Muhammad Chawari
Balai Arkeologi Yogyakarta


Abstrak

Nol kilometer merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut suatu tempat yang terletak di sebelah utara alun-alun utara Yogyakarta. Di sekitar nol kilometer atau tepatnya di pusat kota Yogyakarta terdapat beberapa bangunan yang mendapat pengaruh asing yaitu bangunan indis. Bangunan-bangunan tersebut pada masanya mempunyai fungsi sesuai dengan peran dan kedudukannya. Namun dewasa ini bangunan-bangunan tersebut telah mengalami berbagai perubahan, terutama perubahan dalam hal pemanfaatannya. Selanjutnya, pengelolaan seperti apa yang sebaiknya dilakukan.

Kata kunci: Pemanfaatan, bangunan indis, dan Yogyakarta



UTILIZATION OF BUILDINGS INDIES
IN AROUND ZERO OF KILOMETER YOGYAKARTA


Abstract

Zero kilometer is the term used referring to a place located at the north of the north square of Yogyakarta. In the vicinity of zero kilometer or the city center there are some buildings with traces of European influence on its architecture, known as “indies buildings”. Inthe past, those buildings had their own function and the role. Today they have undergone many changes, especially changes in utilization. This paper will discusses about the proper building management applied on those buildings.

Key words: Utilization, indies buildings, and Yogyakarta


PENDAHULUAN

Istilah nol kilometer ini sebenarnya terdapat di beberapa kota di Jawa. Khusus di Yogyakarta istilah ini menjadi sangat istimewa karena pada arah yang membujur utara-selatan merupakan bagian dari sumbu “keramat” yang menghubungkan antara kraton Yogyakarta dengan Gunung Merapi secara imajiner. Sumbu “keramat” inilah yang selama ini diyakini mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dewasa ini istilah nol kilometer dipakai untuk menyebut suatu tempat yang terletak di perempatan dekat Benteng Vredeburg Yogyakarta. Di tengah-tengah perempatan inilah dahulu terdapat “bundaran” tempat air mancur, sehingga tempat ini dahulu sering disebut dengan istilah “perempatan air mancur”.

Perempatan nol kilometer ini merupakan salah satu lokasi yang tersibuk dan terpadat aktivitasnya di kota Yogyakarta. Dikatakan demikian karena kawasan ini merupakan “jembatan” antara kawasan kompleks kraton Yogyakarta sebagai tempat wisata budaya dengan kawasan Malioboro sebagai tempat wisata belanja (souvenir) yang di dalamnya termasuk wisata kuliner. Selain itu, kawasan ini merupakan jantung kota Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya warga Yogyakarta maupun pendatang yang sering memanfaatkan kawasan ini untuk berbagai kegiatan. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan di kawasan ini dan melibatkan banyak orang adalah demonstrasi. Demonstrasi yang dilakukan di kawasan ini pada umumnya terkait dengan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak rakyat. Juga demo yang dilakukan akhir-akhir ini terkait dengan undang-undang keistimewaan Yogyakarta. Akhir-akhir ini kawasan tersebut juga sering digunakan sebagai tempat pentas seni para seniman Yogyakarta dan sekitarnya.

Pentingnya kawasan ini di masa lalu dapat dibuktikan dengan banyaknya peristiwa yang terjadi di kawasan ini. Terbukti di sudut timur laut (masuk kawasan Benteng Vredeburg) dibuatkan tugu peringatan peristiwa 1 Maret. Jauh sebelum itu, kawasan ini sering menjadi ajang perebutan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap Yogyakarta. Salah satu yang ingin menguasai kawasan ini adalah pihak Belanda. Sempat terjadi beberapa kali gesekan kepentingan antara Belanda dengan pihak penguasa lokal yaitu kraton Yogyakarta. Dengan adanya tarik ulur antara kedua pihak menandakan bahwa kawasan ini dianggap mempunyai nilai tambah bagi yang dapat menguasainya.

