Agustijanto Indrajaya
Puslitbang Arkenas

Arkeologi terapan adalah sebuah istilah yang akhir-akhir ini menjadi sebuah wacana yang mendesak untuk dapat segera diimplementasikan dalam kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) selain penelitian murni yang selama ini dilakukan. Hal tersebut tentu saja sedikit banyak telah mengubah kebijakan Puslitbang Arkenas dan balar-balarnya. Kini program penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Arkenas dituntut untuk mampu menopang misi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yakni pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan potensi sumberdaya budaya yang secara sinergi mendukung pengembangan kebudayaan dan Pariwisata. Oleh karena itu dalam salah satu butir kebijakan Puslitbang Arkenas memuat kebijakan yang berbunyi “ …Pada sisi lainnya, penelitian arkeologi harus dapat bermuara pada kepentingan praktis, yaitu pemanfaatan untuk kepentingan masyarakat. Kebijakan Puslitbang Arkenas di atas mengisyaratkan agar produk penelitian mendatang tidak semata berupa arkeologi murni namun juga memasukan unsur arkeologi terapan. Penelitian terapan bertitik tolak dari hasil penelitian murni yang selanjutnya direkayasa agar dapat dimanfataan untuk berbagai kepentingan masyarakat luas dengan memperhatikan outcome, benefit, dan impact positifnya.

Diakui ataupun tidak masalah penelitian arkeologi terapan sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Mengingat hal ini berkaitan dengan aspek pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya budaya bagi kepentingaan masyarakat luas. Dimanfaatkannya situs Sangiran, Candi Bororbudur dan lainnya untuk kepentingan pariwisata menunjukkan bahwa sebenarnya produk penelitian arkeologi telah dapat dikatakan memberi kontribusi bagi pembangunan. Masalahnya sumberdaya budaya yang kita miliki tidak semata-mata yang tersebut di atas saja. Dibandingkan dengan sumberdaya budaya yang belum dimanfaatkan jumlahnya masih sangatlah besar dan tersebar di seluruh nusantara.

Di sisi lain jika sebelumnya kebijakan Puslitbang Arkenas yang tertuang dalam tujuh tema utama penelitian dan selalu menjadi acuan dalam penyusunan rencana penelitian tidak memberi ruang bagi diakomodasikannya penelitian terapan atau setidaknya para peneliti yang menyusun rencana penelitian tidak ada tuntunan untuk ikut memberi kontribusi dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan terhadap situs yang tengah menjadi objek garapannya. Ketujuh tema besar tersebut hanya menekankan pada aspek penelitian arkeologi murni saja padahal menurut Mundarjito masalah penelitian dan pelestarian merupakan dua aspek yang sama penting dan sukar untuk dipisahkan . Inilah ciri utama yang khas dari disiplin arkeologi dan menjadi penanda yang jelas dengan ilmu lainnya (1996;M.Fadlan,1998: 2). Sependapat dengan Mundarjito, Bugie Kusumohartono menyatakan bahwa penelitian arkeologi yang hanya menekankan pada studi kebudayaan masa lampau saja sebagai sesuatu yang salah kaprah. Penelitian arkeologi sekurang-kurangnya memiliki dua sisi yakni studi kebudayaan masa lampau dan studi mengenai konservasi data masa lampau. Dengan studi konservasi ini maka tinggalan tersebut bagi peneliti dapat digunakan untuk pengembangan ilmu baik masa kini maupun masa mendatang sedangkan untuk masyarakat luas dapat digunakan untuk kepentingan pariwisata, pendidikan dan lainnya (2 :1994). Melihat kebutuhan akan pengembangan arkeologi ke depan maka pada tahun 2011, Puslitbang Arkenas mencamtumkan satu tema penelitian baru yakni Penelitian terapan atau lebih dikenal sebagai penelitian manajemen sumberdaya budaya (CRM). Paling tidak ada dua hal yang mendasar dari penelitian terapan (CRM) yakni pertama, dalam penelitian terapan muncul dimensi baru yang terkait dengan berbagai kepentingan yang sifatnya eksternal di luar kepentingan arkeologi seperti kepentingan ekonomi, pendidikan dan kepariwisataan. Kedua, kinerja penelitian terapan (CRM) sangat peduli terhadap kepentingan stakeholders yang heterogen sifatnya. Kinerja CRM berupaya agar berbagai kepentingan dapat terakomodasi tanpa mengurangi makna sumberdaya arkeologi ( Tanudirdjo,2004:11; Bambang Soelist, 2011: 4)

Hal lain yang mungkin menjadi penyebab kurang tergarapnya penelitian arkeologi terapan kemungkinan adanya anggapan bahwa masalah pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya budaya telah ditangani oleh instansi lain sehingga ada kesan selama ini bahwa Puslitbang Arkenas hanya menangani aspek penelitian murni saja. Tentunya pandangan ini (jika memang benar) perlu direvisi. Di tingkat pelaksana memang masalah penanganan sumberdaya budaya diserahkan pada instansi lain namun dalam satu studi pelestarian dan pemanfaatannya seyogyanya hal tersebut merupakan satu paket dengan penelitian murni yang kedua-duanya dapat dilaksanakan secara bersama-sama.

