Irdiansyah
Arkeolog, Karyawan Swasta


1. Pendahuluan

While a fact exists in an event or part thereof that occurs once and is then gone forever, data are the representations of facts by some relatively permanent convention of documentation” (Binford, 1987: 392).

Sebagai ilmu pengetahuan (science), arkeologi tentunya sangat membutuhkan fakta sebagai sarana utama untuk menjawab berbagai pertanyaan penelitian. Secara fisik, fakta arkeologi yang dimaksud berupa artefak, fitur, ekofak, situs, ataupun suatu wilayah. Untuk mewujudkan “preserved by record” (Untoro Drajat, 2003: 94-97), fakta-fakta fisik itu diproses sehingga diproduksi rekaman data verbal maupun piktorial. Pertanyaannya, apakah produk rekaman itu tersedia untuk penelitian lebih lanjut? Apakah data-data fisiknya (artefak, ekofak, dan lain-lain) masih dapat terpelihara/terjangkau sehingga dapat dilakukan perekaman ulang?

Oleh karena itu, Arkeologi sebagai ilmu yang di setiap penelitiannya selalu memproduksi data seharusnya memiliki bank data/basis data atau lebih dikenal dengan istilah database. Organisasi arkeologi di beberapa Negara telah mengkaji dan menggunakan database arkeologi yang sistematis[1] menggunakan perangkat lunak MySQL (Hochin et al., 2009; Ross et al., 2005), Microsoft SQL Server (DAACS, 2004; Kadar, 2004), atau Microsoft Office Access (DAACS, 2004; Praetzelis, 2008; Tyne & Wear Museums, 2007). Bagaimana dengan Indonesia?

Salah satu sistem database untuk perekaman data arkeologi yang pernah diterapkan (mungkin pertama kali) di Indonesia adalah database kapal karam Karawang (selanjutnya disebut Karawang Shipwreck).[2] Database yang pertama kali dirancang oleh Horst Liebner (ahli perkapalan Melayu) ini dibuat melalui perangkat lunak Microsoft Office Access. Kini, Karawang Shipwreck Database dikembangkan secara langsung oleh Archaeologist, PT. Nautik Recovery Asia. Selain itu, temuan-temuan PT. Nautik Recovery Asia yang berikutnya dari Belitung Timur (Mampango Shipwreck, 2009) pun direkam ke dalam Microsoft Office Access Database. Kedua softcopy database itu telah diserahkan kepada PANNAS BMKT sebagai bagian dari laporan pengangkatan BMKT. Sistem database dalam skala kecil ini mungkin dapat dijadikan contoh/pemicu untuk mengembangkan sistem database dalam skala yang lebih besar, lebih tepatnya “Sistem Database Arkeologi Nasional”.

Hal ini mungkin sesuai dengan proses digitalisasi data arkeologi yang sedang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kini Kemendikbud). Akan tetapi, proses digitalisasi sangat memakan waktu. Alangkah lebih baik jika proses digitalisasi data arkeologi dilakukan mulai dari lapangan menggunakan sistem database skala kecil. Sehingga proses konversi dapat dilakukan dengan cepat ke dalam sistem database skala besar.


2. Database

Database adalah kumpulan data/informasi yang saling berkaitan, tersusun, dan terstruktur sehingga membentuk bangunan data/informasi dalam media penyimpanan komputer.[3] (Kadir, 2002; Kristanto, 2004). Database dapat berupa flat database atau relational database (Roman, 2002).

Flat database merupakan kumpulan data yang berada di dalam satu tabel tunggal (contoh, sheet pada Microsoft Excel), sedangkan relational database adalah kumpulan data yang terdiri dari beberapa tabel yang saling berkaitan. Relational database menggunakan program pengelola (perangkat lunak) untuk mengorganisir, mengisi, dan menampilkan data yang dikumpulkan. Seluruhnya kemudian disebut Database Management System (DBMS) atau Relational Database Management System (RDBMS) (Kristanto, 2004). Microsoft Office Access merupakan salah satu RDBMS.

