Beranda

Tinggalan Arkeologi Jukung di Kalimantan Selatan Bukti Prototipe Jukung Banjar Masa Kini, dan Pasar Terapung Sebagai Objek Pariwisata Berbasis Arkeologi

1 Komentar

Oleh: H. Achmad Mawardi
Pemerhati budaya dan lingkungan, penasehat LMMC (Lambung
Mangkurat Museum Community) Kalimantan Selatan

Abstract
The word jukung is used as an “umbrella” to describe all types of boats, mainly to wooden boats. The Dayak and the Banjarese word jukung are therefore especially associated with those boat types. And in Austronesian word is called as “d’u(n)kung”. The first jukung (dugout canoe) form lineaged from “stone age” as Jukung Sudur kind, after the bamboo rafts used on the rivers of South Kalimantan. The dugout is made over one half of a cloven trunk of soft wood trees without expanded. The form is still being made and used especially in Nagara wetland water system, Hulu Sungai Selatan district.

The jukung movable artifacts in archaeological excavations in Sungai Tarasi at Hulu Sungai Utara district in August 1994 as the dugout canoe form (Lumbung canoe kind); and in Sungai Saka Raden at Tapin district in June 2009 as Jukung Tambangan (an unique and antique traditional planked-boat), we have also stressed them as the prototypes of the Banjarese traditional jukung of South Kalimantan. And from the Sungai Tarasis’ dugout model is developed to large freighter boats. But then, all are built over hollowed out and expanded dugout over fire of a hard wood full cloven trunk tree by the “mamanggang” or “mamaru” technical expanding process (originated from the early nineteenth century or before), such as Jukung Tiung and Jukung Raksasa; Jukung Nelayan (the seagoing fishing boat), etc. The canoe prototypes were from the kinds of Jukung Patai and Jukung Bakapih; and from the Sungai Saka Radens’ planked boats (Jukung Tambangan) is transformated to some kinds of Banjarese traditional jukung, a plank-built (passenger, foodseller, family, freighter, fishing, farming, cattle-breeding, logging, etc.) boats to day. Within the last 50 years when motor vehicles have been introduced, the sail boats and some paddle-driven boats have disappeared. At the same time, many newest boat-types have been built by the fiber-glass, iron and plywood in their construction. But the wooden boats are still being produced as the Banjarese types of boats, especially as the newest of planked-boat types.

The form model, the kinds, and the types of the present Banjarese jukung are available as the tourism base archaeology objects as the culture of excellence of Banjarese of South Kalimantan, especially to increase the grassroot creative economy lifeline of the South Kalimantan rivers culture. For example, – boats on the two floating market sites (termed as the “blank sites”) at Muara Kuin of Barito river and at Lok Baintan river village. They still being survived for more hundreds year ago. We had also started to look more the interesting thoughts about the historical and ethnographical background for these exciting boats.


Abstrak

Sebutan jukung merupakan payung untuk menyebut semua macam perahu, terutama yang terbuat dari bahan kayu. Demikian juga oleh orang Dayak dan orang Banjar. Jukung dalam bahasa Austronesia disebut “d’u(n)kung”. Jukung pertama, berbentuk Perahu Lesung berasal dari zaman batu, dikenal sebagai jenis Jukung Sudur, setelah penggunaan rakit-rakit bambu di sungai-sungai Kalimantan Selatan. Jukung Sudur dibuat dari setengah batang pohon kayu lunak tanpa diperbesar. Bentuk jukung ini masih dibuat dan digunakan terutama di daerah perairan lahan basah Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Artefak bergerak jukung hasil ekskavasi arkeologi di Sungai Tarasi Kabupaten Hulu Sungai Utara pada bulan Agustus 1994 sebagai bentuk Perahu Lesung (jenis perahu Lumbung); dan di Sungai Saka Raden Kabupaten Tapin pada bulan Juni 2004 sebagai Perahu Tambangan (Perahu Papan yang unik dan antik), kita juga tekankan sebagai prototipe jukung tradisional orang Banjar di Kalimantan Selatan. Dan dari model Perahu Lesung di Sungai Tarasi dikembangkan jukung angkutan besar, tetapi kemudian semuanya dibuat di atas jukung yang dibuat dari sebatang pohon kayu keras dengan teknik proses pembukaan jukung yang disebut teknik “mamanggang” atau “mamaru” dengan penggunaan api (berasal dari awal abad ke-19 atau sebelumnya), seperti pada Jukung Tiung dan Jukung Raksasa; Jukung Nelayan untuk menangkap ikan di laut, dan sebagainya. Prototipe jukungnya berasal dari jenis Jukung Patai dan Jukung Bakapih; dan dari Jukung Tambangan yang ditemukan di Sungai Saka Raden ditransformasikan menjadi berbagai jenis jukung tradisional orang Banjar berupa jukung-jukung papan kecil (untuk penumpang, berdagang bahan makanan dan minuman, tumpangan keluarga, angkutan barang-barang kebutuhan hidup dan bangunan, menangkap ikan, bertani, beternak, meramu kayu, dan sebagainya) pada masa kini. Dalam 50 tahun terakhir ketika muncul mesin-mesin penggerak diperkenalkan, banyak jukung-jukung untuk pelayaran dan yang hanya dikayuh dengan pengayuh, lenyap. Pada saat bersamaan, banyak macam-macam jukung terbaru telah dibuat dari bahan fiber-glass, bahan besi dan bahan plywood (kayu lapis). Tetapi jukung-jukung dari kayu masih dibuat sebagai macam jukung orang Banjar, terutama macam jukung papan terbaru.

Bentuk model, jenis dan macam jukung orang Banjar tersedia dan siap digunakan sebagai objek kegiatan pariwisata berbasis arkeologi berupa budaya unggulan (the culture of excellence) masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, terutama untuk meningkatkan ekonomi kreatif masyarakat bawah yang berbudaya sungai di Kalimantan Selatan. Misalnya, jukung-jukung yang terdapat dan digunakan di situs (“situs kosong”) Pasar Terapung di daerah Muara Kuin Sungai Barito dan di daerah sungai desa Lok Baintan. Pasar terapung ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Mari kita mulai melihat betapa banyak pemikiran yang menarik dari latar belakang sejarah dan ethnografi dari keberadaan jukung tersebut.


PENDAHULUAN

Jukung tradisional merupakan produk budaya bendawi (tangible culture) manusia sejak masa prsasejarah ketika manusia baru menemukan moda transportasi air menjelang berakhirnya kala Neolitik, sesudah penggunaan rakit-rakit bambu. Dalam studi sejarah dan arkeologi peninggalan-peninggalan jukung atau perahu sebagai artefak benda bergerak (movable artifacts) dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, budaya dan politik dimasa lampau dalam lingkungan geografis etnik pendukungnya ataupun dalam lingkungan yang lebih luas yang berkaitan dengan fakta migrasi di masa lampau.

Jukung Sudur (the real dugout canoe) yang dianggap bentuk awal jukung sejak kala Neolitik, tenyata pada zaman logam (metal age), masih dibuat dan dipertahankan hingga masa kini, seperti di kawasan perairan lahan basah Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Bentuk Jukung Sudur bisa dibuat dari ukuran kecil hingga besar. Untuk memperbesar muatannya, bisa ditambah kepingan papan di kedua sisi dinding jukung, yang disebut Jukung Bakapih dari Jukung Sudur. Jukung ini disebut Jukung Lumbung dan Jukung Rangkan . Ada yang bisa dibuat lebih besar, seperti Jung Banjar pada abad ke-16 Masehi. Selanjutnya pertumbuhan berbagai jenis dan macam jukung yang digunakan setempat juga mengikuti perkembangan sejarah. Dimana perubahan bentuk, jenis dan macam (tipe)nya tergantung dengan kebutuhan setempat dan faktor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi (internal dan ekstenal). Di antaranya karena masuknya penggunaan motor penggerak (motor vehicles) dan semakin langkanya bahan pohon kayu untuk jukung.

Setelah ditemukannya teknik memperbesar jukung oleh orang Banjar dan orang Dayak dengan teknik “mamanggang” atau ”mamaru” yang lebih baik pada abad ke-19 atau sebelumnya, bisa dibuat Jukung Patai (the historic dugout canoe) dan Jukung Bakapih yang lebih besar. Dari prototipe kedua jukung ini, bisa dibuat Jukung Tiung (1880-1890); dan Jukung Penes untuk digunakan dalam pelayaran laut antar pulau, yang punah sekitar 1950an. Jukung angkutan penumpang Kelotok Halus, jukung angkutan barang seperti Jukung Tiung, Jukung Raksasa, Jukung Kelotok Baangkut Barang; serta untuk menangkap ikan di laut, Jukung Nelayan muncul sekitar tahun 1960an. Sebagian besar jukung tersebut masih menggunakan lunas dari jukung Perahu Lesung. Tetapi ada juga yang tidak menggunakan lagi. Lunas jukung hanya dibuat dari tanpa dan dengan balokan kayu. Tipe-tipe jukung papan (planked boats) orang Banjar masa kini dibuat untuk keperluan sesuai dengan fungsi/kegunaannya. Berdasarkan prototipe masa lalu, lunas jukung kemudian hanya dibuat dari keping-keping papan dari kayu keras (seperti kayu Ulin) dengan dasar agak rata sedikit melengkung, tidak berbentuk “V” lagi. Kecuali pada sampung bagian depan dan belakangnya. Sedangkan jukung berukuran cukup besar, dibuat seperti Bus Air, Kapal Dagang, dan Taksi Air. Lunas jukung terbuat dari balokan kayu, dan dibuat berbentuk “plankbuilt”.

Berdasarkan kenyataan arkeologis dan historis, jukung-jukung orang Banjar masih banyak terdapat dan digunakan di perairan Kalimantan Selatan. Bahkan pasar terapung (floating markets) di daerah ini, diketahui sudah ada sejak 400 tahun yang lalu (Ditjen. Pariwisata 1991: 209). Diperkirakan pasar terapung dan juga di tebing sungai sudah ada pada tahun 1530 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (Pangeran Samudera) yang terletak pada pertemuan Sungai Karamat dan Sungai Sigaling (Idwar Saleh 1981: 41, 115). Kemudian bergeser ke tepi sungai Barito di daerah muara Sungai Kuin menjelang akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 Masehi. Pasar terapung di sungai Desa Lok Baintan, Kabupaten Banjar, mungkin sudah ada pada abad ke-16 tetapi bisa juga baru menjadi umum ketika perpindahan keraton Banjar ke kawasan Kayu Tangi Martapura sejak awal abad ke-17 (1612). Disamping karena tipe-tipe jukung tradisionalnya dan keberadaan pasar terapung tersebut bernilai sejarah dan arkeologi, maka sepantasnya bisa diusulkan sebagai budaya unggulan masyarakat Banjar sebagai lokasi pariwisata berbasis arkeologi. Masyarakatnya tentunya juga sangat memerlukan bantuan pembinaan dari pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya sebagai kegiatan peningkatan ekonomi kreatif kalangan masyarakat bawah.


JUKUNG BANJAR: PERSPEKTIF ARKEOLOGIS DAN SEJARAH

Tinggalan maritim berupa-bangkai-bangkai jukung (boatwreck) dari kayu yang tenggelam di bawah perairan atau yang tertimbun di bekas-bekas atau tepian pantai, atau sungai, atau yang sekarang menjadi daratan, merupakan situs sumberdaya arkeologi. Di Indonesia tinggalan arkeologis jukung pada masa prasejarah tidak ditemukan. Karena pengaruh faktor-faktor lingkungan yang tidak memungkinkannya untuk terkonservasi. Sedangkan pada masa sejarah, bangkai Jukung Sudur masih bisa ditemukan karena masih digunakan berkesinambungan hingga sekarang. Temuan bekas pecahan bangkai jukung dan dayungnya tanpa diketahui kronologinya, misalnya di bekas Sungai Palayarum, Desa Palajau, Batang Alai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Elfa 2002: 13). Jukung Sudur yang berukuran panjang 9 meter dan lebar 0,6 meter berumur relatif 300 tahun, ditemukan di Sungai Desa Birayang, Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Rafdiansyah 2006: 9). Lainnya ditemukan di Sungai Desa Kuangan, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, berupa Jukung Sudur berukuran panjang 10 meter dan lebar 1 meter, umurnya diprediksi hanya 60 tahun. Dibuat dari kayu Cangal dan diduga berasal dari luar daerah karena tipenya tidak mirip yang digunakan oleh warga setempat (Rah 2005: 3). Tipe Jukung Sudur di Kalimantan Selatan bisa disebut “tipe Nagara”, baik disegi jenis kayu, lubang tidak begitu dalam, dll. Sebaliknya untuk “tipe Lembah Barito”, lubang jukung lebih dalam, lebih panjang dan lebih besar.

Selain temuan di Desa Kaludan, Jukung Sudur panjang diketahui bangsa Cina pada tahun 1618 berdasarkan berita Cina “Tung Hsi Yang K’an”, ketika pelautnya mendatangi Sungai Barito (Groeneveld 1960: 108). Sebenarnya keberadaan Jukung Sudur di daerah ini, sudah ada dibuat karena kemampuan menebang kayu keras yang jelas dengan menggunakan peralatan besi. Antara lain karena berdasarkan adanya temuan tiang kayu Ulin di situs Candi Agung bertanggalan kronologi absolut dengan C-14, 708-748 Masehi (Kusmartono 2000: 13). Adanya Jukung Sudur beratap dan sumpitan (jelas dibuat dengan bor besi) suku Dayak terlihat pada relief Candi Borobudur yang berusia sekitar abad ke-9 (Petersen 2000: 123). Apalagi pembuatan dan penggunaan peralatan besi di pulau Kalimantan menurut Ave dan King (1986: 15) sudah ada pada abad ke-5 Masehi.

