Sugeng Riyanto
Balai Arkeologi Yogyakarta


1. PENDAHULUAN: Film Pengetahuan Arkeologi

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman penulis dalam mengembangkan arkeologi visual, yang sebenarnya meliputi beberapa media, baik cetak maupun elektronik. Kerangka dasar “paradigma” arkeologi visual dalam pemikiran penulis adalah sebuah kemasan informasi arkeologis untuk “memanjakan” publik berkenaan dengan pengetahuan maupun hasil penelitian arkeologi secara visual. Sebagai salah satu produk arkeologi visual, secara khusus penulis memberikan batasan film pengetahuan arkeologi (FPA) sebagai sebuah film yang berisi informasi dan pengetahuan tentang hasil penelitian arkeologi atau kegiatan dan gagasan kearkeologian lainnya. Dalam kerangka pengembangan pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi, produk ini termasuk kategori Publikasi Digital, bersama dengan produk CD-Interaktif dan website (Riyanto, 2003a: 138).

Batasan tersebut mengisyaratkan bahwa hasil penelitian arkeologi baik berupa informasi mengenai data arkeologi maupun pengetahuan tentang kehidupan masa lalu dapat dikembangkan dan dituangkan tidak hanya dalam bentuk buku dan artikel, tetapi juga dalam bentuk film. Hal ini sangat memungkinkan mengingat setidaknya dua hal, yaitu 1) substansi hasil penelitian arkeologi memiliki sisi yang langka, unik dan estetik; dan 2) kegiatan penelitian arkeologi senantiasa didukung oleh perekaman dokumentasi visual baik berupa foto, video, serta peta dan gambar yang dapat diolah sebagai bagian dari bahan film, melalui proses digitasi (Riyanto, 2003b, 155).

Berbeda dengan film jenis “dokumenter” yang cenderung mengedepankan kekuatan dokumen dalam aspek “autentisitas”, kelangkaan, kesulitan, dan on-site, maka FPA juga meliputi seluruh aspek tersebut, namun ditambah dengan visualisasi substansi ilmiah yang dirangkai sebagai cerita. FPA juga sangat berbeda dengan jenis “film cerita” yang nyaris 100% didukung dengan dokumen “artifisial” yaitu hasil rekaman buatan yang seluruhnya didasarkan pada ide cerita.

Oleh karena itu, selain memiliki kekuatan sebagaimana film “dokumenter”, FPA juga didukung dengan dokumen “artifisial” yang sengaja dilakukan guna memenuhi aspek cerita, baik berupa rekaman video, foto, peta, maupun gambar. Selain itu, dalam kemasan FPA juga dimungkinkan dilakukannya kompilasi berbagai dokumen lain yang dianggap dapat menghidupkan “dongeng” dalam aliran film. Dengan demikian, maka dalam batas yang sangat khusus FPA dapat dikatakan berada di antara kerangka film “dokumenter” dan film cerita. Namun demikian, berdasarkan kerangka substansi dan kualitas visual, tidak seluruh hasil penelitian arkeologi dapat dikembangkan menjadi FPA, sehingga dalam hal ini perlu adanya pertimbangan yang harus dilakukan sebelum menentukan hasil penelitian atau gagasan kearkeologian apa yang “layak” difilmkan. Namun, idealnya seorang arkeolog juga dapat berperan sebagai “story teller” agar informasi dan pengetahuan hasil penelitian dapat dipresentasikan kepada publik secara lebih memadai dan menghibur (Young, 2002: 240); dan FPA dapat menjadi medianya.

Pertanyaannya adalah: jika film pengetahuan arkeologi berbeda dengan jenis film “dokumenter” dan jenis film cerita, maka seperti apa proses pembuatannya ?
Bab berikutnya adalah jawaban atas pertanyaan tersebut, sekaligus tujuan dari penulisan ini.


2. PROSES: Garis-garis Besar Pembuatan FPA

Uraian dalam bab ini bukanlah tutorial yang menggambarkan urutan proses untuk diikuti secara operasional dalam pembuatan film pengetahuan arkeologi, namun lebih kepada penjelasan bagian-bagian paling dominan dalam proses tersebut. Akan tetapi, sebagai garis besar, uraian ini juga menggambarkan bahwa pembuatan FPA membutuhkan banyak orang dan banyak unsur, dan di sisi lain dapat menjadi kerangka bagi siapa saja untuk mengembangkan masing-masing bagian sesuai dengan minat dan kualifikasinya.

Berikut ini adalah garis-garis besar proses tersebut.

