Oleh: Yadi Mulyadi
Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin


1. Pendahuluan

Pada pertengahan September 2011 masyarakat Sulawesi Selatan termasuk di Makassar dan khususnya Watampone, dihebohkan oleh temuan gua prasejarah baru di Desa Langi, Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone. Dapat dikatakan bahwa, rasa ingin tahu masyarakat cukup besar dengan temuan gua prasejarah tersebut, salah satunya terlihat pada rubrik SDP (surat Dari Pembaca) di salah satu media lokal. Dalam SDP tersebut disebutkan tentang temuan gua prasejarah tersebut dan salah satu poin yang cukup menggelitik disini adalah permintaan dari pengirim SDP agar pemerintah daerah Bone segera menghubungi ahli Geologi untuk melakukan penelitian, sehingga gua prasejarah tersebut menjadi objek wisata sejarah. Permintaan ahli Geologi inilah yang membuat rasa ingin tahu penulis tentang tingkat pemahaman masyarakat mengenai arkeologi. Kedua, bagaimana relasi antara pemberitaan arkeologi di media cetak dengan pemahaman masyarakat tentang arkeologi khususnya di Makassar.

Hipotesis yang dibangun adalah apakah pemberitaan arkeologi di media cetak memberikan dampak positif pada persepsi masyarakat Makassar tentang arkeologi atau tidak berkorelasi. Diharapkan dengan menguji hipotesis ini, diperoleh informasi sejauhmana efektifitas pemberitaan arkeologi di media cetak, sehingga dapat memberikan data terkait dengan formulasi yang tepat dalam memanfaatkan media cetak sebagai sarana untuk publikasi arkeologi. Hal ini berdasarkan fakta bahwa media memiliki peran yang vital dalam membangun persepsi masyarakat, dengan demikian publikasi arkeologi yang tepat di media cetak diharapkan dapat membangun persepsi masyarakat yang tepat tentang arkeologi. Dalam hal ini, arkeologi publik dipahami sebagai cara dalam mempublikasikan arkeologi dengan tujuan memberikan pemahaman yang benar tentang arkeologi pada masyarakat, khususnya dikaitkan dengan kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya.

Adapun pemilihan media cetak lokal sebagai sumber data mengenai pemberitaan arkeologi, didasarkan pada jumlah oplah dan hasil survey tentang media cetak favorit di mata masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, terpilih dua media cetak yaitu Harian Fajar dan Tribun Timur. Harian Fajar merupakan media cetak yang tergabung dalam grup Jawa Pos yang memiliki jumlah oplah terbesar untuk setiap terbitannya. Sedangkan harian Tribun Timur berdasarkan survey yang dilakukan tahun 2011 oleh Nielsen dinobatkan sebagai Koran No.1 di Makassar. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kedua media cetak ini dianggap merepresentasikan media cetak lokal yang ada di Makassar.


2. Metode Penelitian

Pemberitaan arkeologi yang dijadikan objek kajian berasal dari kedua media cetak tersebut mulai dari kurun waktu 2008-2011. Identifikasi berita arkeologi dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan mana yang termasuk wacana arkeologi, dengan menjadikan kata kunci arkeologi, cagar budaya, dan warisan budaya sebagai faktor penanda utama wacana arkeologi baik itu berupa berita maupun opini. Hasil identifikasi berita arkeologi kemudian diklasifikasikan, berdasarkan periode terbit dan tema yang diangkat meliputi wacana konflik atau kasus, opini, dan penemuan situs arkeologi.

Tahapan selanjutnya adalah analisis tekstual pada setiap pemberitaan arkeologi, untuk kemudian dielaborasi dengan data eksternal meliputi latar belakang pembuat berita, dalam hal ini jurnalis atau wartawan. Hasil analisis inilah yang diharapkan memperlihatkan model penyajian berita arkeologi sebagai bentuk dari publikasi arkeologi oleh media cetak. Tahapan selanjutnya adalah menganalisis setiap model penyajian tersebut, untuk menentukan bagaimana strategi yang tepat dalam memanfaatkan media cetak untuk publikasi arkeologi.