Sebagian besar temuan bangkai jukung atau perahu, khususnya terdapat di Sumatera, Riau, Bangka-Belitung dan yang lainnya, maupun di kawasan Asia Tenggara. Dari sini diketahui, sejak dari abad ke-3 hingga masa klasik abad ke-13 lunasnya berbentuk “U”, tetapi pada abad ke-14 mulai terlihat lunasnya berbentuk “V”. Bangkai jukung tersebut berasal dari berbagai bentuk kapal dari luar kawasan Nusantara. Teknik pembuatannya dari teknik ikat (abad ke-3 s/d 5), gabungan ikat dan pasak (abad ke-5 s/d 13), teknik pasak kayu (abad ke-14 s/d 15), dan gabungan teknik pasak kayu dan besi (abad ke-15 dan seterusnya). Bentuk lunas berbentuk “U” merupakan ciri hibrid tradisi Cina (Manguin 1980) yang menggunakan balokan kayu. Bedanya pada bentuk lunas “V” diberi lenggi (sampung, kepala perahu), dan merupakan perahu bertradisi Asia Tenggara. Sedangkan gabungan keduanya, bentuk tradisi Laut Cina Selatan (Koestoro 2005: 48-60).

Sebaliknya di Kalimantan Selatan, perkembangan tradisinya berbentuk lunas “U”, hanya karena menggunakan lunas dari jukung Perahu Lesung (dugout canoe). Meskipun sesudah abad ke-16, disebut Jukung Papan (Planked Boats). Dimulai prototipenya Jukung Bakapih (dengan lunas Perahu Lesung), Jukung Lumbung dan Jukung Rangkan. Pada awal abad ke-21, kemudian berkembang menjadi Jukung Papan (Planked Boats) biasa, tanpa lunas Perahu Lesung. Tipe jukungnya hanya diberi tajuk (frame), panggar (thwart) dan lantai (floor), tetapi lainnya ada diberi tambahan bingkai (gunwale) pada dinding atas jukung. Meski bingkainya ada yang tidak penuh seperti pada Jukung Hawaian. Dan setelah semakin langkanya jenis kayu untuk jukung, serta semakin majunya jenis motor penggeraknya, jenis dan tipe jukung dibuat dari bahan fiber-glass, besi, dan dari plywood menjelang akhir abad ke-20 Masehi. Misalnya speedboat (fiberglass), Longboat (flywood), Tugboat (besi), dan Bargas (besi). Hanya Bus Air, Kapal Dagang dan Taksi Air terbuat dari kayu.

FOTO 1

Tinggalan arkeologi yang ditemukan di kawasan sungai-sungai Kalimantan Selatan, khususnya dari hasil ekskavasi, ada yang menjadi “masterpiece” di peragakan di Museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Di antaranya yang sangat dikenal ialah dari bentuk Perahu Lesung, dan Jukung Tambangan, jukung angkutan penumpang masa lalu orang Banjar. Jenis Perahu Lesung tertua di Indonesia ini ditemukan pada kedalaman 1 meter pada bulan Agustus 1994, ditepi Sungai Tarasi, Desa Kaludan Besar, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jukung berukuran panjang 14,90 meter, lebar 1,15 meter, dan dalam sekitar 32 cm. Perahu Lesung mampu menampung kira-kira 30 orang penumpang. Hasil analisa pertanggalan kronometris dengan menggunakan radio karbon C-14 terhadap kayu jukung dari kayu Cangal (Hopea sangal Korth. atau nama lainnya Neobalanocarpus heimii) berusia antara tahun 1.410-1.570 Masehi (Koestoro 1998: 18 – 24).

Sedangkan Jukung Tambangan ditemukan terbenam lumpur pada kedalaman 1,5 meter di Sungai Saka Raden anak Sungai Nagara, Desa Baulin Margasari, Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin pada bulan Juni 2009. Jukung Tambangan berukuran panjang 12,40 meter, lebar 1,34 meter, dan dalam 59 cm. Kondisi jukung 80 % baik, sebagian rusak dan pada sampung belakang jukung telah mengalami pelapukan (soiling) (Anonim 2010). Berdasarkan analisa C-14 di laboratorium PPGL (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi dan Kelautan) Bandung, tipe jukung ini berumur absolut 1765-1825 Masehi, atau sekitar tengah abad ke-18 hingga awal abad ke-19 Masehi (Kom. pribadi dengan ibu Vida P.R.K., 8 Juli 2011). Diduga pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah atau Nata Alam (1761-1801) hingga Sultan Adam al Wasik Billah (1825-1857). Bandingkan misalnya dengan Jukung Salisipan (Vinta, Baroto, atau Kakap) yang muncul pada masa kesultanan Sulu (1768-1848) di Filipina bagian Selatan yang panjangnya 30-35 feets, digerakkan dengan dayung, tidak pakai atap, mudah memasuki sungai-sungai kecil dan pinggir pantai, dan digunakan untuk menangkap orang-orang untuk dijadikan budak. Kepala (sampung) dan dinding jukung berukiran (Warren 1985: 42-43, 45, 48).

Berdasarkan temuan “Jukung Sudur” di Sungai Terasi, desa Kaludan, terbukti tipe Jukung Bakapih sebenarnya sudah dibuat dan dikenal di daerah Kalimantan Selatan sejak abad ke- 15 atau ke-16 Masehi. Tetapi bisa juga dikatakan sejak abad ke-14 Masehi yll. Hingga pada tahun 1870, Jukung Lumbung terlihat masih digunakan, misalnya pada masa Perang Wangkang (Sjamsuddin 2001: 309). Pada pertengahan abad ke-16, muncul Jung Banjar yang digunakan angkutan antar pulau. Sekitar tahun 1596 Jung Banjar ini pernah dirampas Cornelis de Houtman di luar Teluk Banten (Koestoro 1998: 15). Sedangkan Perahu Pinisi baru muncul sekitar abad ke-17 (Masrury et al. 1994: 26-29).

Pada abad ke-17 kesultanan Banjar mengalami kejayaan. Banjarmasin sudah menjadi pelabuhan bebas sejak pertengahan abad ke-17, baik antar pulau maupun antar benua. Karena adanya pergeseran peranan pelabuhan di pesisir Jawa Timur ke daerah ini. Menurut Barra, banyak jung Melayu, Inggeris, Portugis, dll. berlabuh di Banjarmasin. Hingga abad ke-17, lada sebagai primadona komoditi, dan emas semakin meningkat produksinya. Menurut Schrieke (1955: 30) pelabuhan Banjarmasin menggantikan kedudukan Gresik (Ideham et al. (eds) 2003: 101, 108). Perahu-perahu layar samudera pada abad ke 16-17 sudah banyak dibuat oleh “pandai kapal” di Sungai Pandai Banjarmasin untuk dijual ke Jawa dan lainnya (Saleh 1981: 41). Memasuki awal abad ke-17, dilaporkan Sumatera pernah membeli jukung dari Banjarmasin, karena harganya murah, sambil untuk membeli madu lebah, padi, ikan kering, dan sebagainya. Demikian juga dilaporkan oleh Alex Dalrymple (1771: 50) suku Dayak Ida’an pernah membuat perahu untuk pergi ke Jawa (Roth 1980: 249).

Pada abad ke-17 berbagai jenis kapal layar besar diproduksi di daerah Nagara, Hulu Sungai Selatan (Saleh 1986: 6), karena terdapat banyak pandai besi yang mahir mengolah dan membuat peralatan besi. Lewat pertengahan abad ke-18, gergaji tangan dari besi sudah digunakan untuk membuat balokan dan papan dari jenis kayu keras seperti kayu Ulin, dsb.nya. Banyak kapal layar besar di buat di Banjarmasin (Soejatmi 1983), sedangkan di Lasem hanya dibuat jenis yang kecil (Sukendar 1998: 18, 83, 93), sehingga hal inilah yang menjadikan Mataram terkendala faktor logistik – terutama kapal, ketika ingin menguasai Banjarmasin (Ideham et al. (eds) 2003: 92-93). Perahu-perahu layar dari kayu mulai menghilang, karena masuknya kapal-kapal api dari besi bermesin tenaga uap, sekitar pertengahan abad ke-19 (Petersen 2000: 132).

Jukung Tambangan , diduga muncul sesudah Jukung Pandan Liris atau Jukung Bagiwas. Sehingga tipe jukung ini menjadi prototipe Jukung Tambangan (Triatno et al. 1998: 31). Tipe Jukung Pandan Liris ditemukan bangkainya berukuran panjang 6,9 meter dan lebar 1,03 meter di dasar sungai Desa Sepala, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara (Triatno et al. 1998: 31-32, 54-55). Lunasnya tidak dari balokan kayu, keseluruhan merupakan dinding badan yang ditempelkan pada tajuk, berbentuk “V”. Pada saat ditemukan belum banyak terserang “soiling” oleh “kapang” sejenis siput air tawar, dan tidak adanya ukiran-ukiran (motif bayam raja, daun jaruju (Acanthus ilicifolius), sulur dan motif geometris), polos. Terutama pada sampung belakangnya, sedangkan pada Jukung Tambangan terdapat ukiran daun jaruju melayap.

Jukung Tambangan lebih umum dikenal. Jukung Pandan Liris disebut demikian karena hanya dibuat dan digunakan di Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan di kawasan sungai dan rawa Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan disebut Jukung Bagiwas. Pada sampung muka dan belakang tipe Jukung Bagiwas ini terdapat ukiran sulur daun, warna coklat. Karenanya tipe jukung ini dianggap prototipe Jukung Tambangan menurut Triatno et al. (1998).

Apalagi di kawasan Sungai Nagara terdapat sebuah desa yang disebut Desa Tambangan, dulunya adalah desa pembuat/pengrajin Jukung Tambangan yang sangat dikenal. Di kawasan rawa/sungai Nagara keseluruhan, diketahui banyak pengrajin jukung. Misalnya pembuat Jukung Undaan dan Jukung Parahan (berasal dari kata “Vraag”, Belanda, ongkos yang harus dibayarkan) atau Jukung Gundul. Seperti pada jukung Bagiwas, kedua macam (tipe) jukung angkutan barang ini memiliki ukiran pada kedua sampungnya, berupa motif sulur daun memanjang, dengan warna coklat. Sedangkan pada Jukung Parahan lunasnya berupa balokan kayu memanjang didasar jukung (Triatno et al. 1998: 60). Untuk membuktikan Jukung Pandan Liris atau Jukung Bagiwas adalah prototipe dari Jukung Tambangan, diperlukan analisa C-14 pada bangkai Jukung Pandan Liris atau Jukung Bagiwas. Apakah lebih dahulu atau bersamaan, semasa dengan Jukung Tambangan.

Motif seni tatah atau ukir (seni tatah surut, relif dangkal/lapadan, dan seni tatah tembus/terawangan) disusul ukiran kaligrafi Islam, sangat berkembang di daerah Kalimantan Selatan diperkirakan pada akhir abad ke-19 hingga permulaan abad ke-20 Masehi (Saleh 1984: 43). Motif sulur dedaunan, berbagai jenis buah-buahan, bunga-bungaan, dan sebagainya, sebagai pola hias meski diduga berasal pada kala Perundagian (paleometalik) (Sukendar 1998: 161), dan muncul juga dimasa Hindu (Mardiana et al. 2002: 10, 13), kemudian muncul lagi dimasa Islam dengan hanya mengkhususkan pada pola hias tumbuh-tumbuhan, tidak berpola binatang karena dilarang. Meskipun dengan stelisasi yang penuh imaji.

Pada akhir abad ke-19 tersebut dan sesudahnya, motif ukiran hiasan muncul pada macam jukung dan bentuk rumah tradisional Banjar. Rumah adat Bubungan Tinggi Baanjung ditempati pertama kali oleh Sultan Tamjid (raja terakhir Banjar) di Sungai Mesa pada sekitar 1857-1859 (Saleh 1984: 5, 41). Rumah tersebut berakhir pembangunannya pada tahun 1871. Jukung Tambangan menurut Schwaner (1861: 71-77 dalam Sjamsuddin 2001: 269) terbuat dari kayu Ulin, sudah digunakan oleh para saudagar atau orang kaya, sekitar tahun 1843 -1884. Pertengahan abad ke-19, atap sirap dari kayu Ulin sudah digunakan dan diperdagangkan. Antara lain yang diproduksi di Dusun Hulu dan dijual atau dipertukarkan barter ke Banjarmasin. Surapati misalnya pada Maret 1858 pernah membawanya untuk keperluan pemerintah kolonial Belanda (Sjamsuddin 2001: 60). Adanya sirap untuk atap rumah, membuktikan hanya bisa dipasang dengan jenis paku besi, tidak dengan pasak kayu. Pembuatan Jukung Tambangan terutama dengan lunas tanpa perahu lesung, memerlukan keahlian khusus membuat “lunas mambuah balimbing”. Pembuatan Jukung Tambangan sengaja tidak menggunakan paku besi, tetapi dari pasak kayu Ulin (dowel technique). Penyusunan papan-papan untuk dinding jukung dengan cara “carvel built (susun rata)”. Disini letak seninya. Apalagi mereka sudah mengenal penggunaan bor, pahat dan gergaji kayu (handsaw) dari besi. Pasak kayu Ulin lebih tahan lama dibanding dari besi. Keahlian membuat jukung ini hanya bisa dibuat oleh ahlinya orang Banjar, bukan dari orang Dayak.