Kawasan sekitar perempatan ini menyimpan beberapa tinggalan arkeologis yang termasuk dalam katagori benda cagar budaya (BCB) yang monumental sifatnya. Istilah monumental dipakai untuk menunjukkan sumberdaya arkeologi yang berupa bangunan, baik bangunan tempat tinggal, bangunan perkantoran maupun bangunan-bangunan lain yang tidak bisa dipindahkan tanpa merubah konteks dan makna kulturalnya. Dengan sifat yang demikian ini menandakan bahwa objeknya tidak dapat dipindah-pindahkan tanpa mengalami perubahan, baik perubahan fisik maupun non-fisik berkaitan dengan perubahan makna BCB dimaksud. BCB yang ada di kawasan ini kebanyakan merupakan bangunan tinggalan Belanda yang sering disebut bangunan indis. Istilah ini dipakai untuk menyebut bangunan-bangunan yang dibuat dan dipakai oleh orang-orang Belanda yang mempunyai ciri-ciri berupa perpaduan antara bentuk bangunan berciri Belanda dengan bentuk bangunan lokal tradisional (Soekiman, 2000: 6 – 7). Terkait dengan keberadaan bangunan indis tersebut, terlihat bahwa bangunan-bangunan tersebut sekarang ini telah mengalami berbagai perubahan dari aslinya. Untuk itu, agar bangunan-bangunan tersebut dapat dijaga dan dilestarikan keberadaannya, bagaimana merancang dan mengatur pengelolaannya. Secara teoritis, pengelolaan BCB pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua kegiatan yaitu pelestarian dan pemanfaatan. Khusus dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu bentuk pengelolaan bangunan indis yang berupa pemanfaatan bangunan indis.


BANGUNAN INDIS DI SEKITAR NOL KILOMETER

Di sekitar nol kilometer Yogyakarta terdapat beberapa bangunan indis. Bangunan-bangunan tersebut pada masa pernah memegang peranan penting, terutama kaitannya dengan tumbuhkembangnya Kota Yogyakarta. Beberapa bangunan tersebut terdiri atas:

  1. Sociteit atau Kamar Bola atau Senisono. Bangunan ini secara administratif terletak di Jl. A. Yani No. 1 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. III, Kampung Ngupasan, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  2. Gedung Karesidenan. Objek ini secara administratif terletak di Jl. A. Yani No. 3 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. 3, Kampung Ngupasan, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  3. Gereja Margomulyo. Objek ini secara administratif terletak di Jl. A. Yani No. 5 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 5, RW. 2, Kampung Beskalan, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  4. Benteng Vredeburg. Bangunan ini secara administratif terletak di Jl. A. Yani No. 6 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 21, RW. 6, Kampung Ketandan, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  5. Kantor Pos Besar. Bangunan ini secara administratif terletak di Jl. Panembahan Senopati No. 2 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. 1, Kampung Yudonegaran, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  6. Gedung Bank Indonesia. Bangunan ini secara administratif terletak di Jl. Panembahan Senopati No. 4 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. 1, Kampung Yudonegaran, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  7. Bangunan Bruderan FIC. Bangunan ini secara administratif terletak di Jl. Panembahan Senopati No. 18 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. 1, Kampung Yudonegaran, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  8. Gereja Katolik. Objek ini secara administratif terletak di Jl. Panembahan Senopati No. 22 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. 1, Kampung Yudonegaran, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  9. Gedung Sekolah SMPN 2. Objek ini secara administratif terletak di Jl. Panembahan Senopati No. 28 – 30 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. 1, Kampung Yudonegaran, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  10. Gedung Sekolah SD Marsudirini 1 dan 2. Objek ini secara administratif terletak di Jl. Panembahan Senopati No. 32 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. 1, Kampung Yudonegaran, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  11. Bangunan Rumah Tinggal. Bangunan ini secara administratif terletak di Jl. Panembahan Senopati yaitu berada dalam kawasan Taman Pintar dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 21, RW. 6, Kampung Ketandan, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Sekarang ini bangunan tersebut jumlahnya hanya tinggal dua, sedangkan lainnya telah dibongkar.
  12. Gedung KONI DIY. Secara administratif Gedung KONI Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di Jl. Trikora No. 4 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 38, RW. XI, Kampung Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  13. Gedung Bank Nasional Indonesia (BNI) 1946. Bangunan ini secara administratif terletak di Jl. Trikora No. 2 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 38, RW. XI, Kampung Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  14. Gedung Radio ARMA 11. Objek ini secara administratif terletak di Jl. KHA. Dahlan No. 3 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 38, RW. XI, Kampung Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
  15. Bekas Kantor LKBN Antara. Bangunan ini secara administratif dahulu terletak di Jl. KHA. Dahlan No. 2 dan secara kewilayahan berada di lingkungan RT. 9, RW. 3, Kampung Ngupasan, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.