1. Naskah (Substantif):
Adalah tulisan yang berisi pengetahuan hasil penelitian arkeologi tertentu atau topik dan gagasan kearkeologian lainnya yang menjadi dasar perencanaan pembuatan film pengetahuan arkeologi sekaligus sebagai kerangka cerita. Tulisan ini diturunkan berdasarkan hasil penelitian atau gambaran kegiatan dan gagasan kearkeologian lainnya yang difokuskan pada topik atau tema tertentu dan mengacu pada substansi ilmiah.

Jangkauan NASKAH pada prinsipnya adalah lengkap, dalam arti meliputi (1) latar belakang, riwayat, dan tujuan penelitian atau kegiatan (mengapa dan untuk apa penelitian atau kegiatan itu dilakukan), (2) proses penelitian atau kegiatan (siapa, di mana, kapan, bagaimana proses penelitian berlangsung), dan (3) hasil penelitian atau kegiatan (apa, berapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana, siapa, – berkenaan dengan penjelasan hasil penelitian atau kegiatan).

Karena NASKAH ini akan diacu dalam penyusunan skenario, eksekusi perekaman, dan editing, maka penting juga untuk menyertakan aspek-aspek non-akademis untuk menghidupkan film, seperti gambaran lingkungan (alami, sosial, dan ekonomi), tokoh-tokoh yang tekait dengan situs atau proses penelitian, dsb. Jika ada, juga penting artinya untuk menunjuk pada fenomena estetik dan unik pada lokasi penelitian sebagai pelengkap NASKAH.

Tebal NASKAH tidak terbatas, karena yang paling penting adalah uraian yang lugas dan jelas, tidak duplikatif, dan sedapat mungkin runut. Yang tidak kalah pentingnya adalah apa yang digambarkan di dalam NASKAH dapat divisualkan, baik berupa gambar, peta, foto, video, maupun animasi.

Kualifikasi penulis NASKAH film pengetahuan arkeologi pada prinsipnya adalah arkeolog, tetapi tidak menutup kemungkinan ditulis oleh non-arkeolog yang memahami secara mendalam tentang topik atau tema pengetahuan arkeologis yang akan diangkat sebagai film. Idealnya, NASKAH ini ditulis oleh beberapa orang dengan spesialisasi maupun kualifikasi yang berbeda, sehingga kedalaman substansi NASKAH secara akademis lebih solid dan berimbang.

2. Skenario:
Adalah garis besar alur film yang diturunkan dari NASKAH FILM. Alur skenario FPA tidak harus persis dengan alur naskah, karena SKENARIO merupakan hasil konversi dari bahasa teks menjadi bahasa visual. Selain itu, karena SKENARIO juga akan menjadi kerangka dalam eksekusi perekaman (dan pengumpulan bahan grafis), maka aspek psikologis calon penonton, estetika, eksotika, dan dramatisasi substansi sudah mulai dipertimbangkan dalam penyusunan SKENARIO.

Secara garis besar, SKENARIO terdiri atas tiga bagian, yaitu: opening (pembuka), main (utama), dan ending (penutup); kesederhanaan ini karena “skenario” film pengetahuan arkeologi berbeda sama sekali dengan skenario untuk film cerita yang script skenarionya sangat detil. Selain diturunkan dari NASKAH yang bersifat akademis, SKENARIO ini juga “hanya” menggambarkan alur film secara garis besar untuk memberikan kerangka dalam eksekusi perekaman (dan pengumpulan bahan grafis) maupun panduan bagi EDITOR.

Uraian masing-masing bagian adalah sebagai berikut:

(1) Opening (pembuka) adalah prolog film yang berisi gambaran ringkas isi film atau gambaran fenomenal yang akan membuahkan pertanyaan bagi penonton dan dijawab pada bagian main (utama). Pada bagian pembuka ini juga ditampilkan Judul, Penulis Naskah, Penulis Skenario, Editor, Produser, Narasumber, dan Host. Hal-hal lain yang sifatnya administratif kadang-kadang juga dianggap perlu untuk ditampilkan dalam bagian pembuka, seperti sponsor atau pendukung utama. Durasi bagian pembuka pada prinsipnya tidak terbatas, namun secara psikologis, idealnya kurang dari 2 menit.

