Beranda

Strategi Adaptasi Austronesia di Kepulauan Indonesia

Tinggalkan komentar

Sofwan Noerwidi
Balai Arkeologi Yogyakarta


ABSTRACT

When the Austronesian language speakers come in the Indonesian archipelago, this region has been inhabited by non-Austronesian communities. The process of adaptation, innovation, and interaction cultures of Austronesian societies in this new colony region reflects on the development of shell tool technology, navigation technology, cultivation of crops and animals domestication. In addition to inter-cultural interaction, migration-colonization process also raises of founder-focused ideology in the Austronesian social structure. Phase of interactions between cultures in the case of migration-colonization Austronesian communities in the Indonesian archipelago are: Intrusion new culture comes in the Indonesian archipelago brought by Austronesian people. As a result of these events, in the Indonesian archipelago appeared neolithic culture. After the colonization of the Austronesian people, neolithic culture in the Indonesian archipelago through innovation caused by cultural evolution and interaction between migrants communities of Austronesian with the indigenous non-Austronesian communities. Inter-cultural evolution and interaction causes the cultural integration of Austronesian and non-Austronesian in the Indonesian archipelago.

Key word: Kolonisasi, Austronesia, Kepulauan Indonesia, Adaptasi Budaya


LATAR BELAKANG

Kajian terhadap Austronesia sebagai suatu kesatuan budaya maupun bahasa telah berlangsung sejak beberapa dekade yang lalu. Namun, signifikansi manfaat kajiannya belum banyak disadari oleh para ilmuwan di Indonesia. Padahal, sangat mengagumkan melihat fenomena persebaran masyarakat penutur rumpun bahasa Austronesia yang menyebar meliputi hampir separuh belahan dunia. Sehingga, banyak sarjana asing yang berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi masyarakat penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya akibat tekanan demografi. Salah satunya adalah Hendrik Kern, seorang ahli linguistik yang mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa Austronesia dengan menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawanya pada suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991:74-75, Blust, 1984-1985:47-49).

Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; Out of Taiwan (Bellwood-Blust), The Express Train to Polynesia (Diamond), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl), An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept (Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers, 2006 dan Pietrusewsky, 2006). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya terdapat tiga kubu model rekonstruksi persebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari kawasan Melanesia. Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang paling kuat dan mendapat banyak dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia.

Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98).

Berdasarkan hasil penelitian terbaru dapat diketahui bahwa awal kolonisasi Austronesia di Kepulauan Indonesia adalah sekitar 3.600 BP, yang diperoleh dari pertanggalan Situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa Sulawesi merupakan lokasi koloni tertua, yang kemudian secara gradual semakin lebih muda ke barat menuju Sumatera dan Jawa, ke selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil dan ke timur menuju Maluku dan Pasifik. Hasil penelitian ini menempatkan Sulawesi sebagai lokasi penting dalam persebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia pada masa prasejarah (Simanjuntak, 2008). Situs-situs yang juga mengindikasikan awal kolonisasi masyarakat penutur bahasa Austronesia di Kepulauan Indonesia antara lain adalah; Leang Tuwo Mane’e (3.500 BP), Uattamdi (3.200 BP) dan Kendenglembu, di Jawa Timur (Bellwood, 2000) Namun pertanggalan terakhir yang dihasilkan oleh salah satu situs di Kendenglembu hanya menghasilkan petanggalan 1.300 BP (Noerwidi, 2008). Padahal gerabah slip merah dari situs tersebut bentuknya sederhana dan kasar, kondisinya sangat aus, serta termasuk dalam kategori tipologi yang cukup tua.