Seperti yang telah disebutkan di depan bahwa penelitian arkeologi terapan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Beberapa hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta telah memuat penelitian arkeologi terapan dan hal tersebut tersebut dapat saja dijadikan model bagi pelaksanan penelitian terapan di wilayah lainnya. Salah satu model penelitian terapan yang ada seperti termuat dalam jurnal penelitian arkeologi Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1995 yang berjudul “ Studi Pola Permukiman Kota Kartasura Jaman Kerajaan Mataram Islam di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah”. Dalam pokok kajiannya, selain membahas tentang pola permukiman kota dari sudut arkeologi juga mengkaji prospek pengembangan situs tersebut ke depannya.


Orientasi Arkeologi Terapan

Secara sederhana penelitian arkeologi terapan dapat saja dipahami sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya budaya bagi kepentingan masyarakat luas. Hal ini didasarkan pada satu pandangan bahwa sumberdaya budaya mempunyai kedudukan yang sama dengan sumberdaya yang lain seperti sumberdaya alam yang sifatnya tidak dapat diperbaharui kembali. Oleh karenanya sumberdaya budaya perlu pula dikelola secara bijak agar tidak hilang begitu saja. Kedudukan dan peran sumberdaya budaya dalam proses pembangunan dapat dibahas berdasarkan aspek potensi dan nilai penting (Bugie K, — :5 ). Kata “pengelolaan” mengandung makna sebagai sebuah tindak manajemen meliputi perencanaan, tata organisasi, pelaksanaan kontrol evaluasinya. Perencanaan seyogyanya mengacu pada kepentingan masyarakat, sejauh mana perencanan pelestarian tinggalan budaya tersebut dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Untuk itu diperlukan peran utama arkeolog untuk membentuk opini masyarakat tentang makna tinggalan benda budaya masa lalu sebagai warisan budaya bangsa. Tanpa apresiasi dan partisipasi masyarakat maka tindak pelestarian secara konsepsional akan sia-sia (Nurhadi, 1992: 7).

Seperti yang telah disebut di depan, orientasi penelitian arkeologi terapan yang produknya berupa pemanfaatan sumberdaya budaya ini perlu didukung oleh pemahaman tentang potensi dan permasalahan yang ada pada objek arkeologi tersebut (situs). Pemanfaatan objek arkeologi untuk kepentingan pariwisata atau pendidikan akan dapat menimbulkan masalah terhadap kelestarian situs itu sendiri jika tidak memahami potensi situs tersebut misalnya dengan memodifikasi ruang secara berlebihan dengan tujuan membuat tempat tersebut menjadi lebih menarik dapat saja justru akan merusak/ menghilangkan tinggalan arkeologi yang ada.

Di samping itu munculnya konflik-konflik kepentingan antara upaya mempertahankan serta memanfaatkan suatu situs dengan kepentingan sektor lainnya tetap diperlukan pemahaman terhadap potensi dan permasalahan yang ada pada situs tersebut. Beberapa kasus seperti situs Liangan di Temanggung yang harus berhadapan dengan usaha eksplorasi tambang dan beberapa kasus lainnya. Pemahaman terhadap potensi dan permasalahnya yang ada pada sumberdaya budaya tentunya akan membantu mencarikan solusi dalam menghadapi beberapa permasalahan di atas. Tentu saja penyelesaian secara tuntas memerlukan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dengan instansi-instansi terkait.

Untuk memahami potensi dan permasalahan dapat saja menggunakan analisa dampak lingkungan yang dijabarkan dalam analisa kualitas dan nilai penting yang dimiliki oleh suatu situs. Analisa kualitas dapat dijabarkan dalam besaran, kelangkaan, tingkat keterawatan dan kemampuan memberi informasi sedangkan analisa nilai penting dapat dimasukkan aspek aspek seperti keilmuan, kesejarahan, keetnikan dan kemasyarakatan. Semakin rendah nilai aspek-aspek di ats maka semakin rendah pula tingkat kualitas objek situsnya. Hal ini berarti situs tersebut dapat saja dikalahkan untuk kepentingan sektor lain. Sebaliknya semakin tinggi nilai aspek-aspek tersebut maka semakin tinggi pula kualitasnya dan itu berarti situs tersebut harus mendapat perhatian dan penanganan yang segera.

Dengan demikian orientasi penelitian arkeologi terapan ditujukan pada dua hal.

  1. Pengelolaan sumberdaya budaya untuk dikembangkan sesuai dengan potensi dan permasalahannya.
  2. Pengelolaan konflik-konflik kepentingan yang terjadi antara usaha atas pelestarian sumberdaya budaya atau pemanfaatan lahan bagi sektor lain dalam pembangunan.