Penggunaan Jukung Tambangan dan rumah Bubungan Tinggi Baanjung tadinya barangkali banyak digunakan oleh golongan bangsawan, tetapi sesudah dihapusnya kerajaan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860, terjadi pergeseran sosial, banyak bangsawan jatuh miskin, dan kedudukannya digantikan para saudagar atau orang-orang kaya. Pada masa perang Banjar (1859-1905), Jukung Tambangan pernah digunakan oleh para pejuang Banjar, antara lain ketika menyerang Belanda di Margasari pada 16 Desember 1861 malam, kemudian melarikan diri ke Sungai Jaya anak Sungai Nagara di kawasan Nagara (Saleh 1985: 20; Ideham et al. 2003: 202). Jukung Pandan Liris atau Jukung Bagiwas misalnya pernah digunakan oleh Tumenggung Jalil dalam pemberontakan Benua Lima melawan penjajah Belanda, 1859-1881 (Antemas 2004: 42). Jukung Pandan Liris, selain disebut “Tambangan”, juga belum ada ukiran. Jukung Pandan Liris banyak digunakan oleh orang kebanyakan. Sebaliknya Jukung Tambangan semula digunakan oleh kaum bangsawan dan orang kaya Banjar. Tetapi kemudian sejak awal abad ke-20 (paling lama menjelang akhir abad ke-19), sudah banyak digunakan untuk antar jemput penumpang yang bepergian, bertemu keluarga, kematian, perkawinan, dan sebagainya. Baik oleh orang kebanyakan, maupun oleh para bangsawan dan orang kaya, berduit, dll.

Jukung Tambangan yang sekarang mejadi “emblem” orang Banjar, sudah tidak terlihat lagi sekitar tahun 1950an di Banjarmasin (Saleh 1983: 6; Syarifuddin dan Kadir 1990: 73) dan sekitar tahun 1970an di Sungai Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Petersen 2000: 133). Jukung-jukung Banjar sekarang ini selain jukung-jukung sudur yang masih digunakan di berbagai kabupaten, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar dll., dan jukung-jukung papan terbaru, juga motor boat dan ferry, adalah tipe (macam) jukung yang dibuat sejak lewat pertengahan abad ke-20 M.

Jukung – jukung masa kini, Jukung Hawaian, Alkon, Jukung Rombong, Kelotok Halus, Kelotok Baangkut Barang, Jukung Raksasa, Jukung Nelayan, dan Jukung Tiung. Jukung Hawaian, Kelotok Halus dan Klotok Baangkut Barang sebenarnya sudah ada sebelum tahun 1850an. Sedangkan Jukung Rombong diduga sudah ada mulai akhir abad ke-19, sebelum Jukung Tiung dan Jukung Penes (sudah punah) muncul (Petersen 2000: 132). Jukung – jukung tersebut mewarnai jukung-jukung di pasar-pasar terapung di Kalimantan Selatan sejak masa lalu.

Sesudah perahu-perahu Papan yang terbuat dari kayu Ulin, seperti Jukung Tambangan menghilang, kemudian muncul Jukung Tamban. Macam jukung ini merupakan bentuk nyata jukung batambit (plank-built boat), untuk angkutan penumpang yang bentuknya cantik (Petersen 2000: 154). Sedangkan Jukung Kuin merupakan Jukung Patai yang diberi kapih. Secara berangsur berbagai macam jukung tradisional lenyap tidak digunakan lagi karena didesak angkutan air modern yang menggunakan mesin diesel sebagai penggerak jukung. Jukung Patai yang masih digunakan tetapi dengan menggunakan mesin penggerak berbahan bakar minyak tanah atau kerosin adalah tipe (macam) Jukung Serdangan di Sungai Kusan Kabupaten Tanah Bumbu, yang disebut “katinting”. Tipe jukung ini dibuat dari kayu Halaban (Vitex pubescens Vahl.) dan kayu Bungur (Lagerstromea speciosa Pers.) Macam-macam jukung lainnya yang sudah punah di antaranya Jukung Talangkasan (prototipe Jukung Patai), Jukung Bagiwas, Jukung Tambangan, Jukung Babanciran, Jukung Pangkuh, Jukung Parahan, Jukung Gundul, Jukung Undaan, Jukung Kuin, Jukung Pangkuh, Jukung Tamban, dan Jukung Buntal (jukung sudur kecil, lebar dan terbuat dari kayu Jingah, Gluta renghas L.) (Saleh 1986: 17; Petersen 2000: 154). Selain Jukung Talangkasan yang sudah ada pada abad ke-16, jukung-jukung yang sudah punah tersebut di atas, muncul menjelang tengah atau akhir abad ke-19 Masehi, bahkan mungkin jauh sebelumnya.

Kelotok Halus untuk angkutan penumpang dan Kelotok Angkutan Barang masih banyak digunakan di kota Banjarmasin untuk angkutan barang kebutuhan penduduk. Misalnya untuk angkutan beras di pasar beras di Muara Kelayan Banjarmasin. Angkutan penumpang Longboats (motor boat) atau Jukung Taksi Kota sebenarnya bisa dipromosikan untuk angkutan penumpang di sungai Martapura yang berjarak tempuh ± 32 km, demikian juga speedboats. Jukung-jukung tersebut dianjurkan bisa mempunyai terminal di pinggiran sungai di depan kantor Gubernur Kalimantan Selatan. Selain untuk alat transportasi alternatif sebagai solusi mengurangi kemacetan di jalan raya antar kelurahan, juga bisa melayani para wisata domestik dan mancanegara ke pasar terapung, dan atau wisata sungai lainnya, yang berangkat pagi-pagi sekali.


KLASIFIKASI JUKUNG BANJAR

Berdasarkan temuan arkeologi bangkai jukung (boatwrecks), sejarah (terdapatnya berbagai macam/tipe jukung yang sudah punah), dan berbagai jenis macam jukung yang masih dibuat dan digunakan di perairan sungai-sungai Kalimantan Selatan, ternyata bisa dibuat klasifikasi jukung tradisional Banjar, atas bentuk (form), jenis (kind) dan macam (tipe) (Mawardi 2005: 266-268). Khusus untuk jukung papannya (baik berlunas perahu lesung maupun tidak), papan-papan dinding jukungnya dibuat secara clinker-built (susun tindih), carvel-built (susun rata), dan gabungan keduanya. Tipe jukungnya sekarang ini terlihat dihiasi cat warna warni, meskipun tanpa ada lagi hiasan ukiran relief, dan sebagainya.

Klasifikasi ini dibuat atas jukung-jukung yang hanya dibuat dari bahan pohon kayu, sedangkan yang dibuat dari bahan fiberglass, besi, dan flywood atau dari bahan lain (laminasi) tidak termasuk. Hal ini ditekankan karena sebutan jukung disini, meskipun untuk semua tipe jukung tetapi diutamakan bagi yang dibuat dari bahan kayu. Orang Dayak dan orang Banjar dalam bahasa lokalnya (indigenous knowledge) menamakan jukung untuk semua tipe yang terbuat dari kayu. Dalam bahasa Austronesia, disebut “d’u(n)kung”. Berbagai jenis jukung yang bahan dasar lunasnya dari Perahu Lesung bisa dikatagorikan sebagai jukung Barito atau jukung Lembah Barito, yang meliputi wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Meskipun demikian berdasarkan temuan arkeologi bangkai jukung dan runutan sejarah, serta paradigma kewilayahan, jukung-jukung yang sudah punah, yang masih terdapat dan digunakan di wilayah ini maka bisa saja merupakan jukung tradisional orang Banjar. Berdasarkan kekhasan dari sejarah, jukung papan yang dibuat dari tanpa lunas maupun dengan lunas “kerongkong jukung” yang dibuat disepanjang Sungai Nagara merupakan tradisi pembuatan jukung Banjar (Petersen 2000: 19), sejak abad ke-16 Masehi dan sesudahnya. Pandai kapal pembuat Perahu Pinisi dari Sulawesi Selatan memasuki pantai Tenggara Kalimantan Selatan mulai membuat perahu tersebut dengan bahan kayu setempat seperti dari kayu besi (kayu Ulin, Eusideroxylon zwageri T&B) yang banyak tersedia disana, baru sekitar lewat abad ke-17 Masehi.

Klasifikasi jukung tradisional Banjar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bentuk jukung Perahu Lesung (hollowed out dugout): terdiri dari 2 jenis,

a. Jenis Jukung Sudur: bakal jukung dibuat dari setengah batang pohon (boats made of a half of cloven trunk). Dibentuk dengan cara mengeruk tanpa memperbesar jukung (hollowed out but without expanded over fire), dan dibentuk rupa jukung (out side shaping). Jukung Sudur termasuk Perahu Lesung yang tidak diberi tambahan apa-apa (Petersen 2000: 153). Terdapat 2 jenis ukuran:
– ukuran besar : tipe Jukung Anak Ripang, dan Jukung Paramuan
– ukuran kecil : tipe Jukung Sudur Biasa, dan Jukung Kapahumaan.
Selain Jukung-Jukung Sudur dari kayu Bangkirai Sabun (fam. Dipterocarpaceae) dan kayu
Rasak (Vatica cupularis) yang masih dibuat dan digunakan di kawasan rawa Nagara,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, juga masih dibuat di Sungai Martapura, Kabupaten Banjar yang terbuat dari kayu Halaban (Vitex pubescens Vahl.) atau jenis kayu hutan lainnya yang digunakan untuk Jukung Paiwakan dan Jukung Kapahumaan. Lainnya di Kabupaten Tapin, dibuat dari bahan kayu Bulan (Fagraea crenulata Maing.), kayu Lanan (shorea curtisii), kayu Balangiran (Shorea balangeran Korth.), kayu Kapur Naga (Callophyllum saulattri Burm.F), kayu Taras Jingah (Melanorrhoea sp.) dan sebagainya.

b.Jenis Jukung Patai: bakal jukung dibuat dari sebatang pohon utuh, dikeruk,dibentuk rupa, dan dipanggang di atas api (boats made over a full cloven trunk, hollowed out, outside shaping and expanded over fire). Ada 2 jenis ukuran, yaitu:
– Jenis ukuran besar: tipe Jukung Ripang, Jukung Ripang Hatap, Perahu Pelanjaan, Jukung Getek, Jukung Patai besar, Jukung Pahumbingan, Jukung Pamadang, Jukung Serdangan dan Jukung Pambarasan.
– Jenis ukuran sedang atau kecil: tipe Jukung Beca Air, tipe Jukung Paunjunan, jukung
Panyudiran, Jukung Panyiapan dan tipe Jukung Kapahumaan.

Jukung Patai juga memiliki prototipe. Misalnya Jukung Talangkasan pada abad ke- 16 yang digunakan Pangeran Samudera (Antemas 2004: 41). Jukung Patai tersebut dibuat dengan menakik sebatang pohon seutuhnya yang tidak terlalu besar (juga tidak dibelah dua bagian seperti membuat Jukung Sudur) lalu dibuka secara sederhana dengan menggunakan api (modestly expanded over fire after hollowed out), diberi sampung/kepala seperti Jukung Patai, dan mungkin sudah diberi ukiran hiasan. Bentuknya lebih ramping dan lebih halus pembuatannya daripada Jukung Sudur biasa, dengan alat-alat besi yang lebih maju yang sudah dikenal mereka. Dengan kata lain, pada masa abad ke-16 sudah ada ditemukan cara membuka jukung dengan cara mamanggang atau mamaru sederhana, meskipun belum sebagus pada abad ke-19 M. Tetapi lebih maju daripada abad ke-6 Masehi. Cara pembuatan jukung (dug out) seperti ini menurut Petersen (2000: 41) mungkin sudah dilakukan sejak abad ke-6 Masehi dengan peralatan besi yang baru dikembangkan.

2. Bentuk Jukung Bakapih, merupakan bentuk gabungan antara bentuk Perahu Lesung (jenis Jukung Sudur dan Jukung Patai) dan bentuk Jukung Batambit, dengan hanya menambah satu keping papan/rubing/kapih pada kedua sisi dinding jukung. Pada awalnya jukung ini disebut Jukung Bakapih, tetapi bisa juga disebut sebagai bentuk Perahu Lesung. Tetapi jukung ini dianggap prototipe bentuk Jukung Batambit/Jukung Berubing (planked boats). Jenis Jukung Sudur yang “bakapih” misalnya tipe Jukung Lumbung dan Jukung Rangkan. Artefak Jukung Lumbung misalnya yang ditemukan di Sungai Tarasi, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jenis Jukung Sudur Bakapih misanya tipe Jukung Paiwakan, dan Jukung Kapahumaan. Sedangkan Jenis-jenis Jukung Patai yang “bakapih” misanya tipe Jukung Hawaian, Jukung Kuin, Jukung Paramuan, Jukung Pamadang, Jukung Rombong, dll.