(2) Bagian Utama (Main) adalah isi film sebenarnya sehingga 100 % harus mengacu pada substansi NASKAH, tetapi dengan alur dan pembabakan substansi yang disesuaikan dengan aspek psikologis penonton, estetika, eksotika, serta pembobotan kualitas visual. Artinya, kerangka substansi sebagaimana tertuang dalam NASKAH harus dikonversi menjadi bahasa visual sehingga penonton tidak seperti sedang membaca artikel atau buku, tetapi dapat terpancing secara emosional, membuka wawasan akademis, dan menikmati aspek estetis visual arkeologi. Inti dari penyajian dengan alur seperti ini adalah untuk menghindari kebekuan, kemonotonan, dan kebosanan penonton dengan cara menciptakan “greget” dan dramatisasi visual (dan audio) dalam alur film.

Dalam batasan tertentu, skenario dan alur film memang perlu dibuat agar terkesan melompat-lompat, namun tetap berada dalam batas kerangka yang mengerucut, dengan titik puncak di bagian akhir Main. Pada bagian puncak ini pula perlu dituturkan “epilog” yang menggambarkan “kesimpulan”, harapan, pertanyaan lanjutan, dsb. Di sela-sela aliran film, penulis skenario, eksekutor, dan editor harus memikirkan tampilnya gambar-gambar yang menyegarkan, dramatis, keindahan, kebisuan, “keributan”, dan gambaran yang mengejutkan lainnya, meskipun tidak berkaitan secara langsung dengan substansi akademis. Hal ini penting artinya agar penonton “beristirahat” sejenak setelah dibombardir dengan data dan pengetahuan arkeologi, sehingga siap untuk menerima data dan pengetahuan arkeologi berikutnya.

Masing-masing babak dalam SKENARIO sedapat mungkin dilengkapi dengan uraian singkat tentang kerangka visual yang perlu ditampilkan, baik berupa adegan, klip, foto, peta, gambar, animasi, dsb. Penting juga artinya untuk memberikan batasan durasi dalam masing-masing babak tersebut, sehingga di akhir babak akan dapat dihitung kisaran durasi film, khususnya untuk bagian utama. Secara psikologis, film pengetahuan arkeologi idealnya berdurasi antara 20 – 30 menit, tergantung topik, substansi, dan ketersediaan data grafis. Untuk film dengan topik dan tema yang mengedepankan “informasi data arkeologi”, durasi film dimungkinkan lebih kama, tetapi harus di bawah 60 menit, yaitu antara 40 – 50 menit.

(3) Bagian penutup (ending) pada prinsipnya sudah tidak terkait dengan aliran film, tetapi merupakan durasi yang khusus disediakan untuk menampung informasi teknis pembuatan film, seperti ucapan terima kasih, Tim Riset, sumber ilustarsi musik, Tim Perekaman, kontributor foto / video, Tim Teknis Grafis, Hak Cipta dan tahun pembuatan, dsb.

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya overlap antara bagian utama dengan bagian penutup, dalam arti sebagian main (misalnya epilog) masuk dalam durasi ending dan sebaliknya. Contoh overlap ini adalah ditampilkannya informasi teknis (misalnya ucapan terima kasih dan Tim Riset) pada saat aliran film belum usai, dan sebagian babak (bagian akhir) main masih ditampilkan dalam ending.

Selain itu, penting artinya untuk menampilkan “klip yang terbuang” di bagian ending. Tampilan klip jenis ini pada prinsipnya menggambarkan proses pembuatan film (behind the scene) sehingga paling tidak harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: klip menggambarkan hal-hal lucu karena kesalahan teknis atau karena hal lain yang tidak terduga, klip yang menggambarkan kerja keras Tim Eksekutor, serta klip yang menggambarkan keseriusan Tim. Klip jenis ini juga dapat meliputi gambaran lain yang dianggap mampu menghadirkan behind the scene dengan harapan agar penonton dapat memahami proses pembuatan film pengetahuan arkeologi yang tidak sesederhana pembuatan film prosesi pernikahan, misalnya.

Kualifikasi penulis SKENARIO film pengetahuan arkeologi pada prinsipnya adalah arkeolog dengan pengalaman menulis populer yang cukup serta memiliki imajinasi visual yang memadai. Hal ini karena SKENARIO merupakan jembatan emas antara penulis NASKAH, EKSEKUTOR, dan EDITOR. Untuk itu, selain dituntut untuk mampu menerjemahkan bahasa teks dari NASKAH menjadi bahasa visual yang imajinatif, alur skenario juga harus dapat menjadi kerangka dan panduan bagi EKSEKUTOR dan EDITOR.

3. Eksekutor:
Adalah sebuah tim yang melaksanakan tugas pengumpulan bahan visual sesuai dengan NASKAH dan SKENARIO. Berdasarkan beban tugas, eksekutor meliputi dua bagian, yaitu 1) pengumpul dokumen grafis yang sudah tersedia baik berupa foto, video, peta, maupun gambar; dan 2) pelaksana perekaman, baik berupa pemetaan, penggambaran, fotografi, maupun videografi. Keduanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan visual sebagaimana termuat di dalam NASKAH maupun SKENARIO.