Pada saat masyarakat penutur bahasa Austronesia datang di Kepulauan Indonesia, kawasan ini bukanlah suatu daerah kosong yang tidak berpenghuni. Pada beberapa pulau di Kepulauan Indonesia telah dihuni oleh komunitas pre-Austronesia yang telah eksis sejak masa sebelumnya. Pada awalnya, mungkin masyarakat neolitik Austronesia tidak mudah untuk menembus koridor Kepulauan Indonesia yang di beberapa tempat telah padat dihuni oleh manusia, seperti misalnya Daratan Papua lokasi berkembangnya pertanian non biji-bijian secara mandiri. Setidaknya sejak akhir Plestosen sekitar 60.000 BP kawasan kepulauan ini telah dihuni, seperti yang terjadi di Pulau Jawa di kawasan Gunung Sewu misalnya (Sémah dkk, 2006:21). Bahkan dominasi populasi pre-neolitik penghuni gua-gua di Jawa diindikasikan baru berakhir pada awal Masehi sekitar 2.000 BP (Widianto, 2006:182). Beberapa bukti paleoantropologis yang mengindikasikan padatnya penghunian pre-neolitik Austronesia di Kepulauan Indonesia antara lain adalah; yang tertua mungkin adalah Tengkorak Wajak (30 Kya), kemudian beberapa rangka dari Gunung Sewu (awal Holosen), rangka-rangka dari Bukit Sampah Kerang Hoabinhian di Sumatera (awal Holosen), rangka-rangka dari penguburan dalam Gua-gua di Kalimantan dan Sulawesi, serta Liang-Liang di Flores dengan sisa Homo floresiensis (35 -18 Kya) yang fenomenal (lihat Jacob, 1967., Chazine dan Ferrié, 2008., Morwood dkk, 2004., dan Detroit, 2006)

Peta Distribusi Situs-situs Pre-Neolitik di Asia Tenggara.
Sumber: Bellwood, 2000

Terjadinya kontak antara budaya pendatang Austronesia dengan budaya pre-Austronesia setempat, sangat besar berpeluang terjadi pada kondisi yang demikian ini. Dalam tulisan ini akan dibahas akibat dari interaksi antar budaya tersebut yang tercermin pada teknologi alat kerang, teknologi pelayaran dan domestikasi hewan. Selain interaksi antar budaya, juga akan dibahas implikasi dari proses migrasi-kolonisasi yang memunculkan ideologi cikal bakal pada masyarakat Austronesia. Ideology tersebut masih dapat ditelusuri pada catatan etnografi yang masih ada hingga saat ini, baik pada masyarakat Austronesia di Kepulauan Indonesia maupun masyarakat Austronesia pada umumnya di seluruh kawasan koloni barunya.


PEMBAHASAN

Kolonisasi adalah proses penghunian suatu wilayah oleh suatu komunitas tertentu. Proses penghunian yang dimaksud meliputi: penghunian, perkembangan, dan kejenuhan penduduk. Jika suatu komunitas sudah mengalami kejenuhan penduduk, maka terdapat kemungkinan sebagian dari komunitas tersebut akan, memisahkan diri dari komunitas intinya. Pada tahap penghunian dan perkembangan suatu populasi di wilayah yang telah berpenghuni, maka juga terjadi kontak (interaksi) antar budaya. Tahapan interaksi antar budaya untuk kasus kolonisasi Austronesia di Kepulauan Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut: Intrusi budaya neolitik datang di Kepulauan Indonesia yang dibawa oleh masyarakat penutur bahasa Austronesia. Akibat dari peristiwa tersebut, di kawasan ini muncul budaya neolitik. Kemudian, setelah terjadi kolonisasi Austronesia, budaya neolitik di Kepulauan Indonesia mengalami inovasi yang disebabkan oleh evolusi budaya dan interaksi antara komunitas pendatang Austronesia dengan komunitas Non-Austronesia yang telah menghuni kawasan tersebut sejak masa sebelumnya. Evolusi dan interaksi antar budaya yang intensif menyebabkan integrasi budaya Austronesia dan Non-Austronesia di Kepulauan Indonesia. Berikut ini adalah pembahasan dari tiap tahapan budaya tersebut:

1. Interaksi Austronesia dengan Non Austronesia
Menurut Roger Green (dalam Spriggs, 2000), sebelum kedatangan masyarakat penutur bahasa Austronesia dengan budaya neolitiknya, di kawasan Indo-Pasifik telah berkembang teknologi alat kerang dan alat tulang, teknologi pelayaran dan navigasi antar pulau, serta budidaya tanaman dan domestikasi hewan. Pada saat masyarakat Austronesia datang di kawasan ini, komunitas Non-Austronesia juga telah memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama bahkan lebih bersifat adaptif dalam beberapa penguasaan teknlogi di atas. Dalam tulisan ini akan dibicarakan akibat dari interaksi antara budaya Austronesia dengan preAustronesia yang tercermin pada beberapa aspek budaya tersebut

a. Teknologi Alat Kerang
Sebelum kedatangan masyarakat penutur bahasa Austronesia, di Kepulauan Indonesia sudah berkembang berbagai variasi teknologi alat kerang. Perkembangan teknologi tersebut didukung oleh sumber daya kerang yang sangat berlimpah di kawasan Kepulauan Indonesia. Teknologi kerang merupakan salah satu bentuk adaptasi budaya populasi Non-Austronesia di Kepulauan Indonesia, sebelum kedatangan masyarakat Austronesia. Pada saat terjadi kolonisasi Austronesia di kepulauan ini, mereka juga melakukan adaptasi dan inovasi budaya. Kemungkinan masyarakat Austronesia juga dipelajari teknologi alat kerang dari komunitas Non-Austronesia yang telah mengenal teknologi alat kerang pada masa sebelumnya. Selain itu, mereka juga mendistribusikannya ke wilayah yang lebih luas dari wilayah asal persebarannya.