3. Bentuk Jukung Batambit, merupakan bentuk Perahu Papan (planked boats). Bantuk jukung ini dibuat dengan menyusun papan di atas lunas atau tanpa lunas dengan cara susun rata (carvel built) dan atau cara susun tindih (clinker built) dengan menggunakan pasak kayu atau besi. Dapat dibedakan atas beberapa jenis, (a) jukung dengan lunas dari balokan kayu (wood beam as keelson) terdiri atas tipe Jukung Tambangan, Perahu Parahan atau Perahu Gundul, Perahu Dagang (Nagara), dan Jukung Undaan; (b) jukung tanpa lunas dari balokan kayu, merupakan jenis jukung yang dindingnya hanya ditempelkan pada tajuk (frame) atau gading-gading dan pada sampung/kepala perahu, sedangkan bagian lunasnya disatukan berbentuk “V”, misalnya tipe Jukung Pandan Liris (prototipe Jukung Muara Tapus) atau Perahu Bagiwas (prototipe Jukung Tambangan).Atau berbentuk “U” yang disebut “jukung”. Keduanya prototipe jukung orang Banjar masa kini, yang digunakan sesuai dengan fungsi/kegunaannya. Tipe yang disebut “jukung” (bisa juga berdasarkan nama tempat) kebanyakan dari kayu ulin di kawasan Nagara, Sungai Amandit dan Sungai Balimau, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan beberapa kabupaten lainnya seperti di Barito Kuala, Banjar, dan sebagainya.; (c) jukung dengan lunas kerongkong jukung, baik dari Perahu Lesung (just hollowed out) atau Jukung Sudur besar biasa maupun dari jukung yang sudah diperbesar dengan cara memanggang (expanded dugout). Kedua dinding jukung diberi papan-papan, misalnya yang berukuran besar tipe Jukung Tiung, Jukung Raksasa, Jukung Baangkut Barang, dan Jukung Nelayan dan yang berukuran sedang atau kecil, tipe Jukung Kelotok Halus dan Kelotok Bangkut Barang.


JUKUNG BANJAR: APRESIASI MASYARAKAT

Penghargaan (apresiasi) etnis Banjar terhadap jukung tradisional Banjar karena mempunyai ikatan kuat dengan budaya sungai. Ini terlihat dari masih bertahannya sumber budaya sungai tersebut selama ratusan tahun. Meskipun sebagian sudah ada yang punah, akibat: 1) terdesak modernisasi moda transportasi air; 2) makin terbatasnya pohon-pohon kayu untuk bahan pembuatan jukung disebabkan eksploitasi hutan; 3) tidak ada lagi ahli pembuat perahu tradisional, seperti Jukung Tambangan, dan tipe-tipe lainnya yang semacam; 4) perubahan kehidupan ekonomi dari tingkat subsistensi menjadi konsumtif; 5) terbukanya akses jalan darat dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat; 6) kemajuan teknologi informasi; 7) terbukanya kesempatan kerja baru; dan 8) meningkatnya pendidikan masyarakat.

Dari sejarah diketahui, kebudayaan sungai etnik Banjar terbentuk karena adanya kebutuhan adaptasi hidup dan interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan politik dengan budaya luar. Secara sosiokultural etnis Banjar bersifat terbuka. Namun, dasar tipe Perahu Lesung dari masa prasejarah tetap dipertahankan, karena masih sesuai dengan kebutuhan adaptasi terhadap lingkungan alam setempat dan ekonomi agraris. Jukung masih jelas memperlihatkan inovasi lokal ciri-ciri ketradisionalannya (autotochnous), khas budaya Banjar. Jaring-jaring kehidupan sosial etnis Banjar sebagai pengguna jukung tradisional dalam kehidupan budaya sungai masih menjadi jatidiri. Lalu jika jukung sebagai benda budaya menghilang, maka identitas (jatidiri) etnis Banjar juga juga tidak ada lagi ?. Jukung tradisional Banjar menurut hemat kami berkembang dalam satu paradigma satu wilayah Lembah Barito dan menjadi ciri khas bersamanya, tetapi khusus orang Banjar, jukung papan (planked boats) merupakan unsur budaya yang lebih menonjol. Untuk ini diperlukan penelitian kekhasan yang lebih mendalam.

Upaya meningkatkan apresiasi dan kepedulian masyarakat Kalimantan Selatan terhadap jukung tradisionalnya dapat dimantapkan dengan cara pemanfaatan sekaligus pelestarian sumber budaya sungai tersebut, terutama keberadaan pasar-pasar terapung yang bernilai arkeologi untuk pariwisata. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga kewajiban masyarakat (lembaga swadaya masyarakat atau pemerhati secara perseorangan). Dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah beserta para pemangku kepentingan (stake-holders) lainnya, memfasilitasi ketahanan budaya jukung tradisional yang berkaitan dengan sumberdaya budaya sungai lainnya secara keseluruhan, dan menjadikannya sebagai budaya unggulan (the culture of excellence) etnis Banjar.

Peningkatan apresiasi dan kepedulian tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi hasil interpretasi tentang jukung tradisional Banjar yang bersumber pada hasil-hasil penelitian, karya-karya tulis, dan keadaan sebenarnya di lapangan sebagai budaya material unggulan, yang bersangkutan dengan pemanfaatan dan pelestarian. Pemanfaatan tidak hanya untuk pengembangan sebagai objek pariwisata berbasis arkeologi, juga dalam upaya peningkatan ekonomi kreatif masyarakat pendukung budaya sungai tersebut yang ternyata sanggup bertahan lebih dari 400 tahun. Lokasi-lokasi Pasar Terapung di Kalimantan Selatan bisa dikatakan merupakan situs arkeologi yang masih memiliki benda budaya jukung tradisional.

Dengan kata lain, hasil interpretasi tentang jukung tradisional Banjar dapat dijadikan salah satu instrumen untuk meningkatkan apresiasi masyarakat. Hasil interpretasi tersebut dapat disampaikan lewat pemanduan di lapangan dan di museum; lewat pameran, leaflet, buku-buku hasil penelitian dan karya tulis, audio-video, internet dalam bentuk website ataupun program-program multimedia lainnnya; lewat seminar, simposium atau lokakarya tentang jukung tradisional pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; lewat replika jukung, tiruan jukung, acara lomba jukung (tipe Jukung Pelanjaan) dan pawai jukung tradisional asli, Museum Jukung Tradisional Banjar, termasuk objek wisata terkait lokasi-lokasi pembuatan jukung di antaranya yang terdapat 3-5 km. dari muara Sungai Kuin, di Pulau Alalak di Desa Pulau Suwangi dan Desa Pulau Sugara, dsb.nya. Dalam hal ini program pemanfaatan dan pelestarian harus menunjukkan hubungan resiprokal. Pemanfaatan sumberdaya budaya dapat dilakukan melalui pemanfaatan fisik (pariwisata domestik maupun untuk kemasan mancanegara) dan pemanfaatan non-fisik (berkaitan dengan makna budaya lokal Banjar).

Hasil interpretasi tersebut di atas, tentunya bertujuan untuk meningkatkan kepariwisataandi daerah ini, apalagi ekonomi kreatif masyarakatnya meski berpendapatan rendah tetapi terbukti tetap bertahan turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Disamping jual beli dengan jukung, mereka juga ada yang hidup sebagai petani, nelayan sungai, peternak kecil, pengrajin, pekebun dsb.nya disekitar pinggiran sungai-sungai. Pariwisata Pasar Terapung disegi pelestarian dan pemanfaatannya akan lebih menonjol jika ditangani secara serius dan bertanggung jawab, karena bisa dijadikan situs arkeologi (seperti Sangiran, dsb.nya) untuk objek pariwisata, baik daerah maupun nasional, bahkan dunia. Antara lain dengan meningkatkan pengadaan investasi pasar terapung sebagai lokasi situs pariwisata berbasis arkeologi jukung tradisional. Tujuannya bernilai komersial sebagai penghasil devisa, objek penerimaan pajak dan peningkatan penanaman modal untuk memperluas kegiatan usaha dan menciptakan lapangan kerja baru. Sehingga objek pariwisata memiliki nilai jual, menghasilkan uang, dengan adanya sentuhan kreativitas bisa mengembangkan keberhasilan ekonomi kreatif dibidang bisnis pariwisata. Kreativitas pengembangan lokasi wisata, tentunya berbeda dengan di Thailand, harus lebih menunjukkan “ke naturalan dan keasriannya”, khas budaya sungai Banjar.

Nilai kealamian atau kenaturalan pasar-pasar terapung di Kalimantan Selatan ini tentunya memerlukan pelestarian, pembinaan, dokumentasi (film atau video dokumenter), dll. meski 1terbukti mampu bertahan sejak ratusan tahun yang lalu, terutama karena didukung oleh perekonomian kerakyatan (grass root economy) yang khas kehidupan budaya perairan sungai yang hanya ada di daerah ini.

Di situs ini bisa dibangun perekonomian kerakyatan melalui kiat-kiat kreatifitas bisnis yang mampu meningkatkan konstribusi, terutama dengan sosialisasi industri kreatif. Caranya mengkaitkan bisnis industri pariwisata dengan spektrum industri-industri kreatif lainnya yang terkait, menterpadukannya dengan bidang-bidang : periklanan, artsitektur, perdagangan barang seni, seni kerajinan, desain industri, desain busana, video, film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, komputer dan peranti lunak, televisi dan radio, dll. Pengembangan ekonomi kreatif disini, bersangkutan dengan kiat-kiat berbisnis tersebut di atas, dan situs sebagai objek pariwisata merupakan produk dan mempunyai potensi. Diperlukan kecepatan dan percepatan, kemampuan beradaptasi, mencoba ide-ide baru tidak hanya mengandalkan “market research”, berinovasi, berkolaborasi, penggerak distribusi, tetap fokus pada pangsa pasar, dan multidisipler (dengan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu seperti teknologi, konten, grafis, layanan dan telekomunikasi). Ekonomi yang bisa dikembangkan di situs pasar terapung, tentunya dengan identitas ciri-ciri tradisionalnya, dan bisa memberikan konstribusi terhadap ekonomi masyarakat, khususnya pendapatan penduduk di situs dan sekitarnya, terciptanya lapangan kerja baru, memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dll. Terutama pengadaan sarana dan prasarana yang sesuai dan terarah dengan pengembangan intelektual pada usaha-usaha di bidang kreativitas ekonomi kreatif yang cepat bertumbuh kembang. Di lokasi ini, terutama harus ada pelestarian dan pemanfaatan berbagai macam (tipe) jukung tradisional yang bernilai sejarah dan arkeologi, beserta tempat-tempat pembuatan dengan pengrajinnya, seperti di situs pulau Alalak sekitar 3-4 km dari situs masyarakatnya jelas memiliki kearifan pasar terapung Muara Kuin di Sungai Barito. Pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan situs pasar terapung di Kalimantan Selatan, tentunya sangat berbeda dengan situs-situs lainnya seperti situs Sangiran yang sangat memerlukan berbagai zonasi, karena bendawinya tetap “hidup (living)”, dengan mana para pelaku pemanfaatan bendawi budaya mampu bertahan survive hingga sekarang meskipun berlangsung sejak ratusan silam. Zonasi nya terpadu dengan lingkungan permukiman yang sudah ada dengan perekonomiannya, singkron dan saling bersinergi satu sama lainnya. Jukung dalam kehidupan budaya dan perekonomian masyarakatnya jelas memiliki kearifan masyarakat yang bernilai tinggi, dan tersendiri. Event pariwisatanya bisa disatukan dengan wisata sungai, juga dengan event-event lainnya yang sudah dijadwalkan. Misalnya, wisata sungai Pulau Kaget, Festival udaya Pasar Terapung yang berpusat di jalan Sudirman Banjarmasin, Wisata Budaya Religi di Kuin, Kampung Sungai Jingah (kuliner)-Surgi Mufti, dan sebagainya.

Mengenai keberadaan situs pasar terapung ini pernah diungkapkan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata R.I., Jero Wacik, ketika membuka acara Festival Borneo 2005, event seni, budaya dan pariwisata di Gedung Sultan Suriansyah 21-23 Nopember 2005. Karena menurut dia pasar terapung di Kuin Utara, mempunyai nilai jual menjanjikan di bidang pariwisata domestik dan mancanegara. Karena merupakan salah satu kekhasan Indonesia di mata dunia, selain di Thailand. Karenanya perlu dikelola dan ditata secara baik, lebih indah dan lebih rapi. Diperlukan pembinaan pemberian fasilitas penunjang, transfortasi, penginapan/hotel, tempat berjualan, dsb.nya (Rah 2005: 3). Dipinggiran Sungai Barito di kawasan pasar terapung, dan di pinggiran Sungai Kuin, perlu diberi fasilitas “lanting-lanting” untuk tempat berjualan cendera mata, restoran, dll. Demikian juga usaha-usaha kreativisasi meningkatkankan pasar terapung di Lok Baintan.

Secara garis besar, ekonomi kreatif yang bisa dikembangkan di situs ini berdasarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan ekonomi kreatif harus memiliki dan mendukung : (a). dampak sosial (peningkatan kualitas hidup dan pemerataan kesejahteraan); (b). citra dan identitas sukubangsa dan bangsa (kepariwisataan, ikon nasional, dan membangun warisan budaya dan nilai lokal); (c). iklim bisnis (penciptaan lapangan usaha dan mampu mendukung sektor lainnya); (d). konstribusi ekonomi (PAD dan PDB: Produk Domestik Bruto, ekspor (devisa) dan lapangan kerja); (e). inovasi dan kreativitas (penciptaan nilai ide dan gagasan); (f). sumberdaya terbarukan (berbasis pengetahuan dan kreativitas, dan green community) (Anonim tt. : 3-6).