Dengan demikian, selain Tim Pengumpul Dokumen Grafis, EKSEKUTOR terdiri atas: pengarah perekaman (“sutradara”) yang dibantu oleh kamerawan video, fotografer, serta juru peta dan gambar. Secara lebih lengkap, setidaknya Tim EKSEKUTOR juga didukung oleh Penanggung Jawab Peralatan, Penanggung Jawab Transportasi – Akomodasi – Konsumsi, Administrasi (perijinan dsb.), serta Properti dan Talen (setting artifisial, juru rias, dsb).

Uraian kedua Tim Eksekutor adalah sebagai berikut:
(1) Tim Pengumpul Dokumen Grafis pada prinsipnya bekerja di dalam ruangan, karena sasarannya adalah arsip dan dokumen yang berkaitan dengan topik dan tema film. Foto, peta, gambar, dan rekaman video, selain biasanya berada di instansi yang bersangkutan (Puslitbang Arkenas, Balai arkeologi, dan BP3), kadang-kadang juga tersimpan di luar instansi tersebut, dan bahkan sering hanya dapat diunduh dari dunia maya (internet). Oleh karena itu, Tim ini harus cekatan dalam menginventarisasi kebutuhan bahan grafis beserta perkiraan penyimpanannya sehingga akan mudah dalam pelacakan dan pengumpulan dokumennya.

Catatan dan daftar hasil inventarisasi dan pelacakan sangat penting artinya, sehingga harus disusun secara rapi dan sistematis. Hasil inventarisasi dan pelacakan ini paling tidak berguna untuk dua hal, yaitu: 1) mengetahui bahan grafis yang tersedia sesuai isi NASKAH dan SKENARIO maupun bahan grafis yang belum ada sehingga perlu dimasukkan dalam sasaran perekaman; 2) menjadi salah satu acuan dalam eksekusi perekaman dan salah satu acuan dalam proses penyuntingan oleh EDITOR.

Kualifikasi Pengumpul Dokumen Grafis pada prinsipnya adalah Dokumentalis atau orang yang memahami seluk-beluk dokumen grafis. Dalam hal ini penting artinya untuk membentuk Tim yang diketuai oleh arkeolog atau orang yang dapat “membaca” NASKAH dan SKENARIO film pengetahuan arkeologi. Selain itu, Tim ini harus mampu menerjemahkan NASKAH dan SKENARIO dalam bahasa visual sebagai panduan dalam inventarisasi dan pelacakan dokumen grafis serta menuangkannya di dalam tabulasi yang sistematis disertai pengelompokkan dokumen yang juga sistematis.

(2) Tim Eksekutor Perekaman pada prinsipnya adalah sebuah tim yang terdiri atas pengarah perekaman (“sutradara”), kamerawan video, fotografer, serta juru peta dan gambar. Dalam pelaksanaannya Tim ini dibantu oleh Penanggung Jawab Peralatan, Penanggung Jawab Transportasi – Akomodasi – Konsumsi, Administrasi (perijinan dsb.), serta Properti dan Talen (setting artifisial, juru rias, dsb).

Peran dan kedudukan Pengarah Perekaman sangat strategis karena harus mampu menyediakan bahan grafis hasil perekaman, terutama videografi yang dapat memvisualkan secara substantif maupun estetis sesuai isi NASKAH dan SKENARIO. Panduan dan acuannya dalam hal ini adalah NASKAH, SKENARIO, serta daftar yang dibuat oleh Tim Pengumpul Dokumen Grafis.

Untuk dapat menghasilkan rekaman yang baik (secara substantif dan estetik) Pengarah Perekaman setidaknya juga harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:

  • Lokasi, yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas visual situs atau lokasi perekaman yang diperlukan
  • Kategorisasi sasaran perekaman yang meliputi kerja arkeolog, narasumber, host, situs, artefak, lingkungan (alami, sosial, ekonomi), candid dan snapshot, dsb.
  • Aspek teknis, seperti cuaca, arah cahaya, bayangan, background, komposisi, angel
  • Kemampuan alat rekam, seperti lebar lensa dan kemampuan zooming untuk menentukan komposisi, kualitas sound recorder, kepekaan lensa terhadap cahaya, kualitas tripod dan alat pendukung yang lain, dsb.
  • Kamampuan SDM pendukung, terutama kamerawan, fotografer, serta juru peta dan gambar
  • Waktu Perekaman yang tersedia, dalam hal ini berkaitan dengan keleluasaan dalam menentukan sasaran eksekusi, karena beberapa gambar harus diambil pada waktu dan kondisi yang sangat khusus (seperti peristiwa khusus, sunrise dan sunset, jadwal kehadiran narasumber, host, dsb). Semakin banyak waktu yang tersedia akan semakin besar kemungkinan menghasilkan hasil perekaman yang baik

