Oleh: Titi Surti Nastiti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional


1. Pendahuluan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya merupakan pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Adanya penggantian undang-undang ini karena Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 dianggap tidak sesuai lagi dengan paradigma pelestarian Cagar Budaya.

Dengan keluarnya undang-undang yang baru, tentunya selalu ada masalah-masalah dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut ke masyarakat. Salah satu yang menjadi permasalahan adalah bagaimana menyediakan tenaga-tenaga ahli yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya tenaga-tenaga yang diatur meliputi Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian Cagar Budaya dan Kurator. Di samping itu juga diperlukan Tim Pengolah Data untuk membantu Tim Ahli Cagar Budaya bekerja dalam menetapkan Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.

Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian Cagar Budaya, dan Kurator, setelah dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya seharusnya telah berfungsi mulai tahun 2011. Namun pada kenyataannya orang-orang atau petugas yang diatur dalam undang-undang tersebut belum tersedia. Sehubungan dengan itu, yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah (1) apakah tenaga arkeologi bisa memenuhi kebutuhan Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data di seluruh Indonesia; (2) bagaimana cara untuk mendapatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten di bidangnya untuk memenuhi kebutuhan seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang meliputi siapa saja yang dapat mengikuti sertifikasi sebagai Tenaga Ahli Cagar Budaya, Tim Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data dan siapa yang berhak mengeluarkan serifikat untuk Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data.


2. Tenaga Ahli Cagar Budaya, Tim Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya diatur bahwa dalam menetapkan Cagar Budaya atau benda, bangunan, stuktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya harus ditetapkan oleh Tim Ahli Cagar Budaya. Adapun yang dimaksud dengan Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya (seperti yang tercantum dalam ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya hal. 8). Jumlah Tim Ahli Cagar Budaya di seluruh Indonesia diperkirakan 5.028 orang dengan catatan apabila mengikuti konsep RPP Register Nasional Cagar Budaya yang sedang dibuat, yang menyebutkan setiap Pemerintah Daerah wajib memiliki Tim Ahli Cagar Budaya yang masing-masing berjumlah 7-9 orang, adapun di Pemerintah Pusat sebanyak 15 orang. Dengan demikian perhitungannya adalah:

([15] + [33 prov x 9 = 297] + [524 kab/kot x 9 = 4.716]) = 5.028 Orang

Orang-orang yang dipilih menjadi anggota tim Ahli Cagar Budaya terdiri dari multi disiplin, jadi tidak semata-mata hanya orang yang mempunyai bidang keahlian arkeologi. Disiplin ilmu lainnya yang diperlukan sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya antara lain adalah antropologi, arsitektur, kesenian, sejarah, geologi, filologi, dan/atau keahlian lain yang mempunyai wawasan tentang kepurbakalaan. Tim Ahli Cagar budaya dapat berasal Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, maupun dari Masyarakat Hukum Adat.

Anggota tim dapat merupakan anggota organisasi profesi tertentu, akan tetapi tidak berarti bahwa mereka otomatis dapat diangkat sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya. Keanggotaan tim bersifat formal karena diangkat oleh Menteri atau Kepala Daerah setelah dinyatakan layak menjadi anggota melalui pendidikan yang difokuskan pada kemampuan untuk membedakan objek Cagar Budaya dan bukan Cagar Budaya sesuai dengan kriteria Undang-Undang Cagar Budaya.

Tim Ahli Cagar Budaya dalam menetapkan Cagar Budaya atau benda, bangunan, stuktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya dibantu oleh sebuah tim yang menyiapkan berkas Cagar Budaya atau benda, bangunan, stuktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya yang akan ditetapkan. Tim yang membantu menyiapkan berkas/materi bagi Tim Ahli Cagar Budaya tidak disebutkan dalam undang-undang. Bagaimanapun, tim yang selanjutnya disebut sebagai Tim Pengolah Data dibutuhkan di tingkat operasional karena anggota Tim Ahli Cagar Budaya tidak melakukan pengumpulan data di lapangan. Jumlah anggota Tim Pengolah Data tidak ditetapkan, tergantung kebutuhan dan kemampuan daerah. Tetapi setidaknya Tim Pengolah Data harus mempunyai petugas penerima daftar, petugas pemeriksa kelayakan data, petugas pengolah data, dan petugas penyiapan berkas. Selain melakukan pendaftaran atas Objek yang diusulkan, Tim Pengolah Data pun melakukan verifikasi atas data yang terkumpul, dokumen yang menyertai data, serta pemilikan Objek. Berdasarkan hasil verifikasi ini, Tim Pengolah Data menyusun berkas yang kemudian disampaikan kepada Tim Ahli Cagar Budaya untuk dikaji.