PENUTUP

Berbagai macam (tipe) jukung tradisional Banjar yang masih terdapat di situs Pasar Terapung Kuin di Banjarmasin dan di Lok Baintan di Martapura, ternyata memiliki ciri-ciri dengan bentuk, jenis dan tipe jukung yang pernah ada di masa lalu, pada masa prasejarah hingga sejarah, baik yang masih ada maupun yang sudah punah, akibat berbagai faktor yang berpengaruh, internal maupun eksternal. Sehingga tetap memiliki kesimbiotikan bentuk, jenis dan macam (tipe) jukung yang prototipenya ada sejak masa lalu. Kesimbiotikan tersebut dilihat dari berbagai prototipe yang tumbuh berkesinambungan, dari Perahu Lesung (Jukung Sudur dan Jukung Patai), Jukung Bakapih, Jukung Batambit (dengan lunas dan tanpa Perahu Lesung) hingga sekarang ini. Apalagi tradisinya masih tetap menggunakan jenis-jenis kayu yang sama digunakan pada masa lalu, yang dipilih dari segi kelas keawetan kayu (wood durability class) dan kelas kekerasan kayunya (wood strength class), yang tumbuh alami dan asli. Di antaranya kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri, fam. Lauraceae), Cangal (Neobalanocarpus heimii), Benuas/ Bangkirai (Shorea laevis), Mada Hirang (Depterocarpaceae family), Balangeran (Shorea balangeran), Meranti (Shorea curtisii), dan sebagainya.

Pasar-pasar terapung yang ada sekarang merupakan situs arkeologi yang sudah ada sejak masa lalu, dan bernilai sejarah hingga masa kini, sehingga benda budaya jukung tradisionalnya, beserta kearifan masyarakatnya bisa dipertahankan, dilestarikan dan dimanfaatkan untuk industri pariwisata berbasis arkeologi. Sekaligus menciptakan kreativitas pembangunan perekonomian pro rakyat, untuk kemakmuran dengan inovasi, yang bercirikan ekonomi kreatif masyarakat setempat dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang silam. Tujuannya penyelamatan identitas budaya lokal sebagai bagian budaya nasional secara nyata. Sehingga situs ini bisa dianjurkan dan diharapkan menjadi situs jukung yang bernilai nasional dan dunia, dimasa sekarang maupun dimasa akan datang. Dengan sapta pesona wisata, aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah, dan memberi kenangan. Sebagai situs arkeologi merupakan modal bermanfaat untuk pengembangan nilai-nilai budaya bangsa, dan sebagai objek pariwisata merupakan andil dalam menyelamatkan dan melestarikan warisan budaya. Seperti situs Sangiran dan sebagainya. Wallahu ‘alam.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim tt. Membangun Perekonomian Indonesia Melalui Industri Kreatif. Leaflet Pusat Informasi Perekonomian. Badan Informasi Publik. Kemenkominfo. RI.

Anonim 3 Pebruari 2010. Perahu Tambangan Tambah Koleksi Museum lambung Mangkurat. Barito Post

Antemas, Anggraini 2004. Jukung Sudur, Perahu Purba Kalimantan dalam buku Mengenal Flora, Fauna dan Seni Budaya Banjar. Amuntai: Ananda Nusantara, hlm. 35-53

Ave, JB. Dan Victor T. King 1986. Borneo-the People of the Weeping Forest: Tradition and Change in Borneo. Leiden: Rijksmuseum voor Volkenkunde

Ditjen. Pariwisata 1991. Indonesia. Jakarta: Depparpostel.

Elfa, Meldy Muzadi 2002. Sejarah Mesjid Keramat Palajau Barabai. Barabai: Badan Pengelola Nesjid Keramat

Groeneveldt, WP. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese Source. Jakarta: CV. Bharatara

Gunadi, Kasnowihardjo 2004. Situs-Situs Kosong: Satu Realita dan Solusinya. Bulletin Arkeologi Naditira Widya No. 12 April. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm. 74-82

Han, 6 Oktober 2005. Nelayan Kuangan Temukan Jukung Tua. Banjarmasin Post: 16

Ideham, M. Suriansyah, H. Syarifuddin, HA. Gazali Usman, M. Zainal Arifin Anis, dan Wajidi (eds.) 2003. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Balitbangda. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.

Ideham, M. Suriansyah, H. Syarifuddin, M. Zainal Arifin Anis, dan Wajidi (eds.) 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Balitbangda. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan

Kostoro, Lucas Pertanda 1998. Jukung Sudur, Koleksi Masterpiece Museum Negeri Provinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat

Kostoro, Lucas Pertanda 2000. Bangkai Perahu Sebagai Objek Arkeologis. Catatan Tentang Jukung Sudur Koleksi Museum Negeri Provinsi Kalimantan Selatan “Lambung Mangkurat”. Bulletin Arkeologi Naditira Widya No. 4. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm. 46-63

Koestoro, Lucas Pertanda 2005. Rempah dan Perahu di Perairan Sumatera Dalam Ungkapan Arkeologis dan Historis. Jurnal Arkeologi Indonesia No. 3, September. Jakarta: IAAI, hlm. 41-64

Kusmartono, Vida Pervaya Rusianti 2000. Posisi Candi Laras dan Candi Agung Pada Kerangka Sejarah Budaya Masa Klasik di Kalimantan Selatan. Bulletin Arkeologi Naditira Widya No. 4. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm. 11-17

Mardiana, Siti Hadijah dan Zailani 2002. Ragam Hias Pada Benda-Benda Kuningan. Seri Penerbitan Khusus No. 46. Banjarbaru: Museum lambung Mangkurat

Masrury, MS. Dan Abbas 1994. Pinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan. Ujungpandang: BP2 Permuseuman Sulawesi Selatan

Mawardi, H. Achmad 2008. Asal-Usul, Jenis dan Ciri Khas Perahu Tradisional Banjar, Sebagai Objek Wisata Budaya Sungai di Kalimantan Selatan dalam Proceding PIA X, Yogyakarta 26-29 Juni 2005. IAAI, hlm. 252-279.

Petersen, Erik 2000. Jukung Boats from the Barito Basin, Borneo. Roskilde Denmark: The Viking Ship Museum

Rafdiansyah, 29 Mei 2006. Jukung Sudurpun Terdiam. Spirit Kalsel: 9.

Rah, 28 November 2005. Menteri Minta Benahi Pasar Terapung. Spirit Kalsel: 3

Roth, Henry Ling 1980. The Natives of Sarawak and British North Borneo. Vol. I-II. Kualalumpur: University of Malaya Press

Saleh, M. Idwar 1981. Banjarmasih. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat

Saleh, M. Idwar 1984. Rumah Tradisional Rumah Bubungan Tinggi. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat

Saleh, M. Idwar 1985. Lukisan Perang Banjar. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat

Saleh, M. Idwar 1986. Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir Abad-19. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat

Sjamsuddin, Helius 2001. Pegustian dan Tumenggung. Akar Sosial, Politik, Etnis dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Tesis Doktor, Jakarta: PT. Balai Pustaka

Sukendar, Haris 1998. Perahu Tradisional Nusantara. Jakarta: Depdikbud. R.I.

Syarifuddin 1996. Perahu Banjar. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat

Syarifuddin dan M. Saperi Kadir 1990. Mengenal Koleksi Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat

Triatno, Agus, Siti Hadijah dan H. Syarifuddin 1998. Perahu Tradisional Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat

Warren, Jim 1985. The Prahus of the Sulu Zone. Brunei Museum Journal Vol. 6 No. 1. Brunei Darussalam: The Brunei Museum.


*MAKALAH PIA 2011

Wisata Religi di Situs-situs Keagamaan Tinggalan Kerajaan Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur

1 Komentar

Mujib
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional


ABSTRAK

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri para kurang lebih abad ke-14 M dan berakhir pada awal abad ke21 M. pada awalnya, kerajaan ini bercorak Hindu, namun pada masa raja yang kelima, yaitu Sultan Aji Dilanggar kerjaan itu berubah haluan ideologinya menjadi Islam. Orang yang berjasa dalam pengislaman di Kerajaan Kutai Kartanegara disebut dalam sejarah bernama Tuan Tunggang Parangan dan Tuan Datuk Ri Bandang. Tuan Tunggang Parangan disebut-sebut berasal dari Aceh dan Tuan Datuk Ri Bandang berasal dari Sumatra Barat. Kedua ulama itu berperan dalam penguslaman wilayah Nusantara bagian timur. Komsultasi keagamaan dilakukan keduanya dengan ulama Gresik sebelum mereka berjuang mendakwahkan Islam di wilayah yang menjadi tujuannya.

Selama enam abad itu banyak sudah tinggalan kerajaan itu yang dapat disaksikan hingga kini, seperti makam-makam kuna, tempat-tempat ibadah, istana, naskah-naskah kuna serta beberapa tinggalan yang lainnya. Tinggalan-tinggalan itu sebagian masih asli dan sebagian yang lainnya sudah mengalami pemugaran. Tinggalan-tinggalan itu tersebar kuas di bekas wilayah kekuasaan kerajaan tersebur seperti di Kutai Lama, Sangasanga, Tenggarong, Kotabangun dan lain-lain.

Tinggalan arekologi yang begitu banyak belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat hingga kini. Akibatnya lingkungan tinggalan itu kadang menjadi tidak terawatt. Oleh karena itu perlu dipikirkan bagaimana memanfaatkan tinggalan-tinggalan arkeologi yang bersifat keagamaan itu. Ketika penulis mengadakan kunjungan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai kartanegara, Kepala Dinas sempat mempertanyakan bagaimana cara mengembangkan manfaat tinggalan-tinggalan itu. Penulis member saran agar dipikirkan bagaimana cara mengembangkannya dengan wisata religi. Pada bulan Februari tahun 2011 yang lalu, penulis mengunjungi lagi Kutao Kartanegara untuk bersilaturahmi dengan kepala Dinan Kebudayaan dan Patiwisata Kabupaten Kutai Kartanegara. Setelah itu penulis diajak untuk menghadiri ceramah agama di komoleks makam Sultan Alimuddin di Tdenggaromng. Penulis sempat mendiskusikan tentang wisata religi. Akhirnya didapat kesimpulan ketua pengajian itu akan membuat kionsep berdasarkan masukan penulis dalam pengembangan wisata reliji di Kutai Kartanegara.

Kata Kunci: Kerajaan Kutai Kartanegara – Tinggalan Arkeologi – Ziarah Religi


1. Pendahuluan

Kalimat bijak yang dituturkan oleh seorang yang bijak mengatakan, “al-ilm bilá ‘amal ka asy-syajar bilá tsamar” dapat diterjemahkan “bahwa ilmu tanpa (bias) diaplikasikan itu bagaikan pohon yang tidak ada buahnya”. Kalimat itu dapat diinterpretasikan bahwa apabila suatu ilmu dikaji hanya untuk menghasilkan teori saja tanpa dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas maka ilmu itu akan menjadi sia-sia tak ada arti, tak berguna dan tak bermanfaat. Sebagai ilmu kepurbakalaan, arkeologi semestinya dapat dapat diaplikasikan dan dapat member nilai dan manfaat terhadap masyarakat luas. Untuk dapat bermanfaat, maka tinggalan arkeologi yang menjadi obyek kajian ilmu tersebut harus dikaitkan dengan empat hal, yaitu wujůduh (keberadaannya), rûhuh (nilainya), hauluh (lingkungannya), intifá’uh (pemanfaatannya) baik di masa lalu, masa kini maupun di masa yang akan dating.

Secara teori, arkeologi telah banyak dibicarakan para ahli, namun pemanfaatannya masih harus dikaji terus menerus disesuaikan dengan hasrat danminat masyarakat pada umumnya. Pemanfaatan sebagai obyek kajian terus dilakukan, pemanfaatan sebagai barang komuditi perdagangan pernah dilakukan dan mungkin sampai kini masih berlangsung, dan pemanfaatan sebagai koleksi perorangan dan museum sampai kini masih berlangsung serta pemanfaatan sebagai obyek wisata ziarah juga dilakukan. Pemanfaatan sebagai wisata religi secara tidak disadari juga telah dilakukan di seluruh lokasi tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan.

Untuk menjembatani agar ilmu kepurkalaan tidak hanya menghasilkan teori-teori yang kadang tidak dapat dicerna dengan sederhana oleh masyarakat luas, maka diperlukan suatu terobosan baru untuk mempraktekkan ilmu itu, untuk mengaplikasikan ilmu itu, untuk pemanfaatan ilmu itu, maka hendaklah dibuat konsep untuk pemanfaatannya di masyarakat.

Kutai Kartanegara, sebuah institusi kerajaan yang menguasai wilayah muara dan aliran Sungai Mahakam dan sekitarnya dan kini di bekas wilayah kekuasaannya itu dijadikan nama sebuah kabupaten, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Sebenarnya luas wilayah kekuasaan kerajaan itu melebihi wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sekarang. Luas wilayah kerajaan itu sesungguhynya meliputi tiga wilayah kabupaten yang menjadi pecahan Kabupaten Kutaiu Kartanegara, yaitu Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kutai Kartanegara itu sendiri. Pada zamannya, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara berpindah hingga tiga kali, pertama Kutai Lama dari tahun 1300 – 1832; kedua Pemarangan, Jembayan dari tahun 1832 – 1882; dan terakhir Tenggarong dari tahun 1882 hingga awal abad 21.

