Nanang Saptono
Balai Arkeologi Bandung


Sari

Pengertian penelitian dan pengembangan sesuai dengan Frascati Manual yang dikeluarkan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) adalah aktivitas kreatif dan sistematis untuk peningkatan pengetahuan termasuk pengetahuan tentang manusia, budaya dan masyarakat, untuk merancang aplikasi baru. Di dalam arkeologi, salah satu penelitian pengembangan adalah arkeologi publik. Salah satu permasalahan dalam kajian arkeologi publik adalah tentang pengelolaan sumberdaya arkeologi khususnya dalam sektor pariwisata. Salah satu tujuan kajian ini diharapkan dapat diperoleh aplikasi pengelolaan berorientasi ekonomi. Dua isu penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan adalah tidak menurunkan kualitas sumberdaya yang ada dan meningkatkan fungsi ekonomik. Berdasarkan dua isu penting tersebut kemudian diformulasikan sehingga diperoleh model pengelolaan. Dalam kaitannya dengan peningkatan fungsi secara ekonomik, perlu diperhatikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan. Oleh karena itu, maka perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan meliputi terjaminnya kualitas lingkungan yang lestari, pelibatan masyarakat lokal yang lebih besar, terjaminnya kelestarian budaya masyarakat, dan secara ekonomis tidak hanya menguntungkan para pihak yang terlibat tetapi secara nyata dialokasikan dana untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan, kawasan, dan masyarakat sekitar. Model penelitian seperti ini dapat dilakukan melalui metode participatory local appraisal (PLA). Langkah selanjutnya dilakukan analisis dan sintesa.


Abstract

Research and development in the Frascati Manual by the OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) is a creative activity and systematically to increase knowledge, including knowledge of man, culture and society, to devise new applications. In the archeology, one of the archaeological researches is the development of the public. One of the problems in public archeology is the study of archaeological resource management, especially in the tourism sector. One purpose of this study is expected to obtain application-oriented management of the economy. Two important issues that must be considered in the management are not to degrade the quality of existing resources and enhance economic function. Based on two important issues are then formulated in order to obtain management model. The connection with the increase of economic function should pay to the importance of all stakeholders. Therefore, it is necessary to apply the concept of sustainable development. The concept of sustainable tourism development include ensuring sustainable environmental quality, local community involvement is greater, ensuring the preservation of cultural communities, and economically not only benefit the parties involved but actually allocated funds to improve and enhance environmental quality, area, and surrounding communities . The model like this study can be done through participatory local appraisal (PLA) methods. The next step performed the analysis and synthesis.


A. Pendahuluan

Sesuai dengan asal kata dalam Bahasa Inggris, research (penelitian) merupakan suatu aktivitas yang tidak ada selesainya. Dari satu jawaban atas pertanyaan akan muncul pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang harus diselesaikan. Oleh karena itu research dapat difahami sebagai re-search yang artinya mencari kembali dan kembali begitu seterusnya. Seperti halnya bidang ilmu lain, arkeologi juga dituntut baik secara akademik maupun praktis untuk mencari berbagai jawaban sehingga perlu mengembangkan metodologi dalam rangka memenuhi tujuan yang ingin dicapai tersebut.

Secara praktis, perubahan dalam sistem kabinet berpengaruh pula dalam tujuan akhir pengkajian arkeologis. Dalam kerangka kementerian baru di mana instansi yang berkompeten dalam dunia arkeologi berada, yaitu Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, perubahan dalam tujuan pengkajian arkeologi juga sedikit berubah mengalami penyesuaian. Hal ini terutama berlaku pada instansi yang berada di bawah naungan kementerian tersebut seperti misalnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas). Perubahan nama dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menjadi Puslitbang Arkenas juga membawa konsekuensi baru. Puslit Arkenas yang semula berada di bawah naungan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, cenderung “hanya” terfokus pada penelitian arkeologi murni yang muaranya untuk menghasilkan pengetahuan bagi dunia pendidikan. Dalam kerangka Puslitbang Arkenas, secara akademik dituntut pula untuk melakukan penelitian yang bersifat pengembangan.