SEJARAH BANGUNAN INDIS DI PUSAT KOTA YOGYAKARTA

Perempatan Benteng Vredeburg sebagai pusat kota Yogyakarta merupakan lokasi yang sangat strategis. Di sekitar lokasi ini dijumpai beberapa bangunan lama yang pada umumnya dapat dihubungkan dengan kraton Yogyakarta. Beberapa bangunan yang ada merupakan salah satu unsur pembentuk kota Yogyakarta. Yang dimaksud dengan sejarah keberadaan BCB adalah sejarah didirikannya sebuah bangunan.

Bangunan pertama adalah Benteng Vredeburg. Bangunan benteng pertahanan Belanda ini dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwana I (selanjutnya cukup disingkat HB). Pada awalnya benteng ini bernama Rustenburg (Benteng Peristirahatan) dan didirikan sekitar tahun 1760-an dengan bahan semi permanen yaitu glugu (batang pohon kelapa). Lima tahun kemudian kondisi benteng diperkuat dengan bahan permanen atas persetujuan dan bantuan Sultan HB I, kegiatan ini memerlukan waktu yang cukup panjang yaitu hingga tahun 1788 (Abbas, 2001: 51). Dengan demikian pembangunan benteng ini memerlukan waktu yang cukup panjang yaitu sekitar 28 tahun. Lamanya pembangunan ini kemungkinan memang disengaja oleh HB I dalam rangka untuk memperpanjang waktu agar kekuatan Kompeni tidak segera dapat menguasai Kota Yogyakarta (Hardjowidjono, 1984/1985: 48 – 49). Pada tahun 1788 – 1807 bangunan ini dikelola oleh VOC dan pada tahun 1807 – 1811 dikelola oleh Koninklijk Holland karena VOC mengalami kebangkrutan. Pada tahun 1811 – 1816 benteng ini dikuasai oleh Inggris dan antara tahun 1845 – 1942 objek ini dikuasai kembali oleh Belanda. Pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) benteng ini digunakan untuk markas dan tempat tahanan perang. Sejak tahun 1945 oleh pemerintah RI dipakai sebagai asrama BKR dan TKR. Setelah terjadinya peristiwa serangan umum 1 Maret 1949, benteng ini digunakan untuk markas dan permukiman militer. Kemudian pada tahun 1977 pengelolaannya diserahkan dari pihak Hankam ke Pemda Yogyakarta, dan pada tahun 1980 hingga sekarang pengelolannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan difungsikan sebagai Museum Benteng Vredeburg (Wahyu, 2000: 10 – 11).

Pada masa HB I, selain mendirikan benteng pertahanan juga dibangun gedung Karesidenan. Gedung ini terletak di depan dan berhadapan langsung dengan benteng Vredeburg. Gedung Karesidenan dibangun pada tahun 1824. Masyarakat Yogyakarta sering menyebutnya dengan istilah Loji Kebon atau Gedung Agung (Hardjowidjono, 1984/1985: 48 – 49). Objek ini merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan. Bangunan ini dibangun selama kurang lebih 6 tahun. Kompleks ini pertamakali dibangun dengan tujuan untuk gedung karesidenan. Pada tahun 1867 pernah rusak akibat adanya gempa bumi dan dipugar kembali pada tahun 1869. Pada masa pendudukan Jepang bangunan ini digunakan untuk kediaman Koochi Zimmukyoku Tyookan. Setelah Indonesia merdeka yaitu mulai tanggal 6 Januari 1946 dipakai sebagai istana kepresidenan, yaitu setelah ibu kota dipindah ke Yogyakarta (Wahyu, 2000: 6 – 7).