Di setiap wilayah ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara terdapat tinggalan arkeologi yang diduga tinggalan kerajaan tersebut. Di Kutai Lama, terdapat tinggalan makam, masjid, dan bekas pemukiman kuna. Artefak yang begitu banyak dan beragam juga ditemukan di lokasi itu, misalnya keris, keramik, bandul jala, dll. Begitupun di Pamarangan, Jembayan juga ditemukan makam dan tempat ibadah. Tidak ketinggalan pula keramik, ijuk, tonggak-tonggak kayu dll. Di Tenggarong lebih banyak lagi makam dibandingkan dengan tempat-tempat pusat kota Kerajaan Kutai Kartanegara yang lainnya. Pemakaman di Tenggarong tampaknya menjadi kompleks pemakaman raja-raja Kutai Kartanegara yang berkuasa sejak kepindahan kerajaan itu di kota ini. Di kompleks pemakaman para raja dimakamnkan Sultan Salihuddin – Sultan Parikesit. Di Tenggarong juga ditemukan tempat ibadah berupa masjid yang dibangun oleh salah seorang menantu Sultan Alimuddin, ayah Sultan Parikesit yang bernama Tumenggung Hasanuddin. Oleh karena itu masjid ini dinamakan Masjid Hasanuddin. Sampai sekarang masjid itu masih berdiri tegak di belakang istana Kesultanan yang sekaran menjadi Museum Negeri Mulawarman di Tenggarong. Tinggalan lain yang terdapat di Tenggarong adalah naskah-naskah kuna keagamaan dan kesejarahan. Naskah Salasilah Kutai menjadi mascot dan tinggalan naskah yang paling dibanggakan oleh masyarakat Kutai Kartanegara karena berisi tentang riwayat kerajaan Kutai Kartanegara dari penguasa pertama samapai terjadinya pemindahan kerajaan ke Tenggarong.

Dari penuturan tersebut dapat diketahui bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara mempunyai tinggalan arkeologis yang amat bergam. Tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan bahkan mendominasi tinggalan-tinggalan itu. Tempat-tempat ibadah, naskah-naskah, dan makam-makam kuna alan keagamaan itu tidak dioptimalkan pemanfaatannya, bahkan ada yang sama sekali tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Makam-makam tokoh kerajaan mungkin masih sering dikunjungi oleh para peziarah untuk sekedar bertawasul atau berziarah mendoakan mereka yang dimakamkan itu, namun tidak demikian halnya maka-makam kuna yang bukan tokoh, ini sama sekali tidak tersentuh oleh hawa pemanfatan sama sekali. Oleh karena itu kerusakan selalu menghampiri tinggalan-tinggalan arkeologi itu.

Sebenarnya tinggalan-tinggalan arkeologi yang tersebar di seluruh wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara itu amatlah banyaknya sebagaimana telah disebutkan. Sayangnya semua tinggalan tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas, baik pemerintah, rakyat kebanyakan, dan para ilmuwan dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan dan memanfaatkan tinggalan budaya masa lalu kerajaan tersebut.

Dari uraian tersebut dapat dimunculkan permasalahan bahwa benda-benda arkeologis yang terdapat di Tenggarong memang selama ini sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh masyarakat umum, seperti digunakan untuk pembukaan upacara adat Erau dan ziarah-ziarah. Masyarakat luas pun juga mengungjungi istana sultan, makam-makam kesultanan dan lain-lainnya. Namun demikian mereka belum merasakan sentuhan arahan atau yang lainnya berupa pencerahan atau pelaksanaan ritual yang dapat menyentuh hati mereka sehingga mereka akan lebih mengagumi perjuangan para sultan yang memimpin di Kutai kartanegara.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menawarkan sebuah konsep pengelolaan tinggalan-tinggalan budaya dan arkologis yang bersifat keagamaan di Tenggarong sebagai bekas ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara agar tinggalan-tinggalan budaya dan arkeologis di tempat itu dapat bernilai dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas. konsep itu adalah “Wisata Religi: Sebuah Upaya Pemanfaatan Tinggalan Budaya dan Arkeologis di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur”.

Teknik dan metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini meliuti: untuk mengumpulkan data makam dipkai adalah metode survey dan interview. Survey dilakukan untuk mengamati dengan tujuan mendeskripsikan temuan dimaksud serta mengklasifikasikannya agar dapat disentesakan serta diinterpretasikan dengan benar. Sedangkan interview dilakukan untuk mendapatkan data tentang persepsi masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggalan-tinggalan budaya dan arkeologis itu terhadap pemanfatan tinggalan-tinggalan itu. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskfiptif – historis dengan pendekatan konsep religi yang dipahami dan diaplikasikan oleh masyarakat sekitar lokasi keberadaan tinggalan budaya dan arkeologis di Tenggarong itu.


2. Kerajaan Kutai Kartanegara dan Tinggalan dan Arkeologis di Tenggarong: Kraton, Masjid dan Makam

Kesultanan Kutai Kartannegara pada awal berdirinya semula menganut agama Hindu. Ini dapat dibuktikan dengan berbagai macam temuan di Kutai Lama berupa toponime seperti Jahitan Layar, sebuah nama lokasi yang dipercaya oleh masyarakat sebagai awal mula perkampungan yang ditempati oleh Batara Agung Dewa Sakti, Raja I Kerajaan Kutai Karttanegara. Generasi demi generasi muncul setelah Agung Batara Dewa Sakti meninggal masih memeluk agam Hindu, sampai Tunggang Parangan dan Datuk Ri Bandang dating ke Kutai lama dan mendakwahkan agama baru, Islam sehingga Raja Aji Mahkota, raja kelima Kutai Kartanegara sudi memeluk Islam. Dari situlah mulai dikenalkan istilah sultan bagi penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara. Peristiwa itu terjadi pada abad ke-16.

Kerajaan Kutai Kartanegara yang berikukota di Kutai Lama dianggap sudah tidak bertuah lagi karena pembakaran yang dilakukan oleh musuh-musuhnya. Kemudian ibukota kerajaan itu dipoindahkan ke Pemarangan, Jembayan pada tahun 1832. Setelah istananya dibakar o,eh lanun Solok, maka kerajaan itu dipindahkan ke Tenggarong pada tahun 1782.

Sejak mula berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara itu sampai akhirnya dibekukan oleh Belanda pada pertengahan abad ke-20, banyak sudah hasil karya dan bukti-bukti yang ditingggalkannya. Di antara tinggalan-tinggalan yang bersifat keagamaan yang dapat disaksikan hingga kini di Tenggarong antara lain sebagai berikut.

Sebagai bukti sosialisasi Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara adalah ditemukannya bangunan-bangunan sacral keagamaan dan istana Sultan serta makam-makam kuna di bekas wilayah kekuasaannya. Istana sebagai pusat kekuasaan yang mula pertama dikenalkan oleh orang-orang Islam merupakan pusat kekuasaan dan pusat pengendalian administrasi kekuasaan pada umumnya. Namun demikian istana juga merupakan pusat kosmis dalam kepercayaan Islam Jawa.

Di Tenggarong sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Kutai kartanegara juga terapat bangunan istana yang dijadikan sebagai tempat tinggal sultan. Istana ini dibangun di tepi sebelah barat Sungai Mahakam. Kota Tenggarong. Istana ini menghadao kea rah timur yang biasa disebut oleh pembesar kerajaan dan masyarakat Tenggarong menghadap matahari hidup. Artinya menghadap arah terbitnya matahari. Dalam hal ini sesuai kepercayaan mereka, istana atau rumah itu sebagiknya menghadap arah terbitnya matahari karena dipercaya akan mendatangkan keuntungan

Untuk memasuki istana dibangun undakan atau tangga yang berjumlah empat belas. Istana ini dibangun dengan beberapa ruang, seperti kamar sultan, ruang tamu, dan paseban. Di bagian kanan dan kiri istana ini dibangun emper untuk istirahat. Istana ini diengkapi dengan halaman depan yang luas. sekarang di halaman istana ini dilengkapi dengan taman, sepasang meriam, lembu Suwana, patung naga dan lain-lain. Istana I ni sekarang difungsikan sebagai Museum Negeri Mulawarman, Provinsi Kalimantan Timur.

Sementara itu, tinggalam lainnya yang berupa tempat ibadah ialah masjid. Masjid ini terletak di belakang istana sultan yang sekarang difungsikan sebagai museum dibatasi dengan sungai kecil yang dismabungkan dengan jembatan kayu. Di sebelah selatan masjid berdiri istana baru yang difungsikan sebagai pusat kegiatan budaya masyarakat Kuta Kartanegara, seperti tari-tarian, jepen, gamelan dan lain-lain. Di sebelah utara dan barat adalah jalan raya. Dari data pictorial yang dipajang di dinding sebelah utara masjid diketahui bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1929 oleh Aji Hasanuddin yang bergelar Aji Pangeran Sosro Negoro. Masjid ini mempunyai empat tiang utama yang disebut saka guru dengan bentuk segi delapan dan disangga oleh 12 tiang rawan segi 6 yang letaknya mengelilingi empat tiang utama.

Masjid dibangun dengan rancangan permanen bercorak rumah adat Kalimantan Timur. Atapnya tumpang tiga dengan puncaknya berupa bentuk limas segi lima.pada setiap tingkatan ditandai dengan fentilasi yang jumlahnya bervariasi bergantung pada besar kecilnya bangunan. Atapnya dibuat dari sirap kayu. Banhunan masjid ini juga dilengkapi dengan menara yang dibanhun di sebelah barat daya masjid dengan kontruksi besi. Sampai kini masjid kuna Tenggarong ini masih digunakan sebagai tempat ibdah, terutana salat lima waktu dan salat jumat.

Sementara itu, makam-makam kuna kesultaan di Tenggarong amatlah banyak. Begitu juga makam-makam kuna masyarakat umum. Para sultan Kerajaan Kutai kartanegara sebenarnya ingin disatukan pemakamannya dalam satu kompleks pemakaman kesultanan. Ini tampak usaha yang ada, yang bahwa makam di sebelah selatan istana Sultan yang menjadi museum itu. Di dalam kompleks makam itu berturut turut dimakamkan Sultan Aji Embut (wafat 24 Rajab, hari Selasa, pukul 7, tahun 1209 H.), Aji Muhammad Salihuddin (wafat 17 Rajab, hari Senin, tahun 1261 H.), Sultan Aji Muhammad Sulaiman (wafat 28 Rajab, hari Sabtu, ham 4.30, tahun 1317 H), Sultan Aji Muhammad Parikesit (tanpa inskripsi). Dalam kompleks makam itu juga dimakamkan para istri dan anak-anak para sultan serta kerabat deka mereka. Para ulama kesultanan juga tidak ketinggalan dimakamkan di kompleks pemakaman itu. Namun demikian, oleh karena kasus tersendiri, maka makam Sultan Muhammad Alimuddin dipisahkan dan dilokasikan di sebuah berbukitan di Kampung Melayu Tenggarong.

Makam-makam kuna para kerabat sultan dan para pemangku jabatan di lingkungan kesultanan juga dapat dilihat di lokasi lain, misalnya makam Pangeran pemangku jabatan sultan dikala Sultan Parikesit masih berusia muda, yaitu Pangeran Notonegoro yang makamnya terletak di belakang markas Tentara Kutai kartanegara, makam Awang Lor, Panglima Kesultanan Kutai kartanegara yang gugur di medan perjuangan ketika mengusir Belanda. Karena itu jasanya diabadikan sebagai nama kesatuan tentara Kalimantan Timur, yaitu Kesatuan Awang Long. Makamnya terletak di Kelurahan Sukarame, Tenggarong.


3. Persepsi Mayarakat Tenggarong terhadap Tinggalan Budaya dan Arkeologi dan Pemanfatannya

Tinggalan cagar budaya yang terdapat di Tenggarong antara lain makam-makam para sultan Kerajaan Kutai Kartanegara, makam-makam petinggi kesultanan seperti Imam Nata Igama, Penanggung jawab pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu Tuan Mangku Negara dan makam pahlawan Tuan Awang Long. Di samping makam-makam tersebut di Tennggarong terdapat peninggalan lain seperti Keraton yang sekarang dijadikan Museum Negri Mulawarman,Provinsi Kalimantan Timur serta Masjid Jami Hasanuddin.

Pengelolaan situs dan benda cagar budaya itu seharusnya melibatkan masyarakat di lingkungannya di samping pemerintah dan masyarakat secara luas. Namun demikian terdapat persepsi yang berbeda dari semua yang berkepentingan terhadap benda dan situs cagar budaya itu. Untuk mengetahui persepsi yang diyakini berbeda itu, maka penulis telah mengadakan pengamatan terhadap perilaku masyarakat di Tenggarong berkaitan dengan pengelolaan situs dan benda cagar budaya itu. Penulis juga mengadakan wawancara dengan masyarakat Tenggarong dari berbagai usia dan pekerjaan yang berbeda dari masyarakat awam, pejabat, aktivis LSM dan lain-lain.

