkan sebagai pusat informasi teknologi industri. Setiap pabrik gula yang masih aktif sebaiknya menyediakan sebuah Pusat Informasi Teknologi Industri yang bisa ditempatkan pada sebuah bangunan bersejarah. Pusat informasi tersebut berisi informasi mengenai teknologi industri telah di capai di Indonesia pada abad ke-19. Cakupannya ialah ragam kemajuan teknologi berbasis air (uap air), informasi yang disusun secara runut, bagaimana air bisa diubah menjadi energi yang menggerakkan mesin-mesin pabrik-pabrik gula, lokomotif. Informasi tersebut tersebut dirangkum dari materi artefak-artefak teknologi industri dilengkapi dengan data-data dokumenter seperti foto-foto kuna. Pusat informasi tersebut bermanfaat bagi pengunjung kawasan pabrik gula pada umumnya dan siswa atau pelajar khususnya, sebagai sarana pembelajaran untuk mendapat pencerahan pengetahuan kemajuan teknologi masa lampau yang hampir punah ditelan zaman.

Di situlah tempat orang mencari informasi teknologi uap. Disitulah orang akan mendapat pengetahuan bahwa industri gula adalah industri yang benar-benar mempertimbangkan faktor lingkungan. Melalui pusta informasi itulah arkeologi memiliki peran memberikan masukan-masukan bahwa punahnya pabrik-pabrik gula antara lain juga disebabkan oleh menurunnya kwalitas lingkungan di masa sekarang. Sebagai contoh menurunnya kwalitas sungai baik berkurangnya debit air, menyempitnya aliran sungai karena pendangkalan menyebabkan pasokan air untuk untuk energi pabrik berkurang, berkurangnya lahan perkebunan tebu di Pulau Jawa mengurangi bahah baku pabrik gula, dan juga ditemukannya sumber-sumber energi baru seperti minyak bumi, listrik juga menjadi penyebab ditinggalkannya teknologi uap air.

Indonesia telah memiliki Museum Gula yakni yang terdapat di Pabrik Gula Gondang Baru, Jawa Tengah. Museum tersebut pada hakekatnya juga menyimpan informasi tentang teknologi industri gula. Di luar negeri yakni Belanda dan Inggris, warisan industri berupa pabrik-pabrik kuna telah dikelola menjadi museum-museum industri sebagai objek wisata. Museum WERKSPOOR, museum yang di rancang sebagai museum industri. Museum tersebut berlokasi di pulau Oostenburg, berada di dekat sungai tempat penambatan kapal, dan markas Angkatan Laut Belanda. Gedung museum merupakan bangunan kuna yang berasal dari tahun 1660. Lantai dasar gedung museum merupakan ruang pamer berisi koleksi peralatan rumah tangga atau furniture peninggalan Dutch East India Company atau masa VOC. Lantai 1 untuk ruang pamer koleksi mesin-mesin industri produksi dari perusahaan WERKSPOOR di masa lalu (http://stork.nl diunduh 7 januari 2010). Di Inggris terdapat The New Britain Industrial Museum (www.nbim.org). Dan masih banyak museum industri lainnya

Dibandingkan dengan di Indonesia yang hanya memiliki satu buah museum Museum Gula dan belum memiliki museum industri (?), maka penyebarluasan informasi teknologi industri gula kurang memadai. Oleh karena itulah pendirian pusat informasi teknologi tersebut pada kawasan pabrik gula sekaligus merupakan bagian dari upaya meningkatkan apresiaisi masyarakat terhadap warisan industri. Tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran, yang jelas untuk pengelolaan pabrik gula perlu adanya koordinasi, kerjasama, komitmen atau kemauan dari pihak-pihak terkait para pemangku kepentingan (stakeholders).


Daftar Pustaka

Chudori.2005. Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Hardjosoepoetro, Sarjadi Soelardi. 2008. Gula Manuskrip Ir Sarjadi Soelardi Hardjosoepoetro. Jakarta: RMBOOKS.

Hudson, Kenneth. 1976. A Pocket Book for Industrial Archaeologist. London: John Baker.

Hudson,Kenneth.1979.World Industrial Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.

Inagurasi, Libra Hari. 2010. ”Pabrik Gula Cepiring di Kendal, Jawa Tengah, Tahun 1835–1930, Sebuah Studi Arkeologi Industri”. Tesis, Program Studi Magister Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Leirissa.1980 Leirissa, RZ (Ketua Tim Penulis).1982. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Palmer. 1998 Marilyn and Peter Neaverson. Industrial Archaeology Principles and Practice. London: Routledge.

Tim Penelitian. Laporan Penelitian Arkeologi Arkeologi Industri di Surakarta dan Sekitarnya, Jawa Tengah. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, 2003.

Tim Penelitian. 2004. Laporan Penelitian Arkeologi Industri di Pantai Utara Jawa Tengah Tahun. Jakarta: Asisten Deputi Urusan Arkeologi, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Tim Penelitian. 2006. Laporan Penelitian Arkeologi Teknologi Industri dan Seni Bangun Masa kolonial di Jombang, Jawa Timur. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Tim Penyusun.tt.Warisan Industri Gondang. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Widjaja, A. Robert Rianto. 2002. Laporan Penelitia “Eksplorasi Tema Perancangan Pada pabrik Gula Tasikmadoe”, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

http://stork.nl diunduh 7 januari 2010

solodejava.blogspot.com. “Perpaduan Nuansa Unik di Taman Agrowisata Sondokoro”, diunduh 14 September 2011.

http://www.nbim.org