Perangkat lunak yang direkomendasikan pada tulisan ini adalah Microsoft Office Access, khususnya versi 2003. Rekomendasi ini didasarkan atas pengalaman pembuatan dan penggunaan database pada penanganan temuan Karawang Shipwreck. Versi ini lebih mudah digunakan, mudah diperoleh, dan yang paling penting memiliki fungsi replikasi (replication) sehingga dapat digunakan pada beberapa kontributor.

2. 1. Objek-objek Pengelola Microsoft Office Access

Gambar 1: Microsoft Office Access 2003 (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

Berdasarkan beberapa tulisan (Permana, 2004; Roman, 2002), objek Microsoft Office Access (gambar 1) terdiri dari:

  1. Tables (tabel): merupakan kolom-kolom (fields) dan baris-baris (records) sama halnya dengan sheet pada program Excel. Karena mengandung data yang dikumpulkan dan merupakan sumber dari objek-objek lainnya, maka tabel merupakan objek utama yang harus ada ketika Access Database dibuat (gambar 2).
  2. Query: merupakan objek yang bentuknya serupa dengan tabel. Fungsinya untuk mencari/memilih field dan/atau record tertentu dari satu atau beberapa tabel yang ada (select query), melampirkan/memindahkan data (append query), mengubah data (update query), menghapus data (delete query), dan lain-lain.
  3. Forms (formulir): merupakan objek yang bentuknya serupa dengan lembar formulir isian untuk menampilkan, mengisi, atau mengubah data. Data yang ditampilkan pada form merupakan data yang bersumber dari tabel ataupun query. Dengan demikian ketika data dimasukkan ke formulir, otomatis data tersebut masuk ke dalam tabel ataupun query. Form merupakan kelebihan Access Database. Karena form dapat ditambahkan dengan penjelasan singkat, gambar/foto, dan tombol perintah (command button) (gambar 2).
  4. Reports: merupakan objek untuk menampilkan laporan data sesuai kebutuhan dalam bentuk tabel, gambar/foto, dan grafik yang kemudian dapat dicetak.
  5. Pages: merupakan objek untuk membuat halaman web berupa data Access Page yang dapat ditempatkan pada server sistem jaringan.
  6. Macros: merupakan objek yang berfungsi untuk membuat perintah-perintah tertentu dalam pengolahan Access Database.
  7. Modules: merupakan objek untuk merancang perintah-perintah pada pengolahan Access Database tingkat lanjut menggunakan bahasa pemrograman berupa kode-kode Visual Basic yang dapat dibuat sesuai kebutuhan.

Sama halnya dengan sheet pada Microsoft Excel, objek utama Access Database adalah tabel. Perbedaannya, data dapat dimasukkan dan ditampilkan melalui form Access Database sehingga lebih mudah dipahami oleh siapapun. Selain itu, form juga dapat dengan mudah diakses melalui tombol perintah (command button) dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Gambar 2: Tabel dan form pada Microsoft Office Access 2003, a: baris-baris (records); b: kolom-kolom (fields) tabel; c: kolom-kolom isian; d: petunjuk; e: foto/gambar; dan f: tombol perintah (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

2. 2. Akses Foto/Gambar dalam Form

Khusus untuk menampilkan foto/gambar dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara pertama, foto/gambar dapat dicantumkan secara permanen (embedded) ketika objek form dirancang (design). Kekurangannya, ukuran database akan menjadi terlalu besar jika foto/gambar yang dicantumkan memiliki ukuran yang besar. Perlu diketahui bahwa semakin besar ukuran database, maka semakin lambat proses pembukaan database ketika data ingin ditampilkan.

Cara kedua, foto/gambar dapat ditampilkan dengan memanfaatkan fasilitas hyperlink, yaitu mencantumkan alamat foto/gambar dari suatu subfolder yang satu folder dengan database. Dengan demikian foto/gambar dapat ditampilkan secara langsung di dalam form melalui proses pemrograman (Visual Basic) yang rumit dan panjang. Cara ini cukup baik digunakan untuk menghindari ukuran database yang terlalu besar, karena foto berada di luar database.