Penelitian dan pengembangan menurut Frascati Manual yang dikeluarkan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) 2002 adalah aktivitas kreatif dan sistematis untuk peningkatan pengetahuan termasuk pengetahuan tentang manusia, budaya dan masyarakat, untuk merancang aplikasi baru. Penelitian dan pengembangan terdiri dari penelitian dasar yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan bidang ilmu; penelitian terapan yaitu penelitian untuk tujuan praktis; dan penelitian eksperimental yaitu penelitian yang sifatnya pengujian baik terhadap konsep-konsep baru maupun pengetahuan praktis.

Sebagai gambaran, penelitian dan pengembangan diharapkan tidak sekedar untuk menghasilkan konsep-konsep baru yang bertujuan untuk penerapan praktis sebagaimana yang dilakukan oleh Thomas Alva Edison, serta tidak sekedar untuk untuk peningkatan dalam kaitannya dengan kontribusi bagi ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicontohkan oleh Isaac Newton, tetapi mencakup keduanya sebagaimana yang dicontohkan Louis Pasteur. Secara sederhana tujuan penelitian dan pengembangan adalah sebagaimana yang terlihat pada Pasteur Quadran berikut ini:

Di dalam arkeologi aktivitas penelitian dan pengembangan misalnya dapat diterapkan dalam arkeologi publik. Salah satu permasalahan dalam kajian arkeologi publik adalah tentang pengelolaan sumberdaya arkeologi khususnya dalam sektor pariwisata. Hal ini tentunya karena adanya penyesuaian dengan tujuan kelembagaan sebagaimana yang sudah disinggung terdahulu. Salah satu tujuan kajian arkeologi dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata diharapkan dapat diperoleh aplikasi pengelolaan berorientasi ekonomi. Dua isu penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan adalah tidak menurunkan kualitas sumberdaya yang ada dan meningkatkan fungsi ekonomik. Sehubungan dengan paradigma dalam penelitian dan pengembangan arkeologi sektor pariwisata ini maka perlu difahami beberapa hal yaitu tentang pariwisata budaya dan konsep pembangunan berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu perlu juga difahami tentang persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan dunia pariwisata budaya. Dalam hal membuat sintesa yang hasilnya berupa model pengelolaan maka perlu dipilih suatu metode dan teknik analisis yang tepat.


B. Arkeologi Dan Permasalahannya Dalam Pariwisata

Pada umumnya, peluang pengembangan wisata ditekankan pada wisata terpadu dengan memanfaatkan tinggalan budaya dan potensi alam. Budaya dan alam merupakan dua hal yang selalu mengusik rasa keingintahuan manusia. Rasa ingin tahu ini mendorong seseorang untuk mengadakan perjalanan (Pendit, 1994: 217 – 218). Perjalanan yang dilakukan seseorang apabila tidak disertai dengan perasaan ingin tahu maka akan tidak memberi arti kepada dirinya sendiri. Pada hakekatnya perjalanan adalah alat untuk mencapai emansipasi diri, intelegensia, dan jiwa pada seseorang. Emansipasi pribadi yang menyangkut tiga hal itu lazim disebut personal culture atau subjective culture. Personal culture dihasilkan dari dan oleh pengetahuan serta pengalamannya dalam melakukan perjalanan. Pemikiran inilah yang melandasi pengembangan kepariwisataan yaitu bertujuan untuk peningkatan emansipasi wisatawan, sehingga wisatawan harus mendapatkan gambaran yang baik dan lengkap tentang apa yang dilihat, dikunjungi, dan dinikmatinya untuk mencapai emansipasi diri.