Pada waktu yang hampir bersamaan dibangun beberapa bangunan indis lain, yaitu: Gedung Senisono. Bangunan ini didirikan oleh Belanda pada tahun 1882 dengan diberi nama Societet De Vereeniging Djokdjakarta dan berfungsi sebagai tempat hiburan bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Yogyakarta. Nama lain gedung ini adalah “Kamar Bola” atau “Gedung Jenewer”. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini diberi nama Balai Mataram. Pada tanggal 9 – 11 November 1945 di tempat ini diselenggarakan Kongres Pemuda Indonesia I. Pada tanggal 25 dan 27 November 1945 bagian depan bangunan ini dibom oleh pesawat Inggris, sehingga yang tersisa hanya bagian belakang saja. Kemudian pada tahun 1952 nama Balai Mataram diganti dengan istilah Senisono dan difungsikan sebagai gedung bioskop hingga tahun 1965 (Wahyu, 2000: 5 – 6). Dewasa ini bangunan tersebut telah dijadikan satu kompleks masuk dalam kawasan Gedung Karesidenan yang menjadi hak milik negara. Sementara itu, ada bekas gedung LKBN ANTARA yang terletak di sebelah utara BNI. Objek ini fungsi dan tahun pendiriannya belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan sejaman dengan bangunan-bangunan kolonial lain yang ada di sekitarnya. Bangunan tersebut dahulu pernah digunakan sebagai Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan pernah pula untuk Kantor LKBN ANTARA. Dewasa ini pengelolaannya dijadikan satu dengan Gedung Karesidenan yang menjadi hak milik negara. Berikutnya adalah Gedung Bank Nasional Indonesia (BNI). Gedung ini belum diketahui secara pasti kapan pertamakali dibangun. Pada masa pendudukan Belanda gedung ini digunakan sebagai kantor asuransi yaitu Nill Mastschappij (Nillmij). Kemudian pada masa penjajahan Jepang bangunan ini difungsikan sebagai kantor radio Jepang yaitu Hoso Kyoku. Selanjutnya pada masa revolusi dimanfaatkan untuk kantor Radio Republik Indonesia (RRI). Dewasa ini bangunan tersebut digunakan sebagai Kantor Bank Nasional Indonesia (BNI 1946) (Wahyu, 2000: 4). Selain itu terdapat Gedung Bank Indonesia (BI) yang pada awalnya diberi nama Javansche Bank dan didirikan oleh Belanda, namun belum tahun secara pasti tahun pendiriannya. Ada pula Gedung Kantor Pos yang juga merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Bangunan ini belum diketahui secara pasti kapan pembangunannya. Bangunan ini dahulu pernah digunakan untuk kantor PTT (pos, telephone, dan telegraph), dan sekarang ini difungsikan sebagai gedung atau kantor pos (Wahyu, 2000: 2 – 3). Di sebelah selatan gedung BNI terdapat sebuah bangunan indis yaitu yang sekarang difungsikan sebagai gedung KONI DIY. Bangunan ini fungsi dan tahun pendiriannya belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan sejaman dengan bangunan-bangunan kolonial lain yang ada di sekitarnya.

Sementara itu terdapat pula bangunan peribadatan yaitu gereja. Geraja ini diberi nama Gereja Margomulyo. Gereja Margomulyo merupakan warisan dari Indischekerk. Pembangunan gereja ini atas perintah dari Gubernur Jenderal Belanda pada pertengahan abad XVIII yang menugaskan opster G.R. Lavalette dari Semarang untuk memimpin pembangunan gereja. Secara nyata gereja ini dibangun pada tanggal 15 Oktober 1853 yang diawali dengan pengumpulan bahan-bahan, pembuatan gambar, dan rancangan anggaran oleh Ir. P.A. van Halm. Dalam kegiatan ini pihak kraton Yogyakarta (HB VII) juga membantu secara finansial. Gereja ini mulai dimanfaatkan setelah diresmikan penggunaannya pada tanggal 15 Oktober 1857. Secara fisik bangunan ini telah dua (2) kali mengalami perbaikan yaitu tahun 1882 dan 1987. Perbaikan pertama (1882) berupa penggantian atap, semula dari genteng diganti dengan seng. Dewasa ini bangunan gereja dikelola oleh Majlis Jemaat Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Margomulyo (Anonim, 1999: 9). Objek ini terletak di sebelah utara Gedung Negara sekarang ini.