Cara ketiga, foto/gambar dapat ditampilkan melalui program tambahan seperti DBPix. Program tambahan ini digunakan untuk memperoleh (acquire) foto dari webcam/scanner yang terhubung langsung dengan komputer (plug-in) atau dari folder tertentu sehingga dapat dimasukkan pada Access Database. Selain itu, program tambahan ini juga dapat mengurangi ukuran foto/gambar yang sebenarnya (compress) sesuai kebutuhan.

2. 3. Replikasi (Replication)

Microsoft Office Access Database versi 2003 dapat terdiri dari satu file induk (master design), yang kemudian dapat direplikasi (digandakan) menjadi satu atau beberapa file replika (replica). File-file replika itu dapat dimiliki oleh beberapa kontributor (pengisi database), yang kemudian dapat saling disinkronisasi (synchronize) melalui network, flashdisk, atau internet. Sebagai gambaran, seorang peneliti dapat merekam data-data ekskavasi di lapangan ke dalam formulir file replika Access Database dengan “netbook/notebook”, kemudian datanya disinkronisasikan dengan file induk (master design) yang ada di kantor pusat. Dengan demikian, data dapat lebih mudah diakses kembali ketika analisis dilakukan dan/atau saat dikonversi ke dalam sistem database skala besar.

3. Sistem Database pada Penanganan Temuan Karawang Shipwreck

Sistem Access Database ini secara khusus dibuat untuk penanganan temuan Karawang Shipwreck di gudang (warehouse). Sistem ini meliputi proses kedatangan benda-benda ke gudang, proses konservasi (desalinasi, pencucian, dan lain-lain), proses pengukuran, penyimpanan sampai evaluasi, dan inferensi data (bagan 1). Dengan demikian, sistem ini tentunya dapat melestarikan data arkeologi bawah air secara digital.

Bagan 1: Aliran data temuan Karawang Shipwreck di gudang (warehouse) (modifikasi: Irdiansyah, 2011).

Khusus untuk proses pengangkatan di kapal, rekamannya berupa tabel Microsoft Excel. Rekaman dari lokasi pengangkatan itu berupa nomor temuan dalam bentuk barcode, keletakan terhadap grid (x,y)[4], kategori, jenis material, tanggal pengangkatan, dan catatan lainnya. Tabel Microsoft Excel itu kemudian dikonversi menjadi tabel yang disebut data_ship pada file database tersendiri yang merupakan kumpulan seluruh data induk hasil ekskavasi. Tabel itu kemudian dipindahkan lagi ke tabel data_ship pada file induk (master design) Karawang Shipwreck menggunakan fungsi append query[5]. Tabel data_ship kemudian dijadikan dasar pembuatan tabel-tabel lain dan formnya (gambar 3). Kemudian satu file induk Karawang Shipwreck direplikasi menjadi beberapa file replika (replica), sehingga terbentuk sebuah sistem database gudang Karawang Shipwreck (Karawang Shipwreck Warehouse Database).

Gambar 3: Tabel data_ship serta menu utama (berupa form) sistem database gudang Karawang Shipwreck (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

Berbagai menu/submenu dalam bentuk form dibuat untuk mempermudah pengelolaan sistem database gudang Karawang Shipwreck. Pada menu utama terdapat empat tombol (gambar 3) yang berfungsi untuk menampilkan data (viewing data) yang telah direkam dan diolah; mencari data (find artefact); mengatur dan menambah data (managing and adding data); dan menutup sistem database. Menu utama inilah yang kemudian mengantarkan pengguna sistem database pada form-form lain sesuai dengan kebutuhannya.

Submenu pengaturan dan penambahan data (managing and adding data) merupakan submenu yang selalu digunakan (gambar 4). Karena di dalamnya terdapat berbagai tombol yang berkaitan dengan proses pengaturan dan penambahan data.