Pendekatan kualitatif menjadi paradigma yang dipilih dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa faktor dominan adalah bukan pada segi kuantitas tetapi lebih pada faktor kualitas berita arkeologi. Di sisi lain, ada kendala teknis yang dihadapi jika harus menelusuri seluruh berita arkeologi pada kedua media cetak tersebut di tengah kondisi waktu yang terbatas serta pengarsipan berita yang belum memadai. Olehnya itu, pemilihan berita arkeologi dilakukan secara selektif, dengan memfokuskan pada berita-berita arkeologi yang masuk dalam katagori “hot news” di masyarakat atau menjadi “headlines” pada media cetak tersebut. Hasil dari proses pemilihan berita terpilih lima tema berita teratas yang terdiri dari pemberitaan tentang Karebosi, Fort Rotterdam, Benteng Somba Opu, gedung Societ de Harmony, dan gua prasejarah. Kelima tema berita inilah yang kemudian menjadi fokus kajian.


3. Pembahasan

Pemaparan setiap tema pemberitaan menjadi uraian pembuka pada bagian ini, dengan tujuan memberikan gambaran umum tentang semua tema pemberitaan. Pertama, mengenai pemberitaan tentang Karebosi menjadi isyu hangat di media cetak pada medio 2007 akhir sampai awal 2009. Karebosi itu sendiri merupakan salah satu tempat bersejarah di Kota Makassar yang dapat dikatagorikan sebagai site heritage karena di tempat inilah pernah terjadi beberapa peristiwa bersejarah. Karebosi itu sendiri adalah sebuah ruang terbuka hijau berupa lapangan, yang kemudian menjadi polemik seiring dengan adanya proyek Revitalisasi Karebosi oleh Pemerintah Kota Makassar.

Jika mengacu pada isi berita di harian Tribun Timur tanggal 12 Mei 2007 dan harian Fajar tanggal 26 Januari 2008, wacana revitalisasi Karebosi telah menjadi pembicaraan sejak tahun 2006 yaitu berkaitan dengan penggunaan anggaran APBD sebesar Rp1,2 miliar untuk penataan dan pengawasan Lapangan Karebosi. Kemudian wacana ini semakin menghangat seiring dengan adanya sosialisasi pelaksanaan sayembara desain Karebosi di awal tahun 2007, dan pengumuman pelaksanaan pengerukan Karebosi sebagai bentuk revitalisasi oleh PT. Tosan Permai selaku pemenang tender tunggal yang ditunjuk langsung oleh pemkot Makassar. Kegiatan revitalisasi Karebosi ini kemudian menjadi polemik di masyarakat ketika ada perubahan desain yang dianggap lebih mengarah pada komersialisasi Karebosi.

Komersialisasi Karebosi dikhawatirkan akan menyebabkan hilangnya identitas sejarah kota Makassar, demikian pula ruang publik akan semakin berkurang. Keresahan masyarakat ini, akhirnya memunculkan demonstrasi dan unjuk rasa yang intinya menentang komersialisasi Karebosi. selain itu mulai bermunculan opini-opini yang ditulis oleh berbagai lapisan masyarakat yang intinya juga menyuarakan ketidaksetujuannya akan komersialisasi Karebosi. Selain isu komersialisasi, muncul pula isu lainnya yang berkaitan dengan dugaan adanya tindak korupsi dalam proyek revitalisasi Karebosi ini dengan indikasi adanya ketidakjelasan penggunaan dana tahun anggaran 2006 untuk Karebosi dan penunjukan langsung PT. Tosan Permai sebagai pemenang tender oleh pemkot Makassar. Isu ini pun kemudian menimbulkan unjuk rasa dan demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai pihak.