Ada beberapa hal yang ingin diketahui wisatawan. Berdasarkan hasil pooling yang dilakukan Pacific Area Travel Association (PATA) terhadap wisatawan Amerika Utara menunjukkan sektor kebudayaan merupakan yang paling ingin diketahui. Lebih dari setengah wisatawan yang mengadakan kunjungan ke Asia dan kawasan Pacific tertarik pada pengetahuan tentang adat istiadat, kesenian, sejarah, bangunan kuna, dan peninggalan-peninggalan purbakala lain (Pendit, 1994: 219). Keingintahuan manusia terhadap peninggalan purbakala memang sangat beralasan. Pada peninggalan purbakala terdapat informasi mengenai identitas budaya. Suatu unsur penting identitas budaya adalah kesadaran sejarah yang dimiliki bersama suatu bangsa. Kesadaran sejarah itu akan membawakan ingatan akan asal-usul budaya, peristiwa yang telah dialami, dan harapan di masa depan (Sedyawati, 1992/1993: 23). Oleh karena itu pengetahuan tentang masa lampau sangat menjadi kebutuhan manusia berbudaya, sehingga mengetahui masa lampau merupakan salah satu hak asasi manusia yang dalam (Mc Gimsey, 1972: 5).

Diketahui bahwa keinginan dan selera wisatawan berbeda-beda. Oleh karena itu dalam pengembangan pariwisata harus dijaga agar ada keanekaan. Pengembangan ini harus disesuaikan dengan tujuan pariwisata dengan penerangan. Diusahakan agar para wisatawan menggunakan objek wisata sesuai dengan tujuannya. Salah satu permasalahan dalam pengembangan pariwisata misalnya adanya unsur peninggalan arkeologi yang pada hakekatnya merupakan museum di alam terbuka, tetapi tidak mempunyai fungsi sebagai tempat untuk menambah ilmu pengetahuan. Contoh kasus seperti ini misalnya di Candi Cangkuang di Garut, Jawa Barat. Daya tarik lingkungan berupa danau dan tinggalan arkeologi berupa bangunan candi belum dilengkapi dengan sarana penunjang berupa pusat penerangan yang memadai agar wisatawan dapat belajar tentang candi itu (Soemarwoto, 2004).

Pada beberapa kasus, wisatawan yang datang seringkali mempunyai tujuan tertentu misalnya untuk berziarah. Wisata ziarah banyak dilakukan secara perorangan atau kelompok ke tempat-tempat suci, makam orang besar atau pemimpin yang diagungkan atau ke bukit atau gunung yang dianggap keramat. Wisata ini banyak dihubungkan dengan niat untuk memperoleh restu, kekuatan batin, keteguhan iman, dan tidak jarang pula untuk memperoleh berkah dan kekayaan melimpah (Pendit, 1994). Mengingat begitu banyaknya tujuan wisatawan dalam mengunjungi objek khususnya arkeologi maka banyak pula hal-hal yang harus dipikirkan dalam pengembangan wisata pada objek-objek arkeologi.


C. Memahami Persepsi dan Perilaku

Pengertian persepsi menurut Kotler (dalam Arindita, 2002) adalah proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi mecakup penafsiran obyek, penerimaan stimulus (Input), pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Adapun Robbins (2003) mendeskripsikan persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses di mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Walgito (1993) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.

Leavitt (dalam Rosyadi, 2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut.

Persepsi berarti analisis mengenai cara mengintegrasikan penerapan terhadap hal-hal di sekeliling individu dengan kesan-kesan atau konsep yang sudah ada, dan selanjutnya mengenali benda tersebut (Taniputera, 2005). Untuk memahami hal ini, akan diberikan contoh sebagai berikut: individu baru pertama kali menjumpai batu berbentuk persegi dengan permukaan halus yang sebelumnya tidak dikenal, dan kemudian ada orang yang memberitahu bahwa benda itu adalah beliung persegi. Individu kemudian mengamati serta menelaah bentuk, warna, dan lain sebagainya, dari benda itu secara saksama. Lalu timbul konsep mengenai beliung persegi dalam benak (memori) individu. Pada kesempatan lainnya, saat menjumpai benda yang sama, maka individu akan menggunakan kesan-kesan dan konsep yang telah dimiliki untuk mengenali bahwa yang dilihat itu adalah beliung persegi. Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik simpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti.