Gambar 4: Submenu managing and adding data (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

3. 1. Pemeriksaan Data Pertama (First Data Check)

Pemeriksaan ini dilakukan ketika artefak-artefak tiba di gudang atau sebelum proses konservasi. Fungsinya untuk memeriksa apakah data yang datang sesuai dengan catatan kapal. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan beberapa informasi ke dalam form (gambar 5). Informasi yang dimasukkan adalah nomor artefak berupa barcode yang dapat dipindai (scan), tanggal barang tiba (terisi secara otomatis), dan nama pemeriksa.

Gambar 5: Form first data check dan form second data check (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).


3. 2. Pemeriksaan Data Kedua (Second Data Check)

Pemeriksaan ini dilakukan ketika artefak selesai melewati proses konservasi atau sebelum proses pengukuran. Salah satu fungsinya adalah untuk memindahkan rekaman data ke tabel ukuran masing-masing kategori[6]. Informasi yang dimasukkan adalah barcode, tanggal (terisi secara otomatis), nama pemeriksa, jenis glasir (ceramic glaze), kondisi (condition), dan kategori baru (category new) (gambar 5). Kategorisasi pada tahap ini merupakan koreksi kategori di kapal dan/atau disesuaikan dengan sistem kategori yang berlaku di warehouse.

3. 3. Pengukuran Artefak (Artefacts Measuring)

Foto 1: Proses pengukuran artefak (foto: Liebner, 2008).

Setelah melewati proses konservasi dan tahap pemeriksaan data kedua (second data check) artefak kemudian dibawa ke meja ukur (foto 1). Pengukuran artefak dilakukan melalui submenu berupa form yang berisi tombol-tombol (gambar 6) yang mengantar pengguna ke form isian sesuai dengan masing-masing kategori. Tiap kategori tentunya memiliki beberapa atribut[7] yang berbeda. Sehingga form isiannya pun memiliki berbagai petunjuk dan urutan[8] yang berbeda pula.

Gambar 6: Form berisi tombol-tombol untuk memulai pengukuran artefak (measuring artefacts) (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

Salah satu kategori temuan Karawang Shipwreck yang dapat dijelaskan urutan dan atributnya adalah kategori closed (tertutup). Pada penanganan temuan Karawang Shipwreck ini, kategori closed (tertutup) didefinisikan sebagai seluruh artefak yang diameter lubang atasnya lebih kecil dari diameter terbesar bagian badannya, serta tidak memiliki leher dan/atau cucuk. Atribut yang direkam pada proses pengukuran ini adalah ukuran dan bentuk (dalam sistem ini kemudian disebut form). Form-form itu dirancang sedemikan rupa agar pengisinya dapat menjalankan proses pengukuran dengan mudah dan efisien.

Ketika tombol kategori closed (gambar 6) diklik (click) maka akan muncul form (formulir) isian yang berfungsi untuk mencari barcode sesuai artefak yang diukur dan memulai penghitungan waktu pengukuran. Informasi yang dimasukkan adalah barcode, nama pengisi, dan tanggal (terekam secara otomatis ketika nama pengisi dimasukkan).

Selanjutnya setelah tombol “ok” diklik akan muncul form-form untuk pengukuran. Mulai dari tinggi (height), diameter terbesar (body broadest diameter), diameter lubang atas (top opening diameter), tinggi kaki (bottom rim height), diameter kaki (bottom diameter), tebal bingkai kaki (bottom rim width), diameter tengah kaki (bottom centre diameter), hingga diameter dalam kaki (inside bottom rim diameter) (gambar 7).

Gambar 7: Form atribut ukuran (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

Setelah seluruh atribut ukuran direkam, perekaman selanjutnya dilakukan pada atribut bentuk. Atribut bentuk (form) yang direkam berupa bentuk umum (form1), bentuk sengkang (form2), bentuk petal (form3), tepian (form4), dan garis pada tepian (form5) (gambar 8).