Dengan demikian, secara teknis Pengarah Perekaman bertanggung jawab atas kualitas hasil perekaman sebagaimana termuat dalam NASKAH dan SKENARIO. Oleh karena itu, dia berhak atas segala pengaturan dan penjadwalan, penentuan peralatan, serta penentuan SDM pendukung. Demikian pula pada saat perekaman “adegan” (kerja arkeolog, narasumber, host, dsb), Pangarah Perekaman memiliki kewenangan untuk menentukan lokasi, kostum, pose, artikulasi, gerakan, dsb. Berkaitan dengan hal tersebut, hal-hal teknis juga menjadi tanggung jawabnya, termasuk menentukan jumlah dan arah kamera, waktu perekaman, komposisi, sudut pengambilan, dsb.

Tim Pendukung Perekaman pada dasarnya mengikuti instruksi dan arahan dari Pengarah Perekaman, tanpa kecuali. Namun demikian, bentuk arahan cukup diberikan secara prinsip dan garis besar, sehingga memungkinkan teknisi (kamerawan, fotografer, serta juru peta dan gambar) mengembangkan detil perekaman sesuai dengan imajinasi dan kemampuannya.

4. Narasumber Ahli
Adalah ahli yang menjadi tokoh utama dalam film yang secara khusus berkaitan dengan peyampaian informasi kearkeologian maupun hasil penelitian yang secara substantif terkait langsung dengan topik dan alur film. Narasumber Ahli memiliki peran psikologis atas kualitas informasi dan pengetahuan yang disampaikan, sehingga secara akademik harus menguasai topik dan tema film. Jumlah Narasumber Ahli tidak terbatas, tergantung topik dan alur film yang disusun, namun pada prinsipnya adalah berbanding lurus dengan jumlah topik yang disampaikan; artinya sedapat mungkin dihindari perangkapan (topik lebih banyak dari narasumber) maupun duplikasi (suatu topik disampaikan oleh beberapa narasumber).

Materi yang disampaikan, waktu, lokasi, cara penyampaian, dan kostum narasumber pada saat perekaman pada dasarnya diarahkan oleh Pengarah Perekaman. Khusus untuk materi, sedikitnya ada tiga cara penyampaian materi dalam perekaman, yaitu 1) narasumber berbicara bebas dan hanya dibatasi oleh topik, 2) narasumber menghafal materi dengan arahan Pengarah, dan 3) narasumber mambaca materi dalam bentuk teks yang terlebih dahulu disiapkan dengan tetap memandang lensa kamera; dalam hal ini teks ditempatkan di dekat lensa sehingga megurangi kesan membaca. Penggunaan ketiga cara ini sangat tergantung pada isi materi, kondisi narasumber, serta kebiasaan narasumber dalam menyampaikan informasi.

5. Narasumber Pendukung
Secara umum tidak berbeda dengan Narasumber Ahli, perbedaannya ada pada isi materi yang harus disampaikan. Dalam hal ini, materi tersebut tidak terkait secara substantif dengan topik dan alur film, namun keberadaannya dibutuhkan sebagai mata rantai alur dan penghubung antar babak maupun penghubung antar informasi. Narasumber pendukung tidak wajib ada, namun sebagai pelengkap dan untuk memberikan gambaran komprehensif atas proses penelitian arkeologi, keberadaanya sangat membantu kelancaran alur film. Contoh narasumber ini adalah tokoh masyarakat atau penduduk sebagai penyampai informasi tentang riwayat penemuan, kondisi situs, pandangan masyarakat, situasi situs sehari-hari, dsb. Selain itu, Pejabat yang mewakili instansi tertentu dan secara substantif tidak terkait dengan topik dan alur film juga termasuk kategori narasumber ini.

Hal-hal lain yang berkaitan dengan teknis perekaman, penjelasannya sama dengan Narasumber Ahli.

6. Host:
Adalah tokoh dalam film yang memiliki peran sebagai “pengantar” suatu babak, “pengantar” materi informasi, dan “pengantar” visualisasi dalam alur film. Keberadaan host memang bukan keharusan, namun secara psikologis dan estetis dapat menambah kualitas sebuah film pengetahuan, dan yang lebih penting adalah meningkatnya kelancaran aliran film.

