Oleh: Indah Asikin Nurani
Balai Arkeologi Yogyakarta


Abstrak

Arkeologi publik, dewasa ini makin gencar menjadi tolok ukur kinerja institusi arkeologi. Eksistensi institusi arkeologi akan dapat dirasakan peran pentingnya apabila mampu memberikan kontribusi dalam membentuk jatidiri bangsa melalui berbagai penyebaran informasi kepada masyarakat. Melalui kemasan dalam pengelolaan informasi yang interpretatif baik dalam bentuk lisan, tulis, maupun visual sebagai media komunikasi arkeolog yang berprofesi sebagai peneliti, praktisi, ataupun akademis sebenarnya dinantikan masyarakat luas dalam menjabarkan rekonstruksi cara hidup masa lalu, sejarah kehidupan, dan proses perubahan budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, hal utama yang harus dilakukan adalah komunikasi. Berbagai bentuk kemasan informasi baik yang berbasis komputer maupun manual akan dapat terselenggara apabila dasar pijakannya adalah komunikasi. Makalah ini mencoba menjabarkan arti penting komunikasi secara teoritis dalam penyebarluasan informasi khususnya informasi tentang manajemen sumberdaya budaya kepada publik. Komunikasi menjadi kerangka teoritis, karena berdasarkan teori komunikasi akan ditentukan bagaimana sistem informasi yang digunakan untuk membentuk persepsi publik. Selanjutnya melalui media-media komunikasi dapat diinformasikan tentang posisi, peran penting, dan manfaat arkeologi kepada publik, terkait dengan aspek pemasaran. Dalam pengelolaan informasi haruslah dapat membangkitkan kesadaran akan arti penting, signifikasi, serta fenomena lainnya melalui presentasi baik dalam kemasan lisan, tulis, maupun visual yang efektif. Informasi yang interpretatif haruslah disajikan secara imajinatif dalam bentuk signboard, pusatpusat kunjungan, maupun audio-visual guna meningkatkan kualitas pengalaman serta menjadikannya bagian dari hidup masyarakat.


I. Pendahuluan

Penelitian arkeologi, sebagaimana disiplin ilmu yang lain, meliputi proses dan tingkatan penelitian mulai dari pengumpulan data, pengolahan data, hingga penjelasan mengenai hasil penelitiannya. James Deetz (1967) menggambarkan tiga tingkatan dalam penelitian arkeologi mulai dari tahap observasi, deskripsi, hingga eksplanasi. Selanjutnya pada tahap pasca penelitian, khususnya berkaitan dengan publikasi, arkeolog dituntut untuk mengkomunikasikan hasil penelitian arkeologi kepada khalayak (Joukowsky, 1980). Hal tersebut dilakukan bukan sekedar sebagai tanggung jawab profesi akan tetapi lebih penting dari itu sebagai tanggung jawab moral arkeolog. Selain itu, perlu disadari bahwa penelitian arkeologi pada prinsipnya dibiayai oleh masyarakat, maka secara profesional arkeolog memiliki tanggung jawab untuk menginformasikan hasil penelitiannya bukan saja kepada kalangan akademik tetapi juga kepada masyarakat luas (McGimsey & Hester A. Davis, 1977). Dengan kata lain, mengkomunikasikan dan menyebarluaskan pengetahuan tentang hasil penelitian arkeologis penting artinya bukan saja kepada kalangan akademik tetapi juga bagi masyarakat awam (Soebadio, 1993/1994).

Sehubungan dengan mengkomunikasikan atau menginformasikan hasil penelitian arkeologi baik kepada kalangan akademik maupun kepada masyarakat luas atau publik ini dikenal dengan istilah arkeologi publik. Pengertian arkeologi publik didefinisikan dalam berbagai pengertian dan makna. Meskipun kerangka dasarnya sama yaitu hubungan yang reciprocal antara arkeologi sebagai ilmu dengan masyarakat luas. Prasodjo (2004) merangkum berbagai pengertian Arkeologi Publik meliputi tiga definisi, yaitu:

  1. Arkeologi Publik disamakan dengan Contract Archaeology atau Cultural Resources Management (CRM), yaitu berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya budaya (arkeologi) yang mencakup segala hal yang biasa dilakukan dalam CRM, mulai dari konservasi sampai dengan masalah hukum / perundangan
  2. Arkeologi Publik sebagai bidang kajian yang membahas mengenai hal yang berkaitan dengan bagaimana mempresentasikan hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat. Cakupan dalam definisi ini lebih sempit karena yang paling utama dalam pengertian ini adalah masalah publikasi hasil penelitian arkeologi. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan publikasi bukan hanya penerbitan saja, tetapi melingkupi publikasi dalam bentuk yang lain, seperti display/pameran museum, poster, film, dan sosialisasi arkeologi.
  3. Arkeologi Publik sebagai bidang ilmu arkeologi yang khusus menyoroti interaksi arkeologi dengan publik atau masyarakat luas. Interaksi tersebut dapat terjadi dalam dua arah, baik dari arkeologi ke publik maupun dari publik ke arkeologi.

Lihat naskah lengkap dalam bentuk PDF di bawah ini:

Indah Asikin Nurani – Balai Arkeologi Yogyakarta – PIA 2008