Gambar 8: Form atribut bentuk (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

3. 4. Penyimpanan (Storage)

Seluruh artefak yang sudah direkam ukuran dan bentuknya selanjutnya disimpan di dalam beberapa keranjang sesuai kategorinya, kemudian diletakkan pada rak-rak secara berurutan. Pencatatan nomor artefak dan keranjangnya dilakukan melalui form pengisian keranjang (fill a box for end storage). Fungsinya untuk mencatat artefak-artefak mana saja yang akan masuk dalam satu keranjang. Informasi yang dimasukkan adalah nama pemeriksa, kode keranjang (box code), nomor keranjang (box number), barcode, dan tanggal (terisi secara otomatis).

Kemudian keranjang yang telah terisi diletakkan pada rak-rak tertentu. Pencatatannya dilakukan pada form penanganan keranjang (manage a box). Form ini digunakan untuk merekam keletakan keranjang dan juga untuk mencetak daftar artefak-artefak yang ada di satu keranjang tersebut. Selanjutnya data-data siap untuk dicari kembali menggunakan form pencarian data (find artefact).

3. 5. Evaluasi dan Inferensi Data (Pemilahan Subkategori)

Seluruh rekaman yang telah terkumpul kemudian dapat dievaluasi melalui pengamatan tabel-tabel measurement. Evaluasi juga dapat dilakukan dengan pembuatan grafik yang didasarkan atas tabel. Melalui rekaman yang telah diisi pada database ini juga dapat dibuat inferensi data melalui grafik Access Database. Sebagai contoh, dapat dibuat gambaran keletakan temuan berdasarkan grid-grid ekskavasi (gambar 9).

Gambar 9: Grafik jumlah setiap kategori yang dapat digunakan sebagai alat evaluasi dan grafik keletakan (x dan y) (perbedaan warna menunjukkan jumlah) (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

Atribut ukuran dan bentuk yang telah direkam pada tabel Access Database dapat menjadi dasar klasifikasi, khususnya untuk memilah kategori menjadi subkategori. Pemilahan dilakukan dengan mencari atribut-atribut kunci (key attributes) melalui program analisis Sigmaplot, yaitu aplikasi yang dapat mengkonversi data-data tabel Access menjadi peta sebaran data (scatter chart) (gambar 10).

Gambar 10: Peta sebaran data kategori closed yang menunjukkan lima sub kategori berdasarkan atribut kunci ukuran diameter badan (x), tinggi (y), dan bentuk sengkang/kuping (simbol-simbol berwarna) (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

3. 6. Menampilkan Data (Viewing Data)

Seluruh data yang telah terekam dan diolah kemudian ditampilkan melalui viewing data form yang berisi seluruh rekaman, hasil klasifikasi, dan foto setiap artefak (gambar 11). Dengan demikian, data temuan Karawang Shipwreck dapat dengan mudah diakses oleh siapapun yang ingin meneliti lebih lanjut.

Gambar 11: Viewing data form yang menampilkan seluruh hasil perekaman artefak (sumber & modifikasi: Irdiansyah, 2011).

4. Sistem Database untuk Perekaman Data Arkeologi

Sistem database gudang Karawang Shipwreck dapat disebut sebagai sistem database skala kecil yang cukup rumit. Pada perjalanannya sistem itu pun telah melalui berbagai proses evaluasi dan perbaikan dengan harapan terwujud suatu sistem yang lebih baik. Dengan demikian, untuk mewujudkan sistem database skala besar seperti “Sistem Database Arkeologi Nasional” pastinya perlu perencanaan yang cukup matang. Sistem yang ditawarkan pada tulisan ini hanya merupakan contoh yang perlu dievaluasi dan dipikirkan lebih lanjut.

Salah satu tujuan pembuatan “Sistem Database Arkeologi Nasional” adalah terwujudnya rekaman data arkeologi yang terorganisasi dengan baik. Dengan demikian akses data dapat dilakukan dengan mudah dan efisien. Informasi yang direkam pada “Sistem Database Arkeologi Nasional” mungkin harus disesuaikan dengan bidang arkeologi, tahapan penelitian, jenis data, dan atributnya. Penyesuaian yang demikian harus dilakukan melalui berbagai pertimbangan yang matang.