Selain tempat peribadatan, terdapat dua bangunan yang sekarang difungsikan sebagai bangunan pendidikan yaitu sekolah. Yang pertama adalah Gedung Sekolah SD Marsudirini 1 dan 2, merupakan bangunan peninggalan Belanda yang kondisinya masih dalam keadaan baik dan terawat. Secara arsitektural, bangunan ini bergaya indis yaitu ciri Eropa yang dipadukan dengan iklim setempat yaitu tropis. Kedua Gedung Sekolah SMPN 2 yang terletak di sebelah baratnya. Pada masa Belanda, bangunan ini difungsikan sebagai rumah tinggal dan pada masa kemerdekaan RI dipergunakan sebagai pemancar siaran RRI secara rahasia (Wahyu, 2000: 38 – 39). Juga terdapat bangunan Indis yaitu bangunan Bruderan FIC sekarang ini berada di bawah pengawasan dan milik Yayasan Pangudiluhur Yogyakarta.

Selain bangunan Indis terdapat sebuah bangunan dari pengaruh lokal yaitu bangunan tradisional Jawa. Bangunan tersebut sekarang difungsikan sebagai Museum Negeri Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan ini dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwana VIII oleh Java Instituut pada tahun 1866 J atau 1935 M. Pembangunan ini ditandai dengan sebuah sengkalan yang mempunyai bentuk dua buah, yaitu sengkalan lamba yang berbunyi kayu winayang ing brahmana buda dan sengkalan memet berupa relief seorang brahmana berpakaian sederhana yang sedang memainkan sebatang kayu (Pujianta, 1988: 40).

Selanjutnya di sekitar istana dibangun kampung-kampung tempat tinggal para pangeran dan kaum bangsawan, serta abdi dalem kraton. Di sekitar kraton Yogyakarta terdapat kurang lebih 44 nama toponim yang berhubungan nama dalem pangeran dan bangsawan. Nama-nama kampung tersebut antara lain Kadipaten, Suryoputran, Ngadisuryan, Pakuningratan, Panembahan dll (Tim Pengkajian, 2004: 66 – 87). Selain itu terdapat beberapa nama kampung yang berada di sekitar nol kilometer Yogyakarta tempat berdirinya bangunan-bangunan yang termasuk dalam BCB. Kampung-kampung tersebut adalah Kampung Kauman (toponim keahlian abdi dalem), Kampung Ngupasan (dari kata upas atau pegawai) (Tim Pengkaian, 2004: 112), Kampung Ketandan (dari kata tanda atau penarik pajak) (Tim Pengkaian, 2004: 137), Kampung Yudonegaran (tempat tinggal KPH. Yudonegoro III) (Tim Pengkaian, 2004: 71).


PEMANFAATAN BCB MENURUT UURI NO. 11 TAHUN 2010

Memanfaatkan kembali BCB atau revitalisasi telah diatur di dalam UURI No. 11 Tahun 2010 pada bab VII pasal 82. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: “Revitalisasi cagar budaya harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mempertahankan ciri budaya lokal”. Keduanya (melestarikan dan memanfaatkan) diibaratkan sebagai sebuah mata uang, antara sisi yang satu dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

Memanfaatkan kembali sumberdaya arkeologi merupakan suatu hal yang tidak kalah pentingnya dengan melestarikan. Terkait dengan realisasi pemanfaatan dalam undang-undang tersebut pada pasal 85 ayat 1 disebutkan bahwa: “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata”. Dari dasar hukum tersebut, secara operasional pemanfaatan BCB dapat diringkas menjadi lima, yaitu: agama, sosial dan pariwisata, pendidikan dan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kebudayaan. Uraian pemanfaatan secara lengkap adalah sebagai berikut :

a. Agama
Bangunan indis yang berhubungan erat dengan agama adalah dengan ditemukannya bangunan peribadatan. Bangunan peribadatan bercirikan indis adalah gereja. Terdapat dua gereja, yaitu Gereja Katolik St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji dan Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Margomulyo. Pemanfaatan bangunan-bangunan tersebut yang dapat dikaitkan dengan agama dapat dijelaskan bahwa paling tidak terdapat sebuah manfaat yang dapat diambil yaitu terkait dengan sejarah masuk dan berkembangnya pengaruh agama Kristen Protestan dan Katolik di Indonesia yang dibawa oleh orang-orang Eropa. Tidak diragukan lagi bahwa masuknya pengaruh agama Kristen Protestan dan Katolik ke kota Yogyakarta seiring dengan masuk dan datangnya orang-orang asing ke kota tersebut.