Memasuki Februari 2008, demonstrasi tentang revitalisasi Karebosi ini masih berlangsung, bahkan LBH Makassar melakukan Citizen Law Suit berkaitan dengan gugatannya dengan proyek revitalisasi Karebosi. Aksi penolakan revitalisasi Lapangan Karebosi yang dilakukan Pemkot Makassar, kembali dilancarkan kelompok mahasiswa di depan Kampus UIN Alauddin pada 25 Februari 2008. Adalah puluhan massa yang mengklaim dirinya sebagai Konsorsium Alauddin Anti Komersialisasi Karebosi. Dalam aksinya mereka membakar ban bekas di tengah jalan yang mengakibatkan kemacetan arus lalu lintas dan menuntut agar pihak terkait segera menghentikan pembangunan revitalisasi Lapangan Karebosi. Pendemo juga meminta KPK turun langsung melakukan peninjauan. Mereka mensinyalir, ada unsur gratifikasi dari revitalisasi tersebut. Besoknya justru muncul demonstrasi tandingan, juga di depan Kampus UIN Alauddin yang dilakukan oleh belasan mahasiswa jurusan Teknik Arsitek UIN Alauddin, mereka membakar ban bekas di tengah jalan yang mengakibatkan perlambatan arus lalu lintas. Pengunjukrasa menggelar aksi ini berkaitan dengan pelaksanaan revitalisasi Lapangan Karebosi. Aksi turun ke jalan ini sebagai wujud dukungan ke Pemkot Makassar yang melaksanakan pembangunan Karebosi.

Jika dicermati, unjuk rasa maupun demonstrasi yang terjadi berkaitan dengan revitalisasi Karebosi ini semakin mempertegas akan adanya perbedaan persepsi dalam memandang revitalisasi Karebosi. Pemahaman yang berbeda inilah yang kemudian memunculkan konflik antara pihak pemkot Makassar dengan masyarakat yang menolak revitalisasi, dan antara masyarakat yang pro revitalisasi dengan yang tidak setuju revitalisasi. Hal ini semakin diperparah dengan opini yang dilontarkan para politikus yang dimuat dalam beberapa pemberitaan yang justru semakin memperuncing konflik yang terjadi. Perbedaan pemahaman dan persepsi dalam memandang Karebosi sebagai tempat yang bersejarah, terjadi pula antara pemkot dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Makassar. Hal ini sempat menjadi perdebatan, karena pemkot Makassar dengan tegas mengatakan bahwa Karebosi itu bukan situs cagar budaya. Konflik antara masyarakat dengan kalangan arkeologi-dalam kasus ini Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala-dapat dikatakan merupakan konflik yang muncul oleh karena ketidaktahuan atau ketidakpahaman masyarakat termasuk pemerintahan kota tentang nilai-nilai yang dikandung oleh benda cagar budaya sehingga tidak timbul rasa afektif dalam diri masyarakat.

Dalam pemberitaan tentang Karebosi ini, secara tidak langsung arkeologi mulai terpublikasikan di masyarakat Makassar khususnya. Walaupun, informasi tentang arkeologi tidaklah terlalu dominan, karena yang muncul justru persoalan konflik antara yang pro revitalisasi Karebosi dengan yang kontra. Sehingga pemberitaan tentang Karebosi ini dikatagorikan sebagai wacana kasus arkeologi atau wacana konflik. Walaupun ada opini yang terkait tentang Revitalisasi Karebosi tetapi tetap mengarah pada konflik itu sendiri. Opini yang dimuat baik di Harian Fajar maupun Tribun Timur lebih cenderung untuk saling menyerang antara kubu yang pro dan kontra dengan revitalisasi Karebosi. Media cetak pun lebih sering memberitakan tentang konfliknya dibandingkan nilai historis dari Karebosi. Hal ini tidak terlepas dari adanya kepentingan politis terkait dengan pemilu walikota Makassar tahun 2008.

Tema pemberitaan arkeologi yang kedua adalah Fort Rotterdam yang merupakan salah satu situs cagar budaya sekaligus landmark Kota Makassar. Sama dengan Karebosi, pemberitaan tentang benteng ini pun terkait pula dengan kegiatan Revitalisasi Fort Rotterdam yang dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan. Sejak bergulirnya rencana revitaliasi di Fort Rotterdam pada awal tahun 2009, Harian Fajar dan Tribun Timur intens memuat berita tentang revitalisasi Fort Rotterdam. Pada awal pemberitaan lebih difokuskan dengan sosialisasi tentang rencana revitalisasi, kemudian berlanjut dengan pelaksanaan revitalisasi. Pada pemberitaan awal relatif berita yang dimuat tidak termasuk dalam katagori konflik, termasuk pada saat revitalisasi tahap pertama di tahun 2010. Wacana konflik mulai muncul pada pemberitaan revitalisasi Fort Rotterdam seiring dengan penataan kawasan di luar benteng Rotterdam yang merupakan bagian dari revitalisasi Fort Rotterdam.