Alport (dalam Mar’at, 1991) menjelaskan bahwa proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.

Persepsi akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Perilaku sinonim dari aktivitas, aksi, kinerja, respons, atau reaksi. Dengan kata lain, perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dikatakan oleh manusia. Secara teknis, perilaku adalah aktivitas glandular, muscular, atau elektrikal seseorang. Termasuk perilaku adalah tindakan-tindakan sederhana (simple actions), seperti mengedipkan mata, menggerakkan jari tangan, melirik, dan sebagainya. Perilaku juga dapat diartikan sebagai semua aktivitas yang merupaan reaksi terhadap lingkungan, apakah itu reaksi yang bersifat motorik, fisiologis, kognitif, ataupun afektif.

Secara umum yang termasuk perilaku, adalah apa yang dilakukan dan dikatakan seseorang. Perilaku dapat memiliki satu/lebih dimensi yang dapat diukur yaitu frekuensi, durasi, dan atau intensitasnya. Suatu perilaku dapat diamati, digambarkan, dicatat/direkam, diukur oleh orang lain atau pelaku itu sendiri. Setiap perilaku mempunyai dampak/pengaruh pada lingkungan, dan perilaku mengikuti hukum (lawful) prinsip belajar. Dalam pandangan behavioral, diasumsikan bahwa perilaku itu, apakah baik atau buruk merupakan hasil belajar. Perilaku maladaptif merupakan hasil belajar yang keliru dan dapat diubah melalui proses belajar (Sunardi, 2010).

Persepsi, sikap, dan perilaku inilah yang dapat dijadikan pijakan untuk membuat rancangan pengembangan wisata pada objek arkeologi. Suatu kelompok masyarakat atau individu misalnya bisa mempersepsi terhadap tinggalan arkeologi merupakan hal yang tidak menarik dan tidak ada artinya. Hal ini bisa terjadi karena stimulus yang dia terima atas objek arkeologi tidak “lengkap”, sehingga yang dia terima hanya pecahan keramik, runtuhan bangunan, atau tumpukan batu yang tidak berarti dan tidak menarik. Di lain pihak ada yang mempersepsi dengan penuh “berlebihan” sehingga mengkeramatkannya bahkan mengagung-agungkan sedemikian rupa sehingga seluruh aktivitasnya bisa digantungkan pada objek peninggalan purbakala tersebut. Persepsi demikian ini bisa berlaku secara individu bisa juga berlaku secara komunal dalam satu kelompok masyarakat bahkan beberapa kelompok masyarakat. Pada beberapa kasus demikian ini kadang-kadang melahirkan perilaku yang berlebih misalnya upacara yang dilakukan secara masal sehingga mereduksi nilai objek purbakala itu sendiri. Persepsi, sikap, dan perilaku yang perlu diperhatikan tidak hanya dari para wisatawan tetapi juga para pemangku kepentingan. Kepada para pemangku kepentingan inilah harus dibangun suatu sikap dan perilaku sehingga tidak merusak aktivitas kepariwisataan. Agar semua ini berjalan maka bagi pengelola harus menerapkan pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan.