Materi yang disampaikan oleh host disiapkan terlebih dahulu oleh Tim Eksekutor dengan arahan substansi dari Narasumber Ahli. Di sisi lain, dalam batasan tertentu host juga dapat berperan untuk “memberikan” informasi substantif akademis yang disiapkan oleh Narasumber Ahli. Oleh karena itu, host tidak memiliki kedudukan dan peran yang berkaitan dengan substansi film, karena tugas utamanya adalah menyampaikan secara verbal “pengantar” dan informasi di depan kamera, dan seluruh materinya disiapkan oleh Tim Eksekutor.

Hal-hal yang bersifat teknis seperti gaya gerak, pose, kostum, logat, dan artikulasi, sepenuhnya diarahkan oleh Pengarah Perekaman. Ada dua cara dalam penyampaian materi oleh host, yaitu: 1) menghafal materi dengan arahan Pengarah, dan 2) mambaca materi dalam bentuk teks yang terlebih dahulu disiapkan dengan tetap memandang lensa kamera; dalam hal ini teks ditempatkan di dekat lensa sehingga megurangi kesan membaca. Pemilihan penggunaan cara ini sangat tergantung pada panjang atau pendeknya materi, serta kemampuan host dalam menghafal teks. Namun penggunaan cara yang pertama sangat disarankan sepanjang hal itu dimungkinkan, karena dalam perekaman ini sering diperlukan penyampaian materi oleh host sambil bergerak (berjalan, menunjuk, menengok, dsb.).

Kualifikasi peran host tidak terbatas pada gender tertentu, karena yang paling diutamakan adalah kelancaran berbicara, kemampuan “mengendalikan” audiens, secara fisik menarik, mampu mengendalikan logat dan artikulasi, serta sedapat mungkin mampu menghafal teks dalam waktu cepat.

7. Editor:
Secara teknis, Editor merupakan inti dari pembuatan film pengetahuan arkeologi, karena di tangannya sebuah film pengetahuan arkeologi harus “berbicara” dan harus menarik. Oleh karena itu, sedikitnya ada tiga aspek yang harus dimiliki oleh Editor film pengetahuan arkeologi, yaitu: 1) pemahaman secara mendalam tentang penelitian dan kegiatan arkeologi baik adalam skala akademis maupun non-akademis; 2) memiliki daya imajinasi artistik dan estetik yang memadai; 3) memiliki kemampuan teknis editing video (dan audio) dan teknik grafis.

Proses penyuntingan didasari oleh tiga hal, yaitu Naskah, Skenario, dan Imajinasi, sebagaimana uraian berikut ini.

(1) Secara umum Naskah digunakan sebagai acuan untuk menyusun kerangka “dongeng” atau cerita sehingga proses penyuntingan secara tidak langsung dibatasi oleh “dongeng” tersebut. Selain itu, pemahaman atas kerangka cerita ini juga digunakan untuk menentukan efek visual dan efek suara yang diperlukan bagi estetika dan eksotika film. Penyuntingan dasar (pemilihan dan koreksi klip, foto, peta, dan gambar) dalam batasan teknis juga mengacu pada isi Naskah sebagai bahan baku dalam proses penggabungan gambar.

(2) Skenario merupakan bingkai utama yang digunakan oleh Editor dalam penyuntingan, karena sudah tersusun secara runut sebagaimana sebuah storyboard. Mulai dari pemilihan gambar (klip, foto, peta, gambar), penyuntingan dasar (koreksi bahan klip, foto, peta, gambar), pemilihan musik latar, perencanaan animasi, hingga sentuhan efek visual dan suara, seluruhnya didasarkan pada storyboard sesuai Skenario.

(3) Imajinasi merupakan aspek paling dibutuhkan dalam penyuntingan film pengetahuan arkeologi, karena kedudukan dan perannya sangat strategis dalam “menghidupkan” film. Kerangka Naskah dan Skenario bukan menjadi harga mati, sehingga Editor harus mampu mengembangkan imajinasinya untuk menentukan koreksi dan olah grafis bahan, menentukan efek visual dan audio, menentukan dan menyunting musik latar, serta menentukan bentuk animasi yang diperlukan. Demikian pula dengan urutan babak, Editor harus mampu berimajinasi agar aliran film tidak terkesan kaku, beku, monoton, dan membosankan. Untuk itu diperlukan improvisasi agar aliran film memiliki “greget”, mengejutkan, mendorong rasa “penasaran”, eksotik, dan esktetik, namun tetap dalam kerangka besar Naskah dan Skenario. Editor juga berhak untuk mengurangi babak dalam sekenario jika itu dipandang menganggu atau duplikasi, dan menambahkan babak baru jika dirasa perlu untuk memperlancar alur film.