Pada awalnya persebaran beliung kerang pada masa pra-neoitik sebelum kedatangan masyarakat penutur bahasa Austronesia mencakup wilayah yang sangat terbatas, hanya meliputi kawasan kepulauan Maluku Utara (Golo, 14.000 BP), Melanesia barat (Pamwak, 10.000 BP) dan Filipina (Duyong, 4500 BP) (Ono, tt). Namun, setelah kedatangan Austronesia, wilayahnya persebarannya meluas sampai ke Jepang (Okinawa, 2500 BP), Polinesia (Tongatapu dan Niuatotapu, 3000 BP) dan Micronesia (Guam, 2000 BP) (Asato, 1990). Persebaran beliung kerang yang asalnya dari kepulauan Maluku Utara, akhirnya juga ditemukan sampai di Kepulauan Ryukyu (Jepang) di utara, dan di hampir seluruh kawasan Kepulauan Pasifik.

Beliung Kerang dari Gua Golo dan Buwawansi (bawah, tengah), Maluku Utara.
Sumber: Bellwood, 2007

Nampaknya, fenomena persebaran beliung kerang ke luar dari daerah asalnya mirip dengan kasus persebaran obsidian Talasea dari Kepulauan Melanesia Barat. Ditemukannya obsidian dari Talasea (New Britain) pada 1.000 SM di situs Bukit Tengkorak (Sabah) mengindikasikan adanya jaringan pelayaran dan perdagangan sejauh 6.500 km. Di Mikronesia Barat, walaupun penghunian pertama kali di Mariana telah ada sejak 3.700 BP, namun beliung kerang baru muncul pada 100 BC-100 AD. Kepulauan Mariana memang minim akan sumber daya kerang, kemungkinan besar beliung kerang Tridacna yang ada di daerah tersebut didatangkan dari Melanesia Barat, setelah semakin berkembangnya pelayaran antar pulau di kawasan Pasifik pada masa Lapita, setelah kedatangan masyarakat Austronesia (3.500 BP). Berdasarkan pada data tersebut diperkirakan bahwa, masyarakat Austronesia yang bermigrasi untuk mendapatkan sumberdaya di daerah tujuan, kemudian juga mengirimkan sumberdaya yang didapatkan kepada kerabat komunitasnya di tanah asal mereka. Pada kasus migrasi masyarakat Austronesia di Kepulauan Indonesia, kemungkinan besar juga terjadi migrasi balik ke daerah asal. Hal tersebut berhubungan dengan tujuan migrasi yaitu hasrat untuk mencari daerah yang kaya akan sumber barang berharga dan membangun jaringan perdagangan. Dalam hal ini migrasi balik yang terjadi sering kali dalam bentuk jaringan pelayaran dan perdagangan.

b. Budidaya Tanaman
Banyak ahli yang mengaitkan persebaran budidaya pertanian di Asia Tenggara dan Pasifik dengan ekspansi masyarakat penutur bahasa Austronesia. Walaupun demikian, sesungguhnya domestikasi tanaman telah berkembang secara mandiri di daratan Papua sejak masa yang cukup tua. Hasil penelitian Golson (1990) di Situs Kuk (dataran tinggi bagian barat Nugini), telah menemukan indikasi perusakan vegetasi yang diakibatkan oleh aktivitas di lahan basah. Hal tersebut diasosiasikan adanya aktifitas pertanian sejak 9000 BP dengan memanfaatkan rawa. Bahkan sistem drainase telah dikenal di situs ini sejak 4000 BP, untuk mengendalikan ketinggian air rawa, mereka membuat parit dengan panjang 500 m, dalam 3 m, dan lebar 4,5 m. Kemudian pada 3000 BP terdapat indikasi pertanian intensif dengan pembukaan lahan. Tanaman yang didomestikasi di situs tersebut adalah ketela rambat. Sebelum kedatangan bangsa Austronesia, di kepulauan Filipina, Indonesia dan Melanesia telah muncul domestikasi tanaman tropis, seperti: keladi atau talas (Colocasia esculenta), ubi (Discorea sp), birah (Alocasia Microrhiza), sukun (Artocarpus altilis), tebu (Saccarum officinarium), sagu (Metroxylon sp.), kelapa (Cocos nucifera) dan beberapa spesies pisang (Musa sapientum dan Musa traglogytarum) (Bellwood, 1975:136-140).