D. Pengelolaan Pariwisata Secara Berkelanjutan

Dalam situasi menghadapi sikap dan perilaku masyarakat luas, perlu inovasi pengelolaan sehingga apa yang diinginkan masyarakat dapat terpenuhi. Salah satu pemanfaatan sumberdaya arkeologi adalah melalui pengelolaan pariwisata yang bersifat berkelanjutan (Burns dan Holden, 1995). Chapter IV point 41, KTT Rio + 10 Johanesberg 2002, Plan of Implementations, World Summit on Sustainable Development menyatakan bahwa sustainable development di antaranya adalah mempromosikan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, meningkatkan manfaat dari sumberdaya pariwisata pada populasi di komunitas setempat yang terintegrasi dan memberikan kontribusi bagi memperkuat desa dan komunitas lokal. Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan meliputi terjaminnya kualitas lingkungan yang lestari, pelibatan masyarakat lokal yang lebih besar, terjaminnya kelestarian budaya masyarakat, dan secara ekonomis tidak hanya menguntungkan para pihak yang terlibat tetapi secara nyata dialokasikan dana untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan, kawasan, dan masyarakat sekitar (Fandeli, 2004).

Untuk mencapai pembangunan pariwisata yang berkelanjutan diperlukan beberapa langkah yaitu adanya kerjasama dan keterlibatan sektor swasta dan pemerintah, mendorong keterlibatan masyarakat, mengembangkan kewirausahaan, menghilangkan dampak negatif dan menghindari resiko bagi tradisi, kebudayaan, dan lingkungan, serta mempromosikan, meningkatkan, dan menyelamatkan pengusaha kecil dan menengah (Aryanto, 2003). Sementara itu Gunn (1993) menyatakan bahwa suatu kawasan wisata akan menjadi baik bila selalu mempertahankan kelestarian lingkungan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan objek, pengunjung terpuaskan, serta meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan zona pengembangannya.

Situs arkeologi sebagai objek dengan daya tarik budaya, maka perlu sekali untuk dikelola dalam konteks wawasan baru dan diharapkan mengarah pada terwujudnya tahapan pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism management). Untuk itu perlu ketaatan pada prinsip-prinsip sebagai berikut.

  1. Prinsip pengelolaan yang berpijak pada dimensi pelestarian dan berorientasi ke depan (jangka panjang)
  2. Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal
  3. Prinsip pengelolaan aset sumber daya yang tidak merusak
  4. Kesesuaian antara kegiatan pengelolaan pariwisata dengan skala, kondisi dan karakter suatu area yang akan dikembangkan
  5. Keselarasan dan sinergi antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup, dan masyarakat lokal
  6. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat pengelolaan pariwisata
  7. Pengelolaan harus didasari perencanaan dan difokuskan untuk memperkuat potensi lokal.

Pengelolaan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup (Kusworo dan Sasongko, 2005).


E. Menuju Konsep Pengelolaan

Untuk membahas permasalahan dalam rangka menyusun model pengelolaan dapat menggunakan metode participatory local appraisal (PLA) (Mitchell et al., 2007). Metode ini untuk mengkaji sistem pengetahuan lokal melalui rapid rural appraisal (RRA) dan participatory rural appraisal (PRA). RRA merupakan suatu aktivitas yang sistematis dan terstruktur, yang dilakukan di lapangan dan dirancang untuk secara cepat mendapatkan informasi atau hipotesis tentang kehidupan masyarakat. Metode ini mempunyai dua karakter utama yaitu mencapai pengesampingan yang optimal dan penggunaan trianggulasi. Metode RRA ditujukan untuk mendapatkan informasi secara cepat, yang harus dilakukan dengan menyertakan kontak-kontak tidak resmi dengan penduduk setempat.

PRA adalah untuk memfasilitasi masyarakat atau meningkatkan kesadaran masyarakat dan kemampuan mereka untuk menangkap isu persoalan. Perhatian khusus diberikan agar masyarakat lokal dapat melakukan analisis secara mandiri serta menyampaikan gagasan-gagasannya. Dalam konteks seperti ini, PRA sejalan dengan beberapa konsepsi dasar tentang pembangunan berkelanjutan.