Konflik berawal ketika adanya ijin yang diberikan oleh Pemerintah Kota Makassar kepada pengusaha yang akan membangun Rumah Makan dengan bangunan permanen tepat di depan Benteng Rotterdam. Di sisi lain area tersebut merupakan bagian dari zona penunjang kawasan cagar budaya Fort Rotterdam. Walaupun ada penyampaian keberatan dari pihak BP3 Makassar tetap pembangunan rumah makan tersebut terus berlangsung dan bahkan sekarang telah beroperasi. Konflik terus berlanjut, di tahun 2011 seiring dengan kegiatan reklamasi pantai di depan Fort Rotterdam oleh Pemerintah Kota Makassar. Konflik antara pemkot Makassar dan BP3 Makassar inilah yang dominan menghiasi pemberitaan di media cetak, dan meluas menjadi konflik antara Pemkot Makassar dan Pemprov Sulawesi Selatan yang menjadi pelaksana dalam proyek Revitalisasi Fort Rotterdam. Bahkan jika mengacu pada perkembangan yang ada sekarang, Revitalisasi Fort Rotterdam ini dapat menjadi komoditi politik menjelang pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun 2014 nanti.

Hal inilah yang dapat terlihat pada wacana pemberitaan tentang Fort Rotterdam ini, fenomena menjadikan objek arkeologi sebagai komoditi politik menjadi hal yang patut dicermati dengan bijak dan cermat. Dalam hal ini kepentingan para bakal calon Gubernur Sulawesi Selatan di tahun 2014 yang akan datang. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari sumberdaya arkeologi hanya sebatas dijadikan komoditi politik untuk kepentingan praktis yang tidak berdampak pada pelestarian sumberdaya arkeologi ini sendiri. Peranan arkeolog di luar BP3 Makassar masih belum nampak pada kasus revitalisasi Fort Rotterdam fase pertama ini. Selain karena kurangnya partisipasi aktif dari arkeolog untuk terlibat dalam membangun wacana atau opini di media cetak, juga belum adanya ruang yang dibuka oleh media cetak bagi para arkeolog. Hal ini mulai ada pergeseran, ketika muncul wacana tentang pengrusakan Benteng Somba Opu di awal tahun 2010 yang terangkat ke ranah publik.

Wacana pengrusakan Benteng Somba Opu mulai menjadi berita hangat ketika Forum Somba Opu berunjuk rasa terkait dengan adanya pembangunan Gowa Discovery Park di areal Benteng Somba Opu. Kasus pengrusakan situs peninggalan Kerajaan Gowa Tallo ini menjadi isu hangat yang menghiasi media cetak di Makassar bahkan terangkat menjadi isu nasional. Dalam kaitannya dengan kasus ini, Pemprov Sulawesi Selatan segera merespon tuntutan masyarakat dengan menghentikan sementara pembangunan Gowa Discovery Park. Selain itu, BP3 Makassar pun kemudian membentuk tim untuk melakukan kajian zonasi Benteng Somba Opu dengan melibatkan tenaga ahli arkeologi dari Universitas Hasanuddin, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia.

Hasil kajian zonasi ini pun telah dimuat di media, tetapi unjuk rasa tidak langsung mereda. Bahkan Forum Somba Opu melaporkan kasus pengrusakan Benteng Somba Opu ini ke Polisi karena ketika proyek dilaksanakan kembali ada pelanggaran zonasi. Dalam kasus benteng Somba Opu ini wacana kasus dominan muncul dalam pemberitaan, satu hal yang pasti dampak positif dari pemberitaan ini adalah munculnya kepedulian masyarakat akan keberadaan Benteng Somba opu yang memang boleh dikatakan cukup terabaikan. Dalam hiruk pikuk pemberitaan Benteng Somba Opu ini muncul pro dan kontra serta yang berbeda dengan kasus lainnya adalah adanya perbedaan persepsi antara kalangan arkeolog. Kedua, media mulai membuka ruang dengan arkeolog, dalam bentuk meminta pendapat arkeolog baik dari kalangan akademisi maupun dari BP3 Makassar. Sehingga dapat dikatakan, media mulai merangkul arkeolog dalam melengkapi pemberitaan yang terkait dengan wacana arkeologi.