Berdasarkan faktor kondisi lingkungan, Kepulauan Indonesia memiliki beberapa iklim yang bervariasi. Di beberapa bagian Pulau Sumatra, Kalimantan dan Papua serta Jawa bagian barat dan tengah memiliki iklim tropis dengan hutan hujan tropis yang lembab dan basah. Namun Jawa bagian timur, Kepulauan Sunda Kecil dan Kepulauan Maluku memiliki iklim yang lebih kering karena pengaruh angin muson dari Benua Australia. Pada beberapa wilayah di Kepulauan Indonesia Timur, seperti Maluku Utara memiliki curah hujan rata-rata mencapai 1.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan antara 153-266 hari per tahun, dan suhu udara rata-rata 26,3º C, dengan suhu udara maksimum 30,1º C dan suhu minimum 23,5º C, kondisi tersebut memang ideal bagi pertanian biji-bijian. Meskipun demikian, kecepatan angin yang tinggi dan intensitas penyinaran yang tinggi, membuat kawasan ini menjadi lebih kering, sedangkan iklim basah dengan curah hujan yang melebihi penguapan tidak terjadi di sini. Hal tersebut menyebabkan kegagalan dalam proses penyerbukan dan pembuahan (Wasita, 1999:61-69). Berdasarkan bukti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kawasan tersebut kurang cocok untuk mengembangkan pertanian biji-bijian.

Berdasarkan data polen dari Teluk Kau di Pulau Halmahera, meningkatnya polen palma telah terjadi di kawasan Maluku Utara pada 6.000 BP. Peningkatan tersebut merupakan indikasi adanya pertanian jenis tanaman palma di Kepulauan Maluku Utara. Kemungkinan besar, pertanian tanaman palma menyebar ke Maluku Utara dari kawasan Nugini, walaupun tidak dalam bentuk yang sepenuhnya sama (Bellwood, 2000:342). Berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sagu yang merupakan salah satu jenis tanaman palma, masih merupakan makanan pokok yang di konsumsi oleh sejumlah kelompok etnis di Maluku Utara, selain padi gogo dan umbi-umbian (Soegondho, 2000:262-264).

Pengetahuan mengenai domestikasi berbagai jenis tanaman yang dimiliki oleh komunitas Non-Austronesia sebelum kedatangan masyarakat Austronesia, berimplikasi pada interaksi antar budaya yang terjadi akibat datangnya budaya baru di kawasan yang telah memiliki latar belakang budaya. Kenyataannya di kawasan Pasifik, masyarakat penutur bahasa Austronesia mengganti pertanian biji-bijian seperti yang dibawa dari daerah subtropis dengan tanaman umbi-umbian yang banyak terdapat di kawasan Tropis. Padi (Oryza sativa) di kawasan timur Indonesia hanya sampai di Maluku (Bellwood, 2000:358). Berdasarkan pengamatan etnografis oleh Teljeur (1980:11), sampai saat ini masyarakat Maluku Utara mengembangkan pertanian campuran antara padi gogo, umbi-umbian, buah-buahan, dan sagu. Di Kepulauan Pasifik, pertanian masyarakat Austronesia lebih didominasi dengan tanaman buah-buahan dan umbi-umbian tropis, tanpa mengenal pertanian biji-bijian (Kirch, :286-307).

Berdasarkan rekontruksi bukti linguistikti linguistik, kata *pajei (Ina. Padi) ditemukan di Taiwan, Philipina dan Indonesia. Tetapi beberapa kosa kata yang menunjukkan umbi-ubian seperti *tales (Ina. Talas), *quBi (Ina. Ubi) dan *BiRaq (Ina. Birah) yang dibudidayakan di Kepulauan Pasifik tidak ditemukan di Taiwan, melainkan hanya ditemukan di Indonesia dan di beberapa bagian Philipina. Selain itu, kata *nieur (Ina. Nyiur) di temukan di seluruh Asia Tenggara Kepulauan dan kepulauan Pasifik kecuali Taiwan (Blust, 1984:220). Hal tersebut jelas membuktikan bahwa, walaupun pertanian padi merupakan sistem pertanian yang dikembangkan nenek moyang Austronesia di Asia Tenggara Daratan dan Taiwan, tetapi mereka menanam beberapa jenis tanaman umbi-umbian sejak mereka mendiami Kepulauan Filipina bagian selatan, Indonesia bagian timur dan kepulauan Pasifik. Ada kemungkinan bahwa orang Austronesia yang datang di kepulauan Indonesia bagian timur dari Filipina mengadopsi sistim pertanian yang dimiliki oleh orang Non-Austronesia yang telah mendiami daerah ini sejak masa sebelumnya.