RRA, PRA, dan PLA merupakan bagian dari sustainable development aproach atau pendekatan pembangunan berkelanjutan. Metode ini pada intinya merupakan suatu usaha dalam bidang pembangunan yang dimungkinklan dapat membawa manusia ke arah kemajuan untuk jangka waktu lama. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka (Mitchell, et al., 2007). Dalam operasional di lapangan, metode ini menekankan keikutsertaan masyarakat dalam keseluruhan penelitian

Setelah dilakukan pengumpulan data selanjutnya memasuki tahap analisis. Analisis yang biasa diterapkan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang kemampuan objek baik individu maupun kelompok. Dalam rangka pengembangan di bidang wisata budaya, analisis SWOT dipergunakan untuk membuat kajian pengembangan suatu sektor ataupun wilayah tempat objek penelitian berada. Kegiatan ini akan menghasilkan beberapa skenario pengembangan dalam rangka pengelolaan yang terdiri perlindungan dan pemanfaatan. Skenario diperoleh dengan mengembangkan atau meningkatkan potensi atau kekuatan (strength) untuk meraih peluang (opportunity) sebesar-besarnya. Di samping itu pengembangan dilaksanakan untuk mengurangi kelemahan (weakness) dan menghilangkan hambatan atau ancaman (threats). Melalui analisis ini akan diperoleh skenario pengelolaan kawasan arkeologi berdasarkan potensi dan kondisi yang ada.

Melalui analisis ini akan diperoleh skenario pengelolaan kawasan arkeologi berdasarkan potensi dan kondisi yang ada. Strategi pengelolaan kawasan arkeologi melalui paparan analisis SWOT dapat disusun beberapa skenario sebagaimana matriks berikut.

Apabila kekuatan (S) dipertemukan dengan peluang (O) yang terlihat adalah skenario pengembangan. Skenario konsolidasi internal ini diperoleh dengan jalan memperhatikan kelemahan (W) yang dipertemukan dengan peluang (O). Kekuatan (S) yang ada bila dipertemukan dengan ancaman (T) akan muncul skenario penguatan pengembangan program. Skenario selanjutnya adalah dengan memperhatikan kelemahan (W) yang dipertemukan dengan ancaman (T). Melalui skenario ini diharapkan dapat diperoleh satu strategi yang tepat dalam pengelolaan pariwisata di kawasan arkeologi sehingga kelestarian sumberdaya budaya dapat terjaga dan kepentingan masyarakat tetap terpenuhi.


F. Penutup

Sebagai akhir dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam aktivitas penelitian dan pengembangan arkeologi salah satunya adalah melalui pengkajian bidang arkeologi publik khususnya pengelolaan sumberdaya budaya melalui sektor pariwisata. Dalam penyusunan model pengelolaan dapat dilakukan melalui langkah memahami potensi sumberdaya budaya yang ada; memahami persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat yang berkaitan langsung dengan sumberdaya budaya; memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan; dan mengkaji serta menganalisis untuk selanjutnya menyusun suatu strategi pengelolaan.


Daftar Pustaka

Aryanto. 2003. Pengembangan Ekowisata di Daerah. Melalui http://www.situshijau.co.id

Fandeli. 2004. Peran dan Kedudukan Konservasi Hutan dalam PengembanganEkowisata. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gunn C. A. 1993. Tourism Planning: Basic, Concepts, Casses. Taylor & Francis Publisher.

Mar’at, 1991. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mc Gimsey, Charles R. 1972. Public Archaeology. New York: Seminar Press.

Mitchell, Bruce; B. Setiawan; dan Dwita Hadi Rahmi. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pendit, Nyoman S. 1994. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: Pradnya Paramita.

Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT INDEKS Kelompok Garmedia.

Rosyadi, I. 2001. Keunggulan kompetitif berkelanjutan melalui capabilities-based competition: Memikirkan kembali tentang persaingan berbasis kemampuan. Jurnal BENEFIT, vol. 5, No. 1, Juni 2001.

Sedyawati, Edi. 1992/1993. Arkeologi dan Jatidiri Bangsa. Pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI, hlm. 23 – 36. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumarwoto, Otto. 2006. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.

Sunardi, 2010. Konsep Dasar Modifikasi Perilaku.

Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.



*MAKALAH PIA 2011