Secara umum pengguna sistem database terdiri dari administrator (administrator) dan pemakai (users). Administrator merupakan pengontrol yang mungkin sekaligus merancang sistem database. Sehingga mengerti struktur data, penyimpanan data, mampu memodifikasi, memberikan kekuasaan pada pemakai, dan mengintegrasikan data. Pemakai merupakan pengguna yang berinteraksi dengan data baik dalam pengisian, menjalankan menu, dan berbagai proses yang telah tersedia. Pada konteks “Sistem Database Arkeologi Nasional”, mungkin peneliti lebih tepat disebut sebagai pemakai. Tetapi, pada saat perancangan sistem database peneliti juga harus berperan dalam memberikan saran tentang jenis informasi apa saja yang perlu direkam di dalam database.

Aliran data “Sistem Database Arkeologi Nasional” dapat meliputi proses pengumpulan data (input), konversi data (processing), dan pembuatan keluaran yang dapat diakses oleh siapapun yang membutuhkan data (output). Proses pengumpulan data (input) dapat dilakukan dengan beberapa file replika (replica) Microsoft Office Access Database yang direplikasi dari satu file induk (master design). Sehingga seorang peneliti dapat melakukan perekaman data di lapangan ke dalam file replika dengan “netbook/notebook”, kemudian disinkronisasikan dengan master design yang ada di kantor pusat.

Konversi data (processing) file induk (master design) Microsoft Access dapat dilakukan ke program database yang tidak terbatas kapasitasnya seperti SQL Server (program berbayar) atau MySQL (open source). Pembuatan output dapat dilakukan dengan dua cara. Output pertama melalui viewing data form menggunakan aplikasi Microsoft Access seperti pada sistem database Karawang Shipwreck. Output kedua melalui webform yang terkoneksi oleh server seperti ASP (milik Microsoft) atau PHP (open source) secara offline ataupun online (bagan 2).

Bagan 2: Aliran data “Sistem Database Arkeologi Nasional” (modifikasi: Irdiansyah, 2011).

5. Penutup

Sistem database Karawang Shipwreck merupakan Database Management System (DBMS) skala kecil yang sangat berguna dalam perekaman data arkeologi bawah air khususnya dalam melestarikan data arkeologi (benda yang diduga Cagar Budaya) secara digital. Hal itu tentu mendukung UU RI nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.[9] Selain itu, beberapa kolom dan tabel database Karawang Shipwreck dan Mampango Shipwreck kini telah dikonversi menjadi HTML webform dan dapat diakses secara online di website Arkeologi Digital.

“Sistem Database Arkeologi Nasional” merupakan rekomendasi yang sesungguhnya dapat direalisasikan jika seluruh pihak yang terkait dapat bekerjasama dengan baik. Pemerintah mungkin dapat menyediakan waktu dan dana yang cukup. Sebuah tim perancang yang cukup paham dalam membangun sistem database dan mengerti dunia arkeologi perlu dibentuk. Selain itu, peneliti arkeologi, ahli-ahli dari universitas, dan/atau museum dapat merumuskan informasi apa saja yang dibutuhkan. Dengan demikian, dapat terbentuk suatu sinergi yang dapat mewujudkan sistem informasi data arkeologi yang terpelihara, terjaga, dan tersedia untuk penelitian lebih lanjut. Jaya arkeologi Indonesia!