Dalam wawancara kepada masyarakat, tidak semua kuessener itu ditanyakan, tetapi kuessener disesuaikan dengan kedudukan responden, misalnya apa kedudukan responden itu di masyarakat. Ditanyakan kepada semua responden, “Apakah Saudara tahu tentang benda cagar budaya?” para responden pada umumnya mengetahuinya. Namun demikian, pada umumnya mereka beranggapan hanya sekedar mengetahuinya saja. Tidak pernah berusaha untuk lebih memperdalam lagi pengetahuannya itu berkaitan dengan situs dan benda cagar budaya itu. Jika mereka ditanya tentang keberadaan situs dan benda cagar budaya itu, mereka hanya menunjukkan lokasinya saja, jarang yang mengetahui sejarahnya. Memang ada yang ingin mengetahui sejarah dan cerita masa lalu situs dan benda cagar budaya itu, namun itu hanya dari kalangan tertentu seperti pemerintah dan masyarakat yang aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat.

Responden juga mengetahui apa saja situs dan benda cagar budaya yang terdapat di desanya sehingga ini mempermudah penulis untuk menelusurinya. Pengetahuan masyarakat tentang situs dan benda cagar budaya yang terdapat di desanya, hanya sebatas keberadaannya saja sehingga jika pun mereka ditanya bagaimana sejarahnya pastilah merekia akan berkata, “kami tidak begitu mengetahuinya.” Mereka juga tidak begitu peduli tentang perkembangan situs dan benda cagar budaya itu. Mereka sekedar mengetahui keberadaanya.

Kuessener yang lainnya adalah, “Apa pentingnya cagar budaya di desa Anda? Mereka pada umumnya mengatakan bahwa benda dan situs cagar budaya itu dapat memberikan gengsi masyarakat sekitarnya. Ini mereka kaitkan dengan penghormatan para pelaku sejarah masa lalu. Mereka bangga atas kepahlawanan dan perjuangan mereka para sultan dan para pejuang itu. Atas jasa mereka masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka menjadi terkenal. Ini juga dapat mereka jadikan sebagai bukti perjuangan masa lalu mereka itu. Masyarakat awam mengatakan bahwa situs dan benda cagar budaya yang terdapat di lingkungannya itu dapat memberikan nilai lebih dibandingkan desa yang tidak terdapat tinggalan situs dan benda cagar budaya itu. Namun responden dari kalangan pemerintah daerah berpendapat loain. Mereka pada umumnya mengatakan bahwa situs dan benda cagar budaya itu di samping dapat menambah gengsi dan identitas masyarakat setempat, hal itu dapat pula dikembangkan sesuai dengan tata dan aturan pengembangan situs dan cagar budaya itu sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pengembangan situs dan benda cagar budaya itu tentu saja akan disesuaikan dengan pengembangan kawasan budaya dan pariwisata.

Selanjutnya saat ditanyakan kepada responden, “Apa yang Saudara inginkan dengan adanya cagar budaya di desa Anda?” mereka berlainan pendapatnya. Sebagian mereka menginginkan agar situs dan benda cagar budaya dimanfaatkan sebhagaimana mestinya sesuai dengan keberadaan dan fungsinya masing-masing. Pada dasarnya mereka para responden itu menginginkan agar situs dan benda cagar budaya itu dibangun dan dikembangkan. Ada yang mengatakan agar situs itu dipagar, dicungkup, dibaguskan jalan menuju ke lokasi situs atau benda cagar budaya itu. Para aktivis LSM menginginkan agar situs dan benda cagar budaya itu dimanfaatkan sesuai dengan kondisi dan sifatnya masing-masing. Ini seperti diungkapkan oleh Habib Abdul Qadir al-Hasni, 67 tahun, pendiri dan aktivis Majlis Taklim Darur Rahim bahwa situs makam Imam Kesultanan Kutai Kartanegara, Nata Igama perlu dilestarikan. Caranya ialah dengan menghidupkan ziarah dan tablig akbar di situs makam itu. Inilah yang telah dilakukan oleh majlis taklim yang telah beliau dirikan. Kegiatan itu dikemas dalam kegiatan yang dinaungi oleh yayasan yang beliau dirikan atas saran dari Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tenggarong. Kegiatan majlis taklim itu diadakan sebulan sekali pada minggu keempat setiap bulannya.

Kuesioner yang diajukan selanjutnya adalah, “Bolehkan benda cagar budaya itu dibangun, direnovasi atau dilestarikan jika ada yang menginkannya?” jawaban responden dari tahun ke tahun sebenarnya sama, yaitu silahkan saja jika ada yang ingin membangun, apalagi pemerintah. Mereka seakan tidak mempedulikan hal itu. Ini juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengambil jarak apapun terhadap perkembangan situs dan benda cagar budaya itu. Ini juga tercermin dari ungkapan Bapak Haji Syamsuddin, 75 tahun penjaga makam Pangeran Mangku Negara, Pangeran yang mengemban amanat menjalankan roda pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara selama sepuluh tahun saat ditinggalkan oleh Sultan Alimuddin sambil menunggu kedewasaan Sultan Parikesit. Jawaban yang sama juga dilontarkan oleh responden yang lainnya baik dari pemerintahan maupun aktivis LSM. Demikian juga apa yang diungkapkan oleh Bapak H. Nasrun, 74 tahun, pensiunan Dinas Pertanian, tinggal di Tenggarong. Beliau menyatakan, “O, silahkan saja, kami sangat berterima kasih jika ada orang atau instansi yang ingin membangun situs makam atau apapun. Ini justrru akan menambah penghormatan masyarakat setempat bagi peran masyarakat masa lalu sesuai dengan perjuangan para leluhur itu. Artinya masyarakat sekarang menghormati apa yang telah diperjuangkan para sultan dan pembesar kesultanan. Jika pandangan masyarakat demikian, maka selanjutnya tugas pemerintah kabupaten, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. H. Asmidi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengungkapkan bahwa pemerintah siap untuk mengembangkan obyek-obyek wisata termasuk di dalamnya makam-makam kesultanan dan peninggalan lainnya. Namun demikian perlu dipikirkan skala prioritas.

Kuessener berkutnya adalah “Adakah orang lain yang memperhatikan benda cagar budaya itu? Mereka para responden menjawab, “Ya ada”, misalnya ahli waris, Pemerintah Daerah, instansi-instansi pemerintah maupun swasta dan lain-lain. Contohnya adalah ahli waris ahli makam seperti Pangeran Mangku Negara yang ahli warisnya memperebutkan tanah sekitar makam yang sebenarnya dimiliki oleh Kraton sekalipun belum disertifikatkan. LSM juga mempunyai kepentingan yang sama yaitu memamfaatkan situs itu untuk kegiatan yayasannya. Ini diungkapkan oleh Bapak Habib Abdul Qader. Pemerintah Daerah menginginkan agar situs dan benda-benda cagar budaya itu dikelola dengan baik, diinfentarisir dan dilestarikan. Demikian diungkapkan oleh Bapak Ridwansyah, pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara. Pemerintah sifatnya menfasilitasi dan membina. Oleh karena itu Dinas sangat apresiatif terhadap para pekerja pelestari situs dan benda cagar budaya itu.

Lain halnya Masjid Jami Hasanuddin yang pernah dipersengketakan masyarakat karena telah dibangunnya Masjid Agung Kota Tenggarong. Sebagian masyarakat menyarankan agar masjid itu digunakan sebagai pusat kegiatan umat dan pusat perpustakaan saja. Permasalahan waktu itu muncul sekitar tahun 80- han. Namun selanjutnya permasalahan itu dapat diselesaikan dengan baik karena fungsi sesungguhnya yang amat mulia, yaitu wakaf dari Kesultanan Kiutai Kartanegara untuk masyarakat Tenggarong terhadap masjid itu untuk digunakan sebagai tempat ibadah. Demikian apa yang diungkapkan oileh Bapak H. Asmidi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara dan Bapak H. Muhammad Syafei, 54 tahun, Bendahara sementara Masjid Jami Hasanuddin.

Masalah yang berkaitan dengan pertanyaan, “Pernahkah antara seseorang (kelompok) satu dengan orang (kelompok) yang lain saling memperebutkan cagar budaya itu?” Dalam hal ini para responden berbeda jawabannya karena beberapa hal berkaitan dengan obyek kajian atau situs dan benda cagar budaya itu sendiri. Masalahnya amatlah beragam, situs yang satu tidak sama permasalahannya dengan situs yang lainnya. Tetapi terdapat masalah yang hampir sama terutama berkaitan dengan situs makam. Di makam Pangeran Nata Negara terdapat masalah perebutan tanah makam yang dilakukan oleh keluarga al-Marhum. Keluarga al-marhum mengklaim bahwa tanah itu tanah warisan, oleh karena itu yang paling berhak atas tanah itu adalah anak keturunan yang syah, sementara yang mengklaim justru keluarga istri al-marhum yang sebenarnya tidak mempunyai keturunan. Masalah tanah makam Pangeran Nata Negara ini telah diketahui oleh Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang yang biasa dipanggil Tuan Prabu. Masalah ini akan selalu menjadi ganjalan keluarga karena belum disertifikatkan. Begitu juga kompleks pemakaman Sultan Alimuddin yang makamnya diikuti oleh menantunya yang kebetulan seorang ulama kesultanan yang bergelar Nata Igama. Ada beberapa orang yang mengklaim sebagian tanah makam ini sebagai milik mereka. tanah makam ini juga belum disertifikatkan. Karena itu akan menjadi masalah yang berlarut-larut. Tanah makam yang belum disertifikatkan juga adalah makam Pahlawan Awang Long meskpun tidak ada yang mempermasalahkannya. Namun berdasarkan penuturan Ahmad Uni, 37 tahun, juru pelihara makam Awang Long bahwa tanah makam ini adalah tanah makam yang dikelola oleh Kelurahan Sukarame. “Semua orang mengetahuinya,” katanya.

Lain tanah makam, lain pula Keraton yang kini dikelola oleh Bidang Permuseuman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur. Pengelolaan dan managemen permuseuman ini pernah dipermasalahkan oleh Bidang Permuseuman Provinsi Kalimantan Timur dengan Bidang Permuseuman Kabupaten Kutai Kartanegara. Karena belum terdapat titik temu antara keduanya maka untuk sementara waktu masing-masing pihak melakukan coolingdown. Munculnya permasalahn ini menjadi promosi yang baik bagi kalangan masyarakat. Terbutkti pengunjung meningkat tajam yang mencapai 200.000 per tahun. Demikian ungkap Bapak Ridwansyah, 54 tahun, Kepala Tata Usaha Museum Mulawarman, Tenggarong.

Berkaitan dengan kuessener, “Apa pendapat Saudara tentang perebutan cagar budaya itu?” Mereka menjawab bahwa sebenarnya jika ada masalah persengketaan situs dan atau benda cagar budaya itu hendaklah diselesaikan dengan cara bermusyawarah dan dengan cara damai, tidak perlu adu kekuatan fisik karena hal itu akan merugikan semua pihak. Hal-hal yang sangat prinsipil dan menjadi akar masalah hendaklah dicari untuk menyelesaikan masalah dengan tuntas. Contoh kasus perselisihan pemanfaatan adalah Masjid Jami Hasanuddin dan Masjid Agung Tenggarong. Para ulama di tenggarong bersepakat untuk mengakhiri permasalahan itu dengan bantuan Sultan Kutai Kartanegara, Pangeran Prabu Sultan Sulaiman II. Sultan mengatakan agar masjid itu digunakan seperti sedia kala, yaitu untuk beribadah dan mendirikan salat Jumat. Maka masjid yang sempat fakum dari peribadatan sejak tahun 1989 kembali berfungsi seperti yang dititahkan Sultan.

Masalah yang menyangkut museum, selama tidak merugikan semua pihak, maka hendaklah dikelola sesuai dengan perundangan yang berlaku. Rupanya para pengelola museum menyadari benar bahwa keberadaan gedung kraton dan tidak semua pegawai merupakan pegawai Propinsi, maka hal ini agar dikembalikan kepada masing-masing pribadi pegawai bersangkutan. Untuk menunjukkan kebesaran Kerajaan/ Kesultanan Kutai Kartanegara masa lalu, maka usaha yang dilakukan oleh pengelola museum ini adalah dengan cara memisahkan koleksi umum Kalimantan Timur dengan koleksi masa Kesultanan Kutai Kartanegara. Koleksi kesultanan akan didisply tersendiri di gedung kraton, sementara koleksi lainnya akan didisply di gedung yang lain yang kini sedang dibangun.

Masalah tanah sekitar situs yang masih belum disertifikatkan maka usaha yang harus dilakukan adalah dengan menertibkan tanah itu, yaitu dengan cara mengurus sertifikat. Demikian respon yang dikemukakan oleh responden. Pembatasan tanah situs hendklah dipertegas dengan pagar. Untuk itu para responden mengharapkan agar batas tanah siutus dipertegas dan dipagar keliling.

Pertanyaan “Jika Saudara mempunyai pengaruh, apa yang hendak Saudara lakukan terhadap cagar budaya yang diperebutkan itu?” yang diajukan kepada responden sangat mengagetkan karena mereka tidak menyangka akan diberi pertanyaan seperti itu. Bapak Habib Abdul Qader, Ketua Yayasan Pendidikan dan Dakwah Darur Rahman mengatakan bahwa apabila kami menjadi orang yang berpengaruh, maka kami akan mengelola situs-situs dan benda cagar budaya itu untuk kepentingan umat. Beliau akan membangun sarana prasarana untuk mendukung keberadaan situs sehingga situs dan benda cagar budaya itu menarik bagi masyarakat yang mengunjungiayan. Tetapi karena beliau menjadi pelopor beridirnya yayasan yang bermaksud menghidupkan dan memanfaatkan situs dengan kegiatan religi, maka beliau akan memperkenalkan bangtunan-bangunan keagamaan itu kepada halayak dan mengajak mereka untuk berwisata religi di Tenggarong, misalnya salat di masjid Jami Hasanuddin yang merupakan masjid kuna pertama di Kaimantan Timur, lalu mereka diajak untuk berziarah ke makam-makam sultan dan para ulama yang membantu penyebaran Islam di Kutai Kartanegara.