Masalah dan Prospeknya

Masalah dan prospeknya dalam pengembangan penelitian arkeologi terapan dapat mengacu pada masalah dan tantangan yang kini sedang dan tengah dihadapi oleh Puslitbang Arkenas. Menurut R.P. Soejono, arkeologi Indonesia telah mencapai taraf kematangan yang menghendaki kelengkapan syarat dalam mencapai hasil yang bermutu baik yakni organisasi yang efisien, tenaga spesialis/ teknis yang cukup dan terdidik baik, sarana kerja yang memadai (2000: 20). Untuk melaksanakan kegiatan arkeologi terapan tampaknya yang sangat mendesak adalah aspek tenaga spesialis yang cukup dan terdidik baik. Ada beberapa syarat dalam pelaksanaan penelitian arkeologi terapan antara lain adalah pemahaman terhadap studi analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang dalam hal ini telah keluar dari ilmu arkeologi murni. Studi ini diperlukan untuk memahami dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap pembangunan yang didasarkan pada konsep ekologi yang didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. (Otto S, 1990: 37). Dalam konteks Amdal, penelitian arkeologi terapan dilakukan untuk mengantisipasi dampak yang sedang dan akan terjadi pada suatu situs akibat aktivitas manusia dalam pembangunan sehingga dapat diambil jalan keluanya.

Mengingat perlunya arkeolog diberikan pemahaman tentang AMDAL ini maka pelatihan-pelatihan tentang AMDAL yang dilaksanakan oleh beberapa perguruan tinggi menjadi suatu kebutuhan dalam rangka mempersiapkan tenaga-tenaga spesialis yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi pihak-pihak yang berkepentingan di luar instansi Puslitbang Arkenas. Di samping kursus-kursus AMDAL maka pelatihan pengelolaan sumberdaya budaya menjadi keharusan sebagai upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya dalam penelitian arkeologi terapan.

Di sisi lain seperti yang disampaikan oleh M.Hidayat, sejauh ini hasil penelitian arkeologi belum dimanfaatkan secara optimal atau belum berdaya guna bagi kepentingan pembangunan daerah. Hal tersebut disebabkan antara lain dalam penyusunan program tidak melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dengan instansi lain yang terkait di daerah, penyusunan program penelitian tidak didasari pada permasalahan kebutuhan daerah dan secara umum kontekstualitas penelitian sangat kurang karena lebih cenderung didasari oleh kebutuuhan akademik arkeologi. Di samping itu penelitian terhadap sumberdaya arkeologi sangat dipengaruhi oleh pembidangan/ spesialisasi yang ada (2000: 259-260).

Dengan demikian, tampaknya di dalam penelitian arkeologi terapan nantinya agar benar-benar bermanfaat bagi kepentingan pembangunan daerah maka program penelitian arkeologi yang bersifat terapan perlu mengacu pada program pembangunan daerah. Dalam proses penyusunan program penelitian arkeologi terapan dilakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dengan instansi/ lembaga terkait di daerah. Dalam tahap ini peran pemegang kebijakan di Puslitbang Arkenas dan Balai Arkeologi menjadi sangat penting.

Adapun prospek arkeologi terapan ke depan di era otonomi daerah, dimana kinerja penelitian arkeologi terapan yang tidak hanya fokus pada aspek penelitian semata tetapi juga adanya satu upaya pengelolaan yang memperhatikan pengembangan dan pemanfaatan untuk kepentingan banyak pihak maka penelitian arkeologi yang bersifat terapan ini akan makin banyak dibutuhkan pemerintah daerah dalam rangka menata dan mengembangan potensi sumberdaya arkeologi di wilayahnya. Hanya dengan arkeologi terapan, arkeolog dapat hadir di tengah masyarakat, melihat persoalan yang dihadapi, menangkap aspirasi lalu memberikan solusi terbijak terhadap permasalahan yang ada (Bambang Soelist,2011: 6). Semoga


DAFTAR PUSTAKA

Bambang Soelist 2011 Cultural Resource Management: Jawaban Atas Tantangan Pengembangan Arkeologi Ke Depan (tidak terbit)

Bugie Kusumohartono 1993, Metode Penelitian Arkeologi untuk eksistensi Sumberdaya Data Kebudayan Masa Lampau dalam Artefak No.13, Agustus 1993, Yogyakarta : Fasa UGM-Jurusan Arkeologi

————————— 1993, Makna Penting Situs Sangiran: Dukungan Dari Segi Penataan Ruang dalam Evaluasi Studi Teknis Pengembangan Cagar Budaya Sangiran, Solo (tidak terbit)

Muhammad Hidayat 2000, Pemanfaatan Penelitian Arkeologi Bagi Pembangunan Daerah dalam EHPA Denpasar 2000. Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Nurhadi 1992, Manajemen Penelitian Arkeologi di Indonesia, Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta

——— 1992, Arkeologi Kota Sebuah Pengantar (tidak terbit)

Otto Soemarwoto 1999, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

R.P.Soejono 2000, Arkeologi Indonesia dalam Prespektif Global dalam EHPA Denpasar, Jakarta : Pusat Arkeologi

Tim Peneliti 1995, Studi Pola Permukiman Kota Kartasura Jaman Kerajaan Mataram Islam di Kartasusra, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah, dalam Jurnal Penelitian Arkeologi no.03, Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta

Tony Djubiantono 2004, Rancangan Induk Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta: Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional

*MAKALAH PIA 2011