b. Sosial dan Pariwisata
BCB yang dapat dimanfaatkan dalam kaitannya dengan kepentingan sosial dan pariwisata dapat dijelaskan bahwa bangunan indis yang terdapat di kota Yogyakarta secara syah dimiliki masyarakat, pemerintah, maupun kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu, mereka selaku pemilik bangunan perlu pemahaman yang cukup agar kelestariannya lebih terjaga. Pengelolaan terhadap bangunan tersebut amat penting, sebab pemilik bangunan merupakan ujung tombak pelestarian dan pemanfaatan. Dengan pemahaman yang meningkat, partisipasi pemilik bangunan diharapkan dapat terlibat dalam manajemen pengelolaan warisan budaya. Sementara itu, bangunan-bangunan indis tersebut salah satunya dapat difungsikan pula sebagai objek dan daya tarik wisata (ODTW). BCB tersebut dapat menjadi dan sekaligus menciptakan landasan bagi pertumbuhan pariwisata, sebaliknya pariwisata mampu menciptakan dana untuk melestarikan BCB. Optimalisasi nilai BCB akan menjadikan primadona yang dapat memberikan kontribusi peningkatan kualitas hidup pemilik bangunan. Namun keuntungan jangka pendek dan kepentingan kelompok tertentu seringkali menjadi prioritas, sehingga menyebabkan degradasi atau penurunan kualitas bahkan musnahnya BCB dimaksud (Soeroso, 2007: 2 – 3).

c. Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pemanfaatan bangunan indis yang dikaitkan dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah merupakan identitas suatu budaya pada daerah tertentu, misalnya: bangunan indis di kota Yogyakarta. Identitas budaya tersebut dapat diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya melalui aktivitas pendidikan. Dalam kegiatan seperti inilah BCB dapat berperan dan berfungsi sebagai sarana pewarisan generasi tua ke generasi muda. Kunjungan ke sebuah museum ataupun ke situs arkeologi tertentu dapat juga dikatakan berhasil menanamkan pemahaman kesejarahan pada siswa-siswa sekolah yang dapat dimulai sejak usia dini (Cleere, 1989: 9). Pada tataran berikutnya adalah bangunan-bangunan tersebut yang banyak terdapat di kota Yogyakarta telah menjadi ciri khas kota tersebut. Keberadaan bangunan-bangunan tersebut dapat dikaitkan dengan sejarah tumbuh dan berkembangnya kota Yogyakarta di masa lampau, namun dapat juga dikaitkan dengan perjuangan dan perlawanan masyarakatnya terhadap pengaruh asing (Belanda). Kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai bahan pengajaran pada jenjang pendidikan formal tertentu. Jenjang pendidikan yang dimaksud mulai dari tingkat dasar (TK) sampai dengan tingkat (SLTA) bahkan perguruan tinggi yaitu sebagai muatan lokal (mulok). Selain sebagai muatan lokal, keberadaan bangunan-bangunan tersebut dapat juga digunakan sebagai bahan pengajaran pada jenjang pendidikan non-formal maupun informal. Kegiatan pada jenjang ini misalnya melalui kegiatan pada Program Bimbingan Belajar, kegiatan Pramuka, Karang Taruna dll.

d. Teknologi
Pemanfaatan BCB yang dikaitkan dengan teknologi adalah erat kaitannya dengan kecanggihan dalam mendirikan bangunan. Teknologi yang diterapkan dalam mendirikan bangunan pada waktu itu merupakan yang tercanggih pada masanya. Kecanggihannya diakui oleh para arsitek hingga dewasa ini. Hal ini membuktikan bahwa teknologi yang diterapkan dalam mendirikan bangunan memakai standar baku pada masanya, sehingga kualitas bangunannya tidak kalah dengan yang ada dewasa ini. Dewasa ini para arsitek mengakui bahwa kualitas bangunan cukup baik, bahkan banyak para arsitek yang mengadopsi prinsip-prinsip bangunan indis dalam mendirikan bangunan. Hal ini terlihat bahwa dewasa ini banyak bangunan-bangunan yang didirikan dengan mengadopsi pada unsur-unsur bangunan indis.