Pemberitaan arkeologi berikutnya terkait dengan revitalisasi gedung Societ de Harmony yang muncul di media pada wala tahun 2011. Hanya saja yang terangkat di media bukan mengenai pelaksanaan revitalisasi dari aspek arkeologinya tetapi lebih pada kasus lambatnya proyek revitalisasi ini berjalan. Padahal di sisi lain ada beragam aspek arkeologis yang tidak tepat penerapannya selama proses revitalisasi yang sampai tulisan ini dibuat masih dalam proses pengerjaan. Walaupun demikian, pemberitaan tentang gedung bersejarah ini tidak terlalu dominan dan tidak memunculkan informasi kearkeologiannya.

Pada pertengahan 2011, berita tentang arkeologi muncul kembali terkait dengan adanya demonstrasi yang dilakukan kelompok pencinta alam di Kabupaten Maros akan aktifitas tambang di wilayah Rammang-Rammang. Keberatan kelompok pencinta alam tersebut, terkait dengan keberadaan gua prasejarah Bulu Tianang di sekitar areal konsesi tambang. Demonstrasi tersebut menjadi berita yang cukup menarik di media cetak karena dikaitkan pula dengan isu lingkungan. Selain itu respon pemerintah daerah Maros dalam hal ini Bupati yang langsung memerintahkan penghentian aktifitas perusahaan tambang tersebut. DPRD Maros pun turun ke lokasi untuk survey, demikian pula tim dari BP3 Makassar melakukan peninjauan langsung di lapangan. Aktiftas ini terus diberitakan oleh media, sehingga masyarakat luas mengikuti terus perkembangan kasus ini. Dan sampai tulisan ini dibuat, masyarakat masih menunggu keputusan akhir yang akan diambil oleh pemerintah daerah Maros, apakah akan mencabut ijin usaha pertambangan perusahaan tersebut atau keputusan lainnya.

Seiring dengan pemberitaan kasus di Rammang-Rammang, yang sampai tulisan ini dibuat masih tetap menjadi bahan berita, ada pemberitaan arkeologi lain terkait dengan temuan gua prasejarah di Kabupaten Bone. Berbeda dengan pemberitaan arkeologi sebelumnya, berita tentang temuan gua prasejarah baru ini dikatagorikan dalam wacana penemuan situs arkeologi baru. Muatan berita arkeologi disini berupa uraian deskriptif tentang tinggalan arkeologi yang ditemukan di gua tersebut. Informasi tentang arkeologinya mulai berimbang karena ada klarifikasi dari arkeolog yang diminta oleh jurnalis/wartawan secara langsung. Selain itu, tema pemberitaan pada wacana temuan situs baru ini lebih diarahkan pada pemaparan informasi serta harapan kepada pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pengkajian yang lebih mendalam.

Berdasarkan pemaparan kelima wacana arkeologi di atas, dapat terlihat bahwa wacana arkeologi yang diangkat media didominasi wacana konflik atau kasus dan sisanya baru opini dan wacana temuan situs arkeologi baru. Bahkan penerbitan wacana arkeologi yang terkait dengan konflik memiliki frekuensi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan opini atau penemuan situs baru. Hal ini memperlihatkan bahwa media dalam memilih wacana arkeologi yang diangkat ke ranah publik memiliki pertimbangan tertentu yang lebih mengarah pada keterkaitan dengan isu lain terutama politik. Hal tersebut terihat jelas pada pemberitaan arkeologi baik itu tentang Karebosi, Fort Rotterdam, Benteng Somba Opu dan gedung Society de Harmony.