Kualifikasi Editor Film Pengetahuan Arkeologi adalah arkeolog atau orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang aspek akademis arkeologi, menguasai teknis penyuntingan video dan olah grafis, serta memiliki imajinasi estetis yang memadai.

8. Ilustrator Grafis:
Secara teknis, Ilustrator Grafis bertugas membantu Editor, khususnya berkaitan dengan kebutuhan akan bahan-bahan ilustrasi yang berkaitan dengan still image dan animasi. Foto, peta, dan gambar tidak dapat digunakan begitu saja sebagai bahan dalam penyuntingan film, karena harus disesuaikan baik dalam aspek visual maupun aspek teknisnya. Aspek visual, misalnya berkaitan dengan efek warna dan komposisi, penyediaan teks, latar, dan dekorasi artistik, maupun pembuatan animasi yang disesuaikan dengan babak film; aspek teknis khususnya berkaitan dengan dimensi dan resolusi bahan (sama atau lebih besar dari dimensi output film).

Selain itu, ilustrator grafis juga bertugas untuk mendesain cover maupun desain cetakan lainnya seperti poster film, leaflet, dsb. Oleh karena itu, kualifikasi Ilustrator Grafis pada prinsipnya adalah profesional di bidang desain grafis, memiliki daya imajinasi, dan mampu memahami aspek akademis arkeologi. Seorang arkeolog yang memiliki kemampuan teknis di bidang desain grafis dan daya imajinasi, sebenarnya lebih ideal karena materi film memang berkenaan dengan seluk-beluk arkeologi.

9. Sound Editor:
Sound Editor pada prinsipnya juga bertugas membantu Editor dalam penyuntingan film pengetahuan arkeologi, khususnya berkaitan dengan aspek teknis suara. Dalam hal ini, ada dua tugas utama, yaitu 1) menyiapkan musik latar dan 2) menyunting teknis suara hasil perekaman maupun efek yang diperlukan, termasuk suara hasil rekaman Narator.

Musik latar sedapat mungkin disiapkan secara khusus untuk mendukung alur film. Dengan arahan Editor, Sound Editor dapat menunjuk pencipta aransemen yang diperlukan. Namun demikian, Sound Editor juga dapat memilih musik yang sudah published untuk digunakan sebagai latar film, dengan menyebutkan pencipta maupun artis pembawanya. Musik yang terpilih perlu disunting agar sesuai dengan kebutuhan film, khususnya dalam hal dinamika level dan durasi.

Dengan kemampuannya, Sound Editor juga bertugas menyediakan efek suara (sound effect) berdasarkan arahan Editor. Efek suara dapat diciptakan atau disunting dari sound effect yang sudah published. Dengan demikian tidak ada batasan yang tegas untuk kualifikasi Sound Editor, meskipun idealnya adalah profesional di bidang digital audio.

10. Teks Narasi:
Adalah teks yang disiapkan untuk dibaca oleh Narator sebagai pelengkap dan pengisi suara dalam alur film. Teks Narasi ditulis oleh penulis khusus berdasarkan tiga kerangka, yaitu: 1) Naskah, 2) Skenario, dan 3) Alur lengkap film yang sudah disunting. Namun demikian, kerangka ke-3 adalah yang paling penting karena teks yang ditulis memang ditujukan untuk mengisi jeda-jeda dalam alur film yang sudah disunting.

Selain bertujuan untuk mengisi jeda-jeda dalam alur film, teks narasi juga bertujuan untuk mengganti suara Narasumber maupun Host jika dipandang perlu. Di sisi lain, teks narasi juga dapat disiapkan untuk mengisi suara yang perlu ditambahkan.

Teknik penulisan Teks Narasi adalah dengan menyimak berulang-ulang aliran film yang sudah disunting untuk mendapatkan kalimat serta frase yang sesuai secara substantif dan menarik secara estetik pada setiap jeda atau babak yang dianggap perlu. Teks Narasi ditulis dengan sistematika berdasarkan tanda waktu (menit dan detik); artinya, kalimat tertentu akan dibaca oleh Narator pada menit dan detik tertentu dengan durasi tertentu. Dalam pelaksanaannya, Penulis Teks Narasi didampingi oleh editor agar pengembangan imajinasi penulis sesuai dengan imajinasi Editor.