Sehubungan dengan pekerjaannya tersebut, anggota Tim Pengolah Data harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan khusus untuk dapat menjalankan tugasnya. Juga harus dapat berkoordinasi dengan kewenangan pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya maupun dengan Unit Pelaksana Teknis yang mengurus Cagar Budaya. Mengingat tidak semua Kabupaten/Kota memiliki SDM yang memenuhi kompetensi teknis dan pengetahuan untuk menjalankan pekerjaan sebagai Tim Pengolah Data, maka diperlukan adanya sertifikasi agar mereka dapat melakukan pekerjaan mereka secara profesional.

Dengan mengambil perkiraan bahwa Tim Pengolah Data Pusat memerlukan 20 orang, Tim Pengolah Data Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing 10 orang, maka Tim Pengolah Data di setiap instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang kebudayaan, dibutuhkan sebanyak:

([20] + [33 provinsi x 10 = 330] + [524 kabupaten/kota x 10 = 5.240]) = 5.590 Orang

Selain itu Tim Ahli Cagar Budaya dan Tim Pengolah Data, masih diperlukan Tenaga Ahli Pelestarian dan Kurator. Dalam ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya disebutkan Tim Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya (lihat hal. 8). Tenaga Ahli Pelestarian diperlukan karena dalam persyaratan yang mengaturnya, tidak semua orang dapat melakukan pelestarian Cagar Budaya, kecuali mereka yang memiliki sertifikat sebagai Tenaga Ahli dengan kata lain yang diperlukan adalah Tenaga Ahli bersertifikat.

Sementara Kurator adalah orang yang karena kompetensi keahliannya bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum (lihat ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya hal. 8). Meskipun sebenarnya seorang kurator tidak selalu bekerja sebagai kurator museum, karena instansi-instansi pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta yang mempunyai koleksi seharusnya mempunyai kurator.


3. Sumber Daya Manusia

Tenaga Ahli Cagar Budaya, Tim Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya seharusnya telah bekerja mulai tahun 2011. Targetnya, dalam tahun tahun 2012 Pemerintah telah dapat menetapkan Tenaga Ahli Cagar Budaya, Tim Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data di tingkat nasional dan provinsi. Akan tetapi pada kenyataannya, sampai saat ini orang-orang atau petugas yang diatur dalam undang-undang tersebut belum tersedia.

Dengan perhitungan secara kasar seperti telah dijelaskan sebelumnya, diperkirakan lebih dari sepuluh ribu orang tenaga arkeologi yang diperlukan untuk memenuhi Tenaga Ahli Cagar Budaya, Tim Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data. Yang menjadi tugas pemerintah adalah bagimana menyiapkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan tersebut dengan melakukan pendidikan, pelatihan, dan penyaringan sumber daya manusia untuk memenuhi agar perintah undang-undang dapat dilaksanakan secara konsekuen.

Apabila menghitung jumlah lulusan dari keempat Perguruan Tinggi yang mempunyai jurusan arkeologi, yaitu Universitas Indonesia, Jakarta (UI), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (UGM), Universitas Udayana, Denpasar (UNUD), dan Universitas Hasanuddin, Makassar (UNHAS) belum mencukupi. Adapun daftar lulusan sarjana arkeologi dari keempat Perguruan Tinggi tersebut adalah sebagai berikut: Universitas Indonesia dari tahun 1959 sampai dengan April 2010 mengeluarkan 591 lulusan arkeologi, Universitas Gajah Mada dari tahun 1961 sampai tahun 2010 mengeluarkan 624 lulusan arkeologi, Universitas Udayana dari tahun 1964 sampai tahun 1984 mengeluarkan 45 lulusan arkeologi. Untuk tahun-tahun selanjutnya, menurut informasi salah seorang dosen Jurusan Arkeologi Universitas Udayana, Drs. I Gusti Ngurah Tarawiguna, M.Hum., Universitas Udayana mengeluarkan 5 sampai 10 lulusan arkeolgi setpa tahunnya. Jika dihitung rata-rata dengan jumlah lulusan setiap tahunnya 8 orang, Universitas Udayana mengeluarkan kurang-lebih 250 lulusan arkeologi sampai tahun 2010, dan Universitas Hasanuddin dari tahun 1975 sampai tahun 2010 mengeluarkan 432 lulusan arkeologi (dari daftar lulusan tahun 2010 baru tiga orang yang lulus) (http://hurahura.wordpress.com). Dengan demikian tenaga arkeologi yang berhasil dicetak oleh keempat Perguruan Tinggi di Indonesia sampai tahun 2010 adalah 2.097 orang.