Sedangkan wacana mengenai temuan situs arkeologi baru lebih bersifat informatif, sebatas penyampaian pada masyarakat. Jika dikaji lebih mendalam, ternyata hal ini secara tidak langsung berdampak pada pencitraan arkeologi di mata masyarakat. Pemberitaan arkeologi yang termasuk dalam wacana konflik, ternyata memposisikan arkeologi sebagai pelaku utama konflik tersebut. Dalam hal ini terlihat jelas di pemberitaan revitalisasi Karebosi, Fort Rotterdam dan Benteng Somba Opu serta Society de Harmony. Dalam kasus ini arkeologi direpresentasikan oleh BP3 Makassar sedangkan pelaku konflik lainnya adalah Pemerintah Kota Makassar di kasus Revitalisasi Fort Rotterdam dan Karebosi, serta serta investor di kasus Benteng Somba Opu. Hal tersebut mengakibatkan kesan sebagian masyarakat yang tidak tepat tentang arkeologi, karena dianggap menghalangi jalannya pembangunan.

Selain itu, persepsi yang tidak tepat tentang arkeologi secara tidak langsung terbangun dari pemberitaan arkeologi di media akibat lebih dominan muatan politisnya jika dibandingkan muatan arkeologinya. Dampak dari persepsi yang tidak tepat ini, jelas terlihat pada pengetahuan masyarakat yang ternyata hanya tahu saja arkeologi tetapi tidak mengetahui dengan benar apa sebenarnya itu arkeologi, sebagaimana terlihat pada SDP yang telah diuaraikan pada bagian awal tulisan ini. Padahal dalam kurun waktu tiga tahun terakhir frekuensi pemberitaan arkeologi di media mengalami peningkatan yang signifikan, sehingga seharusnya berbanding lurus dengan pengetahuan masyarakat tentang arkeologi. Fakta ini jelas menjadi penanda bahwa sudah saatnya kalangan arkeolog berperan serta lebih aktif dalam membangun opini di media cetak tentang arkeologi. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mempublikasikan hasil penelitian arkeologi yang telah dilakukan di media cetak, dapat berupa artikel atau pun opini. Diharapkan dengan keterlibatan aktif kalangan arkeolog dalam pemberitaan arkeologi di media cetak, secara tidak langsung dapat membangun persepsi yang tepat tentang apa itu arkeologi dan bagaimana perananannya dalam membangun identitas dan jati diri bangsa.


4. Penutup

Jika mengacu pada data publikasi arkeologi yang dikeluarkan oleh instansi arkeologi seperti Balar Arkeologi dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, sebenarnya publikasi arkeologi telah banyak dilakukan. Jumlah terbitan jurnal maupun buletin arkeologi cukup banyak, tetapi selama ini hanya diperuntukan untuk kalangan terbatas. Di satu sisi, ada media alternatif lain yaitu media cetak yang diakses oleh masyarakat luas. Hal ini dapat dijadikan peluang bagi arkeolog untuk mensosialisasikan arkeologi pada masyarakat, yang diarahkan pada membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian tinggalan arkeologi, dalam kerangka pelestarian warisan budaya bangsa.

Sudah saatnya publikasi arkeologi ditempuh dengan berbagai cara, termasuk memanfaatkan media cetak lokal, sehingga pemberitaan arkeologi tidak sebatas dijadikan komoditi oleh pihak-pihak tertentu, sebagaiman terlihat pada kasus-kasus yang telah dipaparkan di atas. Dalam lingkup nasional, kajian terhadap pemberitaan arkeologi di media cetak maupun elektronik untuk mengetahui strategi publikasi arkeologi yang tepat menjadi tantangan tersendiri untuk dilakukan di masa mendatang.


Daftar Bacaan

Darvill, Timothy. 1995. Value Systems in Archaeology. Malcolm A. Cooper, etc (ed). Managing Archaeology. London and New York. Routledge

McManamon, P. Francis dan Alf Hatton. 2000. Introduction : Considering Cultural Resource Management in Modern Society. Dalam Cultural Resources Management in Contemporary Society, Perspectives on Managing and Presenting the Past. London and New York. Routledge

Pearson, Michael and Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Place. Melbourne University Press. Melbourne.

Tanudirjo, Daud Aris. 1993. Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumberdaya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.

*Dimuat dalam Jurnal Arkeologi 2011