Kualifikasi Penulis Teks Narasi pada dasarnya berlatar belakang sastra dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang memadai, namun dapat berimprovisasi dengan penggunaan bahasa pergaulan. Penggunaan Bahasa Indonesia non-baku bahkan slank sering diperlukan agar film lebih familiar dengan penonton.

11. Narator:
Narator bertugas membaca Teks Narasi yang sudah disiapkan untuk direkam suaranya sebagai pengisi suara dalam alur film. Cara perekaman suara Narator dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) Narator membaca Teks Narasi dan direkam tanpa menyimak aliran film, dan 2) Teks Narasi dibaca Narator sambil menyimak aliran film.

Cara petama secara teknis lebih mudah karena proses perekaman lebih leluasa, namun dengan syarat: 1) Narator menyimak terlebih dahulu aliran film untuk menentukan speed, beat, tekanan, artikulasi, serta tipe dan gaya suaranya; 2) Pada saat perekeman, Narator didampingi oleh Editor, Sound Editor, dan Penulis Teks Narasi.

Cara yang kedua lebih rumit proses perekamannya karena di tempat perekaman (studio) harus disediakan media pemutar film dan konsetntrasi Nataror akan terpecah menjadi dua, yaitu konsentari pada alur film dan Teks Narasi. Namun, secara umum kedua cara tersebut dapat ditempuh, karena muara hasil perekaman suara Narator akan disunting ulang oleh Sound Editor dan digabungkan ke dalam alur film oleh Editor.

Kualifikasi Narator pada prinsipnya adalah profesional di bidang penyiaran publik. Namun secara khusus juga dibutuhkan profesional yang mampu memahami topik kearkeologian serta memiliki tipe dan gaya suara yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan film, seperti gaya suara smart, melankolis, tegas, datar, sedih, manja, menggurui, dsb.


3. PENUTUP: Menuju Arkeologi Visual

Jika bombardir teks dianggap tidak mampu menjangkau kebutuhan publik atas informasi dan pengetahuan hasil penelitian arkeologi, maka film pengetahuan arkeologi dapat menjadi salah satu jurus yang dapat menjawabnya. Oleh karena itu produk publikasi ini menjadi penting artinya untuk dikembangkan, apalagi di era digital seperti sekarang, yang secara stereotipe identik dengan kecepatan, estetika, ringkas-padat, serta yang paling penting adalah berbagai kemudahan yang ditawarkan.

Namun, FPA tidak sendirian karena merupakan bagian dari produk-produk arkeologi visual, sehingga pengembangannya juga harus diiringi dengan pengembangan jenis produk yang lain. Mungkin pertanyaannya adalah, “bagaimana memulainya ?”. Jika teknologi menawarkan berbagai kemudahan, maka arkeologi visual dapat dimulai dengan mengumpulkan, memilah, mendiskusikan, dan menentukan “dongeng” apa yang sekiranya patut disampaikan kepada masyarakat melalui FPA pada khususnya dan produk-produk arkeologi visual pada umumnya. Dengan demikian maka arkeolog dengan pasti sedang beranjak menuju arkeologi visual, dan siap memanjakan publik dengan informasi dan pengetahuan yang belum diakrabinya.

“Toh hasil penelitian arkeologi maupun gagasan kearkeologian tidak melulu harus dikemas dalam bentuk tulisan seperti buku dan artikel…”

“Dalam “perang” informasi di era digital, bombardir teks (written words) sudah tidak mempan lagi dalam menjangkau luasnya publik yang semakin akrab dengan informasi grafis yang begitu kreatif dan imajinatif” (Riyanto, 2008: 455)


ACUAN

Riyanto, Sugeng. 2003a. “Pemasyarakatan Hasil Penelitian Arkeologi: Sebuah Kerangka” dalam Berkala Arkeologi. Tahun XXIII Edisi No. 1 / Mei 2003. Hlm. 132 – 144.

_____________. 2003b. “Digitasi Dokumen Penelitian Arkeologi” dalam Berkala Arkeologi. Tahun XXIII Edisi No. 2 / November 2003. Hlm. 151 – 163.

_____________. 2008. “”Habis Gelap Terbitlah Terang”: Digital Imaging untuk Arkeologi Visual” dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi X, Yogyakarta, 26-30 September 2005. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), hlm. 452-456.

Young, Peter A. 2002. “Archaeologist as Storyteller” dalam Public Benefit of Archaeology. Barbara J. Little (ed.). Florida: University Press of Florida, pp. 239-243.

 

*MAKALAH PIA 2011