e. Kebudayaan
Bangunan indis secara bendawi merupakan wujud budaya fisik yang asalnya bukan dari Indonesia asli, tetapi berasal dari Belanda. Demikian pula halnya dengan bangunan indis yang ada di kota Yogyakarta. Akan tetapi bukan berarti bahwa bangunan-bangunan asing tersebut harus dibongkar dan diganti dengan bangunan baru dengan alasan tidak cocok dengan budaya asli bangsa Indonesia. Justru bangunan-bangunan tersebut dapat dijadikan sebagai bagian dari sejarah terbentuknya kota Yogyakarta di masa lampau. Mengingat bahwa pada awalnya kota Yogyakarta tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari suatu kawasan yang cukup luas. Selain itu, keberadaan bangunan-bangunan indis tersebut dapat juga dijadikan sebagai lambang dan simbol perlawanan wakyat Yogyakarta terhadap penjajah yang telah menguasai daerah ini. Manfaat yang lainnya yang dapat dirasakan dengan adanya unsur budaya asing tersebut adalah dapat dijadikannya bangunan-bangunan tersebut sebagai pembanding antara arsitektur lokal dengan arsitektur asing, di dalamnya termasuk pembanding dalam hal konstruksinya. Hal-hal tersebut sangat bermanfaat bagi pembangunan fisik di kota Yogyakarta dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.


PENUTUP

Beberapa bangunan indis di kota Yogyakarta dewasa ini telah mengalami perubahan, baik bentuk maupun fungsinya. Perubahan tersebut dalam bentuk penambahan maupun pengurangan unsur-unsur bangunan yang ada. Untuk itu perlu adanya upaya-upaya yang nyata agar keberadaannya masih dapat dinikmati generasi mendatang. Secara singkat pemanfaatan bangunan indis di kota Yogyakarta dibagi menjadi dua berdasarkan atas sifatnya, yaitu:

  • Pemanfaatan yang bersifat teoritis atau idealis adalah pemanfaatan yang didasarkan atas UURI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yaitu terdiri atas: agama, sosial dan pariwisata, pendidikan dan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kebudayaan.
  • Pemanfaatan yang bersifat praktis adalah pemanfaatan yang bernuansa ekonomis. Pemanfaatan yang demikian pada umumnya sudah dilaksanakan meskipun belum diupayakan secara maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Novida. 2001. Dutch Forts Of Java : A Locational Study. Singapore: Tesis pada National University of Singapore.

Anonim. 1999. Laporan Kegiatan Pemberian Penghargaan Pelestarian Warisan Budaya. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Cleere, H.F. 1989. Introduction: The Rationale of Archaeological Heritage Management, dalam Cleere, H.F (ed.) Archaeological Heritage Management in the Modern World. London: Unwin Hyman, halaman: 1 – 19.

Hardjowidjono, Dharmono. 1984/1985. Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta (Jilid II). Yogyakarta: Kerjasama Dinas Sosial Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Pujianta, Tetrias. 1988. Sengkalan Pada Bangunan Di Kompleks Kraton Yogyakarta Dan Sekitarnya: Sebuah Tinjauan Aspek Fungsi Dan Maknanya. Yogyakarta: Skripsi pada Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.

Soeroso, Amiluhur. 2007. Penilaian Kawasan Pusaka Borobudur Dalam Kerangka Perspektif Multiatribut Ekonomi Lingkungan Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Manajemen Ekowisata. Yogyakarta: Disertasi dalam Ilmu Lingkungan pada Universitas Gadjah Mada.

Tim Pengkaian. 2004. Laporan Antara Kajian Toponim Kota Jogjakarta. Jogjakarta: Kerjasama antara Lembaga Penelitian Pengkajian Sejarah dan Antropologi dengan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Jogjakarta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Wahyu, Harry Trisatya. 2000. Laporan Pendokumentasian Bangunan-Bangunan Kuno Yang Merupakan Struktur Kota Yogyakarta Lama. Yogyakarta: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta.

*MAKALAH PIA 2011