c. Domestikasi Hewan
Menurut Bulmer, berdasarkan temuan dari sebuah situs ceruk peneduh di dataran tinggi Nugini, kehadiran babi di Nugini sudah sejak 10.000 BP. Namun, pertanggalan yang dihasilkan diragukan validitasnya, berdasarkan penelitian terbaru oleh Gorecki di pantai utara Nugini, dapat diketahui bahwa keberadaan babi di kawasan tersebut hanya 4.000 SM (Spriggs, 1995:115). Babi bukan merupakan hewan asli kawasan ini, melainkan spesies dari kawasan oriental. Kemungkinan besar babi didatangkan oleh manusia dari kepulauan Asia Tenggara yang ada didekatnya. Spesies babi yang didomestikasi di Nugini merupakan keturunan dari hasil proses persilangan dua individu yang secara genetis tidak identik (hibridisasi) antara spesies dari oriental dan spesies endemik kepulauan Indonesia yang liar, seperti yang terdapat di kepulauan Sulawesi, Roti, Flores, dan Halmahera. Keberadaan domestikasi babi di kepulauan Pasifik dijadikan indikasi bagi kedatangan Austronesia di kawasan tersebut.

Selain dari bukti arkeologis, bukti mengenai domestikasi hewan dapat diketahui dari rekontruksi kosa kata dalam bahasa proto-Austronesia. Kata *beRek (Ina. Babi) dan *Wasu[] (Ina. Anjing) ditemukan sejak dari Taiwan sampai ke seluruh kawasan persebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia, sedangkan kata *laluy (Ina. Ayam) juga ditemukan selain di Taiwan (Blust, 1984:220). Groves (1995) berpendapat bahwa domestikasi babi di Kepulauan Indonesia berasal dari spesies Sus scrofa vittatus yang hidup liar di kawasan barat Indonesia. Karakteristik yang sama juga ditemukan pada babi dari Andaman, Flores, Admiralty serta Vanuatu. Babi jenis tersebut bukan berasal dari jenis yang liar di Cina atau Asia Tenggara daratan. Hal ini membuktikan bahwa, walaupun bangsa Austronesia datang beserta budaya yang dibawa dari Asia Tenggara Daratan, tetapi mereka juga beradaptasi dengan kondisi lingkungan barunya. Babi yang mereka bawa dari Asia Tenggara Daratan kemungkinan besar tidak dapat beradaptasi dengan baik di daerah tropis, sehingga mereka mengembangkan budaya domestikasi dengan jenis babi local yang berasal dari Kepulauan Indonesia.

Seorang Perempuan dari Lembah Was, Dataran Tinggi Nugini, sedang member makan ternak babi. Sumber: Sillitoe, 2007.

Di Kepulauan Maluku Utara, translokasi antar pulau fauna marsupial, yaitu kuskus (Phalanger ornatus) dan wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) telah dikenal oleh komunitas Non-Austronesia sebelum kedatangan masyarakat Austronesia. Berdasarkan kajian lingustik, kosa kata *kandoRa (Ina. kus-kus) dan *mansar (bandikoot) ditemukan pada kelompok bahasa PCEMP (Proto Melayu-Polinesia Tengah-Timur) yang dituturkan di Kepulauan Indonesia bagian timur. Namun bentuk kosa kata tersebut tidak ditemukan pada kelompok bahasa PMP (Proto Melayu-Polinesia) yang dituturkan di Philipina dari masa sebelumnya (Tryon, 1995:30). Hal ini mengindikasikan bahwa budaya masyarakat Austronesia di Kepulauan Maluku Utara memiliki peranan penting untuk menjelaskan strategi adaptasi mereka di kawasan tropis.