Dari jumlah keseluruhan lulusan arkeologi dari keempat Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 57 tahun (dari tahun 1953 sampai tahun 2010) yang hanya 2.097 tidak mencukupi tenaga untuk Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, maupun Tim pengolah Data jauh dari cukup. Apalagi mengingat kenyataan bahwa dari jumlah tersebut sudah banyak berkurang mengingat banyak dari mereka yang sudah meninggal dunia, pensiun, dan lulusan arkeologi yang tidak bekerja di instansi pemerintah.

Padahal apabila mengikuti aturan yang ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang menyebutkan Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, dan Kurator harus mempunyai sertifikat. Karena adanya tuntutan tersebut, maka para arkeolog harus melakukan sertifikasi untuk mendapat pekerjaan sebagai Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, maupun Tim pengolah Data. Belum tentu semua arkeolog yang sudah bekerja di instansi pemerintah berminat untuk mendapatkan sertifikat sebagai Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, maupun Tim Pengolah Data. Sebagai misal, peneliti yang bekerja di Puslitbang Arkenas dan seluruh jajarannya apakah masih merasa perlu untuk mengambil sertifikat Tim Ahli untuk dapat menetapkan Cagar Budaya atau Yang Diduga Cagar Budaya, karena sebagai peneliti tidak mempunyai hak untuk merekomendasikan untuk penetapan Cagar Budaya atau Yang Diduga Cagar Budaya.

Untuk memenuhi tuntutan perintah undang-undang, maka perlu dibuat sistem pendidikan, pelatihan, dan penyaringan sumber daya manusia. Sekarang yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa saja orang yang dapat mengikuti sertifikasi, siapa yang berhak mengeluarkan sertifikat. Undang-Undang tidak mengatur persyaratan tentang siapa yang boleh mengikuti sertifikasi untuk Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, apalagi Tim pengolah Data yang memang tidak diatur dalam Undang-Undang. Apakah semuanya harus ahli arkeologi ataukah bisa ahli dari bidang-bidang ilmu lain. Untungnya, dalam Undang-Undang telah diatur bahwa Tim Ahli Cagar Budaya terdiri dari kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu, dengan demikian jelas bahwa untuk mendapatkan serifikat Tim Ahli Cagar Budaya tidak harus seorang arkeolog, tetapi bisa dari bidang-bidang ilmu lain yang berhubungan dengan Cagar Budaya seperti ahli-ahli di bidang arsitektur, kesenian, sejarah, geologi, filologi, dan/atau keahlian lain yang mempunyai wawasan tentang kepurbakalaan. Sebagai tanda lulus dari pendidikan sertifikasi, calon anggota Tim Ahli Cagar Budaya akan menerima surat kelayakan menjadi anggota Tim Cagar Budaya, bukan sertifikat keahlian.

Sementara untuk Tenaga Ahli Pelestarian, seperti yang disebutkan dalam ketentuan umum Undang-Undang adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya, maka jelas bahwa untuk mendapatkan sertifikat Tenaga Ahli Pelestariana harus mempunyai latar belakang arkeologi. Untuk Kurator dan Tim Pengolah Data, seperti halnya Tim Ahli Cagar Budaya tidak harus semuanya arkeolog, tetapi dapat juga berasal dari bidang ilmu yang disesuaikan dengan kebutuhan. Meskipun tentunya harus mempunyai jumlah ahli di bidang arkeologi tetap harus lebih banyak daripada bidang-bidang ilmu lainnya, karena bagaimana pun yang ditangani adalah benda-benda Cagar Budaya.