Responden lain mengatakan hal yang hampir sama sesuai dengan kepakaran dan minatnya. Tetapi intinya bahwa situs itu akan dilestarikan dan diperbaiki bagian-bagian dan hal-hal yang rusak. Itu tentuya berkaitana dengan penghormatan kepada para leluhur yang telah membangun Kutrai masa lalu.

Masalah yang terakhir adalah: “Menurut Saudara, bagaimana pandangan masyarakat sekitar terhadap perlakuan terhadap cagar budaya itu?” Masyarakat umum mengatakan bahwa perlakuan terhadap situs sangat beragam. Pemerintah daerah mengatakan bahwa situs itu hendaknya dikelola dengan cara-cara standar yang dilandaskan atas undang-undang cagar budaya. Jika bisa maka situs-situs dan benda cagar budaya itu dikelola berdasarkan atas kepentingan bersama dan atas dasar fungsi dan keudukannya, kepentingan masyarakat, terutama masyarakat setempat.

Para awam mengatakan perlakukann terhadap situs ada yang telah baik, namun banyak kekurangannya. Makam-makam kesultanan belum memiliki liflet yang dapat menganatarkan kepada pengetahuan masyarakat luas tentang keberadaan situs itu. Daftar kunjungan pun belum ada. Maka hendaklah hal itu diadakan. Pengunjung lain, Susanti, 17 tahun siswa SMA di Tenggarong mengingatkan agar pengunjung situs tidak menyalahgunakan situs-situs bersejarah itu untuk kemaksiatan. Jika hal itu dilakukan maka akan mencemarkan nama baik para sultan yang telah dikubur di situs-situs itu atau tempat lain yang ada di Tenggarong.


4. Wisata Religi: Konsep Pengembangan dan Pemanfatan Tinggalan Budaya dan Arkeologi di Tenggarong

Wisata yang biasa diartikan melancong adalah sebuah perjalanan yang bertujuan untuk mengunjuni suatu obyek wisata yang diinginkan. Sementara itu, religi adalah sebuah kata yang dapat diartikan sebagai kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok. Wisata religi ialah melancong menuju suatu tujuan dan obyek wisata yang diiringi upacara-upara keagamaan.

Berdasarkan data yang telah diuraikan, maka dapat dimengerti bahwa sekalipun masyarakat Tenggarong sangat menghargai tinggalan budaya masa lalu, namun mereka belum banyak mendapatkan manfaat yang lebih dari sekedar mengetahuinya saja. Mereka juga mengharapkan adanya perubahan dengan pengembangan tinggalan-tinggalan budaya yang ada.

Dari pemahaman itu maka akan didapat konsep tentang apa saja yang termasuk aktivitas religi dalam kegiatan wisata ini. Aktivitas religi dapat diuraiakan sebagai berikut:

a. Ziarah, kata ini berasal dari bahasa Arab, “zăr – yazū – ziyăratan” yang artinya “mengunjungi, berziarah” kubur. Ziarah kubur merupakan sunah Nabi Muhammad SAW untuk mengingatkan peziarah itu bahwa dirinya juga akan meninggal dan dikuburkan sebagaimana orang yang telah dikuburkan telebih dahulu itu. Dengan ziarah itu maka mereka manusia akan selalu mengingat kematian yang pasti akan dating menyambutnya. Firman Allah, “kull nafs dzăiqat al-maūt” yang artinya, “bahwa setiap yang bernyawa itu akan mengalami ajalnya”.

b. Tahlil, kata ini berakar dari bahasa Arab “hallal – yuhallil – yuhallil” yang artinya mengucapkan kalimat “lă ilăh illallăh” yang artinya “tiada Tuhan selain Allah” secara berulang-ulang. Membaca tahlil juga dirangkai dengan kalimat-kalimat lain baik yang bersumber dari al_Quran maupun hadits Rasul. Maksud dari tahlil ini adalah untuk mendoakan si-mati yang dimakamkan di sutu kuburan. Ada juga tahlil yang dilakukan pada malam-malam seminggu seseorang meninggal dunia atau waktu-waktu yang biasa untuk tahlil. Dengan tahlil itu diharapkan si-mati akan mendapatkan ampunan Allah SWT.

c. Salat, kata ini juga beradal dari bahasa Arab “salla – yusalli – salătan” yang artinya “berdoa” oleh karena dalam kamus bahasa Inggris, sallă diartikan “pray” yang mempunyai arti yang sama, yaitu berdoa. Salăt juga diartikan “mendoakan Nabi Muhammad SAW. Doa ini dieknal dengan istilah “salwat”. Salat dapat dilakukan di tempat ibadah seperti masjid atau musalla. Salat yang dimaksud bias salat wajib maupun salat sunnat. Wisata religi demikian dimaksudkan untuk salat di masjid atau musalla kuna. Kegiatan demikian sesungguhnya untuk memeberi kesempatan para wisatawan religi untuk beribadah di tempat ibadah yang dibangun oleh para pembesar keultanan maupun ulama terkenal masa lalu. Dengan demikian mereka juga dapat memanfaatkan bangunan tempat ibadah yang telah dibangun oleh para pendahulu. Ini dapat berarti menjadi amal jariah “yang selalu mengalir pahalanya bagi yang mengusahakanna”. Di samping itu mereka juga akan mengagumi bangunan yang mereka saksikan itu.

d. Ceramah, ialah nasehat yang disampaikan oleh seseorang yang alim (pintar) kepada orang lain yang berisi tuntunan agama agar mereka hdup dalam keselamatan di dunia dan akhirat. Dalam ceramah biasanya diajarkan ilmu-ilmu yang berkeitan dengan ajaran Islam. Dalam kaitannya dengan wisata religi, maka ceramah dapat dilakkan di situs atau tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan, misalnya masjid, musalla, makam, dan tempat-tempat lainnya. Ceramah dapat pula berisi tentang pengetahuan berkeitan dengan kunjungan situs dan tinggalan arkeologis yang lainnya agar masyarakat (penunjung) dapat pemahaman yang baik tentang itu. Hendaklah dalam ceramah juga diampaikan tenang baaya syirik, khurafat dan tahayyul agar mereka terhindar dari kekufuran dan terhindar dari kerusakan iman mereka.

e. Dzikir, kata ini juga bersumber dari bahasa Arab “dzakar – yadzkur – dzikr” yang artinya “mengingat, menyebut”, maksudnya adalah mengingat dengan cara menyebut asma (nama=nama) Sang Chalik, Allah SWT. Nama-nama Allah yang tercantum dalam Al-Quran ada 99 (sembilan puluh Sembilan yang tersebar di seluruh surat-suratnya. Dzikir juga dapat dilakukan dengan membaca ayat-ayat al-Quran atau hadits berupa doa yang pendek-pendek dan mudah dihafal, misalnya kata “subhănallăh, wa al-hamd lillăh, wa lă ilăh ill allăh wa allăh akbar, lă haul wa lă quwwat illă bi allăh al-“aliyy al-‘adhĩm” yang artinya “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, dan Dialah Yang Maha Agung, tiada pula daya dan upaya kecuali atas izin-Nya”.

f. Tadabbur, kata ini juga berasal dari bahasa Arab “dabbar – yudabbir – tadabbur” yang mempunyai arti “merenungkan, mengambil hikmah, menganalisa” kejadian alam. Artinya seseorang berusaha untuk memahami kejadian-kejadian dan peristiwa alam, seperti kematian agar mereka senantiasa menginat Allah SWT. sehingga mereka selalu menjalankan kebajikan karena mereka juga akan mengalami hal sama dengan mereka yang sudah meninggal, atau mungkin mereka akan mengalami kejadian yang sangat luar biasa, misalnya tsunami, gempa bumi, kebakaran dll. Tadabbur intinya adalah untuk memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan kejadian alam agar mereka mensyukuri nikmat Allah.

g. Tadarrus, kata ini juga berasal dari bahasa Arab “tadarras – yatadarr – tadarrus” yang artinya menderas, selalu membaca dengan tertib ayat-ayat al-Quran. Tadarrus dapat dilakukan di dalam masjid kuna, aula pemakaman dll. Tadarrus itu biasanya diniatkan untuk mendoakan si-mati atau siapa saja dengan niat lillăh ta’ălă karena Allah semata.

Itulah kegiatan yang dapat dilakukan saat wisata religi di situs-situs atau tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan. Sebenarnya semua amalan itu sudah biasa dilakukan oleh para peziarah secara perorangan di situs-situs dan tinggalan arkeologis yang bersifat keagamaan tersebut. Namun demikian, kebiasaan itu mungkin tidak berlaku di situs atau tinggalan arkeologis di tempat yang lain. Di Kalimantan Timur, amalan seperti itu tidak begitu popular sehingga makam-makam para sultan dan para auliya Allah tidak begitu ramai diziarahi oleh masyarakat. Untuk itu maka masyarakat perlu diberi pencerahan tentang hal itu.

Di samping diberi pencerahan tentang amalan-amalan keagamaan, para pengambil kebijakan kebudayaan dan pariwisata juga perlu mempersiapkan saran dan prasarana dalam lingkup tinggalan budaya dan arkeologis di tempatnay bedinas. Persiapan itu untuk menarik minat wisatawan yang tertarik akan tinggalan budaya dan arkeologis keagamaan itu. Sebagai persiapan diperlukan:
a. Penggalian informasi tentang siapa yang berperan aktif dalam penciptaan atau pembuatan konsep tinggalan dan siapa tokoh yang dimakamkan.
b. Penataan tinggalan budaya dan arkeologi yang dipersiapkan untuk tujuan obyek wisata religi.
c. Pembersihan lingkungan tinggalan budaya dan arkeologis yang dujadikan obyek wisata.
d. Pengamanan bagi wisatawan yang melakukan wisata religi di wilayah obyek wisata religi.
e. Persiapan peralatan penunjang wisata religi, misalnya alat-alat pengeras suara, ruang pertemuan, dll.
f. Papan-papan pengumuman dan denah serta petunjuk-petunjuk arah menuju ke obyek wisata.
g. Penawaran kuliner.
h. Persiapan rute-rute perjalanan wisaa religi, misalnya apakah yang pertama kali harus dikunjungi jika lokasi tinggalan budaya dan arkeologi itu sampai pada yang terakhir kali.
i. Persiapan materi wisata religi, jika perlu dicetak dan dapat dipedomani oleh wisatawan.
j. Penawaran cindramata khas wilayah obyek wisata religi.

Semua itu tentu melibatkan pemerintah, masyarakat, LSM dan lainnya. Setelah amalan dan semua komponen tinggalan budaya dan arkeologis yang bersifat keagamaan itu telah dipenuhi, maka diperlukan komitemen pemerintah daerah untuk mengembangkan apa yang disebut dengan konsep wisata religi di kawasan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.

Wisata religi yang demikian akan ditingkatkan terus sejalan dengan keinginan masyarakat setempat. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara merespon dan berkeinginan serta melakukan pembenahan dan mengkonsep “wisata Religi” di Tenggarong. Tentu saja mereka harus bekerjasama dengan masyarakat setempat untuk meningkatkan wisata religi itu dengan konsep ibadah di Masjid Jamik Hasanuddin dan ziarah ke makam suktan-sultan Kutai Kartanegara serta para pembesar kesultanan dan napak tilas keagungan kesultanan itu yang ditandai dengan benda-benda bersejarah yang disimpan di Museum Negeri Mulawarman, Tenggarong. Ini juga sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Majlis Taklim Darur Rahman itu.


5. Penutup

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa di Tenggarong terdapat tinggalan budaya dan arkologis yang bersifat keagamaan, yaitu masjid, makam, dan istana. Selama ini tinggalan-tinggalan budaya dan arkeologis itu belum optimal pengelolaannya. Wisatawan tidak mendapat informasi yang lengkap tentang tinggalan budaya dan arkeologis itu dan tokoh-tokoh yang berperan di belakangnya serta tokoh-tokoh yang dimakamkan itu serta bagaimana sebenarnya peran mereka di masa hidupnya. Oleh karena itu diperlukan suatu konsep yang dapat meningkatkan manfaat tinggalan budaya dan arkeologis itu bagi masyarakat luas. konsep itu harus didasarkan atas konsep wisata religi yang dapat menarik minat masyarakat dalam pemanfaatan obyek wisata itu.


Daftar Pustaka

Adham, D. 2003. Salasilah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan Keprotokolan Pemerintah Daerah Kabipaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Munawwir Sadzali. 1986. Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.

Sholihjn, Salam 2010. Ritual Kematian Islam Jawa: Pengaruh Tradisi Lokal Indonesia dalam Ritual Kematian Islam. Yogyakarta: Narasi.

Sitangganggang, S.R.H. (Editor). 2006. Pesona Budaya dan Alam Kutai Kartanegara. Tenggarong: Humas dan Protokol Sekretariat Kabupaten Kutai Kartanegara.

Tim Penelitian Arkeologi. 2006. Laporan Hasil Peneltian Arkeologi di Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Tidak terbit.

——–. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi Publik di Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara. Tidak terbit.

Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: Hidakarya.

 

*MAKALAH PIA 2011

Older Entries