Catatan:

  1. Saling berkaitan, diorganisasikan dengan baik, dan dapat diakses.
  2. Kapal karam yang mengandung “Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam” (BMKT) ini ditemukan dan diangkat oleh PT. Nautik Recovery Asia di kedalaman 54-57 meter (dpl) koordinat 05°30’ LS dan 107°44’ BT perairan Karawang, Jawa Barat pada tahun 2008.
  3. Hard disk, flashdisk, compact disc, dan lain-lain.
  4. Karena keadaan di bawah air yang tidak memungkinkan, kedalaman (z) dibuat dalam skala 54-57 meter di bawah permukaan laut.
  5. Append query dilakukan untuk memindahkan data tertentu dari satu tabel ke tabel yang lain.
  6. Pada sistem database gudang Karawang Shipwreck terdapat beberapa kategori umum, yaitu artefak keramik tertutup (closed), terbuka (open), kendi (kendi), vas (vase), teko (ewer), artefak keramik lain (other ceramic), dan artefak bukan keramik (non-ceramic). Kategori yang lebih khusus akan didapat/ditentukan setelah seluruh ukuran dan ciri pada temuan terkumpul. Setiap kategori kemudian memiliki tabel tersendiri, yaitu closed measurement table, open measurement table, kendi measurement table, vase measurement table, ewer measurement table, dan lain-lain.
  7. Atribut ukuran dan bentuk sebelumnya harus ditentukan melalui proses diskusi sesuai dengan tujuan/kebutuhan perekaman.
  8. Urutan form disesuaikan dengan teknik pengukuran sehingga proses pengukuran berjalan lebih cepat dan efisien. Contohnya, urutan ukuran dapat dimulai dari bagian atas, badan, sampai bawah.
  9. Pasal 53, butir (4): Pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.

 

Referensi

Referensi Binford, Lewis R. 1987. “Data, Relativism and Archaeological Science”. Man, New Series, Vol. 22, No. 3. (Sep., 1987), pp. 391-404.

DAACS (Digital Archaeological Archive of Comparative Slavery). 2004. About the Database: Structure. [http://www.daacs.org/aboutDatabase/structure.html, diakses pada 11 Januari 2010].

Hochin T., F. Kobayashi, K. Tsuji, dan H. Nomiya. 2009. “Seamless Usage of User’s Databases in Archaeological Database System”. 22nd CIPA Symposium, October 11-15, 2009, Kyoto, Japan. [cipa.icomos.org/fileadmin/papers/Kyoto2009/121.pdf , diakses pada 23 Desember 2009].

Kadar, Manuela. 2004. “Data Connection and Manipulation of Archaeological Database Created in Visual Environment”. Proceedings of the International Conference on Theory and Applications of Mathematics and Informatics – ICTAMI 2004, Thessaloniki, Greece 263. [http://www.emis.de/journals/AUA/acta8/Kadar%20Manuella.pdf, diakses pada 23 Desember 2009].

Kadir, Abdul. 2002. Penuntun Praktis Belajar SQL. Yogyakarta: ANDI.

Kristanto, Harianto. 2004. Konsep dan Perancangan Database. Yogyakarta: ANDI.

Permana, Budi. 2004. Seri Penunutun Praktis Microsoft Office Access 2003. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Praetzelis, Adrian. 2008. S.H.A.R.D: Sonoma Historic Artifact Research Database, the How to Manual. [http://www.sha.org/research_resources/artifact_cataloging_system/SHARD_how_to_manual.pdf, diakses pada 23 Desember 2009].

Roman, Steven. 2002. Access Database Design & Programming. USA: O’Reilly. 3rd Edition.

Ross, Kenneth A., Angel Janevski, dan Julia Stoyanovich. 2005. “A Faceted Query Engine Applied to Archaeology”. [http://www.vldb2005.org/program/paper/demo/p1334-ross.pdf, diakses pada 23 Desember 2009.

Sharer, R. J., dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamental of Archaeology. London: The Benjamin Cumming Publisher Company.

Tyne & Wear Museums. 2007. TWM Archaeology: What is the Ceramic Database. [http://www.twmuseums.org.uk/archaeology/ceramic%20database/database.html, diakses pada 23 Desember 2009].

Untoro Drajat, Hari. 2003. “Metode Perekaman Data, Preserved By Record”. Dalam Permana et al. (Ed). Cakrawala Arkeologi: Persembahan untuk Prof. Dr. Mundardjito (hlm. 93-99). Depok: Jurusan Arkeologi FIB-UI.

*MAKALAH PIA 2011