Dengan adanya pengaturan tenaga Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data tersebut, maka jumlah tenaga yang lebih dari sepuluh ribu orang tersebut tidak harus dari jurusan arkeologi semuanya. Meskipun demikian tetap saja jumlahnya masih kurang. Dengan demikian jelas, empat Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia tidak cukup untuk mencetak arkeolog untuk memenuhi tenaga Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian Cagar Budaya, Kurator, dan Tim Pengolah Data. Tindakan yang perlu dipikirkan adalah membuka jurusan Arkeologi di beberapa universitas terkemuka di seluruh Indonesia, seperti di Universita Andalas, Padang; Universitas Sumatera Utara, Medan; Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan; dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Dengan demikian dapat diharapkan universitas-universitas di seluruh Indonesia dapat mencetak tenaga arkeologi yang dapat memenuhi kebutuhan tenaga yang diperlukan dalam pelestarian Cagar Budaya.

Apa yang dijelaskan sebelumnya baru cara mencetak arkeolog untuk memenuhi kebutuhan Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, dan Tim Pengolah Data. Tetapi untuk mendapatkan Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, dan Tim Pengolah Data tidak cukup hanya lulusan arkeologi bahkan seorang peneliti pun Surat Keputusan penelitinya tidak berlaku untuk menetapkan Benda Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya. Untuk menjadi Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, maupun Tim Pengolah Data harus melalui sertifikasi. Status sebagai ”ahli” ditetapkan melalui pendidikan, pelatihan, dan pengujian. Calon yang memenuhi syarat dan lulus, diberi sertifikat sesuai kompetensinya. Kompetensi ini masih perlu diatur secara benjenjang dengan menguji penguasaan akademik, kognisi, keterampilan, dan pengalaman.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, siapa yang berhak melakukan sertifikasi dan siapa atau dari mana pendidiknya. Tentunya instansi atau lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan sertifikat keahlian adalah Pemerintah. Walaupun tidak tertutup kemungkinan di masa yang akan datang lembaga-lembaga profesional dapat mengeluarkan sertifikat di bawah pengawasan pemerintah.

Adapun untuk menentukan pendidik yang berhak untuk mendidik dan menguji calon-calon Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, dan Tim Pengolah Data tidaklah mudah, karena orang yang menjadi pendidik calon-calon tersebut harusnya mempunyai serifikat bahwa ia mempunyai kompetensi untuk mendidik calon-calon Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, maupun Tim Pengolah Data. Mungkin untuk pertama kali jalur yang harus ditempuh adalah Menteri di Bidang Kebudayaan harus membuat Surat Keputusan untuk menentukan siapa tenaga pendidik yang dapat mendidik calon-calon Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, dan Tim Pengolah Data. Para pendidik tentunya dipilih dari pengajar dari Perguruan Tinggi yang telah berpengalaman dan juga orang-orang dari Instansi Pemerintah yang sudah berpengalaman dan berwawasan luas, serta mempunyai keahlian di bidangnya.

Atau dapat juga dengan cara menitipkan calon-calon Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, dan Tim Pengolah Data ke Jurusan/Departemen Arkeologi di Perguruan-perguruan Tinggi Indonesia (Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Udayana, dan Universitas Hasanuddin). Untuk membuat modul dan model untuk kompetensi bersetifikat ini, diharapkan organisasi profesi seperti Ikatan Ahli-Ahli Arkeologi (IAAI) dapat memberikan masukan.


4. Penutup

Melihat kenyataan yang ada sekarang, Sumber Daya Manusia (SDM) tidak dapat mencukupi tenaga-tenaga untuk Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, dan Tim Pengolah Data. Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan apa yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, maka yang harus menjadi fokus adalah menetapkan Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, maupun Tim Pengolah Data yang ada di tingkat Pemerintah dan Provinsi terlebih dahulu. Untuk Kabupaten/Kota dapat ditetapkan kemudian. Kemudian perlu dipikirkan bagaimana mencetak SDM yang kompeten untuk memenuhi kebutuhan tenaga Tim Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, Kurator, dan Tim Pengolah Data.

Mudah-mudahan di masa yang akan datang, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, dapat dijalankan sesuai dengan tujuan ketika undang-undang ini dibuat.


Acuan:

Atmodjo, Junus Satrio. t.t. “Kebutuhan Sumberdaya Manusia Terdidik dan Terampil untuk Pengelola Cagar Budaya”. Tidak diterbitkan.

Susantio, Djulianto (ed.). “Majalah Arkeologi Indonesia. Informasi, Komunikasi, dan Edukasi tentang Arkeologi”, http://hurahura.wordpress.com.

——-. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Jakarta: Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

*MAKALAH PIA 2011