Keseluruhan data tersebut di atas membuktikan bahwa komunitas Non-Austronesia telah mengenal translokasi hewan antar pulau sejak masa yang cukup tua, sebelum kedatangan masyarakat penutur bahasa Austronesia di kawasan mereka. Di Pasifik, masyarakat Austronesia selain memelihara anjing, babi dan ayam, juga mendistribusikan walabi dan kus-kus dalam pertukaran atau barter antar pulau. Pelayaran dan pertukaran tersebut mengindikasikan bahwa pelayaran antar pulau telah berkembang sebelum kedatangan bangsa Austronesia di kawasan Maluku Utara dan semakin berkembang setelah kedatangan orang Austronesia.

d. Pelayaran Antar Pulau
Nusantara (1989) telah melakukan korelasi antara data hasil ekskavasi dari Leang Burung 2 dengan lukisan gua yang ada di kompleks budaya Toala. Di Leang Burung 2 terdapat temuan berupa hematit yang pemanfaatannya untuk dijadikan bahan pewarna. Data tersebut berasal dari lapisan budaya Toala III (bawah) yang memiliki pertanggalan 32.160 ±330 BP sampai dengan 20.450 ±250 BP. Lukisan perahu yang ada di gua Bulumpong (Pangkep), juga menggunakan warna merah, sehingga ada kemungkinan bahwa pertanggalan lukisan perahu tersebut juga memiliki pertanggalan yang tidak jauh berbeda dengan kronologi lapisan budaya Toala III. Berdasarkan hasil penelitian terbaru, dapat diketahui bahwa lukisan dinding gua di pegunungan karst Mangkalihat, Kalimantan Timur berasal dari Kala Plestosen Akhir (sebelum 10.000 BP). Kemudian budaya lukisan dinding gua berakhir hingga kedatangan masyarakat penutur bahasa Austronesia, pada sekitar 3.500 BP (Chazine, 2005:222).

Di Kepulauan Melanesia bukti pelayaran antar pulau untuk mendistribusikan komoditi obsidian sudah dimulai sejak akhir Kala Pleistosen, dan semakin berkembang hingga awal Holosen. Ada dua tempat yang merupakan sumber obsidian dengan mutu yang baik, yaitu di Lou Island (Kepulauan Admiralty) dan Talasea (New Britain). Pada 12.000 BP, obsidian telah didistribusikan sampai ke Matenkupkum di New Ireland dan ke Matenbek sejak sebelum 5.000 BP. Di situs Balof, obsidian didatangkan dari Talasea dan Lou Island pada 7.000 BP. Bukti tersebut mengindikasikan adanya pelayaran antar pulau di Kepulauan Melanesia sebelum kedatangan masyarakat penutur bahasa Austronesia, dengan jarak sampai sejauh 350 km (Allen, 1989:554-555). Pada masa pra-Lapita sebelum kedatangan masyarakat Austronesia, obsidian Talasea hanya didistribusikan secara terbatas pada kepulauan Admiralti, Daratan New Guinea (Sepik-Ramu Basin), New Ireland, Pulau Nissan, dan di beberapa kepulauan antara New Ireland dan Kepulauan Solomon bagian utara. Tetapi, pada masa Lapita, setelah kedatangan masyarakat penutur bahasa Austronesia, distribusinya meluas dari Bukit Tengkorak, Sabah (Borneo) di sebelah barat, sampai ke Kepulauan Fiji di sebelah timur sejauh 6.500 km (Spriggs, 1995:116).

Berdasarkan bukti linguistik, telah direkonstruksi kosa kata mengenai aspek-aspek teknologi pelayaran yang tersebar di kawasan Pasifik. Rekonstruksi kosa kata tersebut menunjuk pada bahasa Proto Melayu Polynesia yang berasal dari Filipina bagian selatan dan Sulawesi bagian utara. Kata *qaban (Ina. Perahu) tersebar mulai dari Taiwan, tetapi kata *(sc)a-R-man, (Ina. Cadik) *be-R-say (Ina. Dayung), *lane(nN) (Ina. Roda), *layaR (Ina. Layar), *limas (Ina. Timba), *qulin (Ina. Kemudi), dan *teken (Ina. Galah) hanya ditemukan di kawasan barat dan timur tidak di Taiwan (Spriggs, 2000:220). Padahal kosa kata tersebut mengindikasikan aspek-aspek teknologi navigasi yang lebih modern dari pada yang ditemukan di Taiwan.

Ada kemungkinan bahwa pengetahuan orang Austronesia mengenai teknologi pelayaran semakin berkembang di daerah Asia Tenggara Kepulauan. Hal ini dapat diketahui dengan mengamati persamaan bentuk perahu yang digunakan di Kepulauan Solomon dan Botel Tobago (bernama Yamis) dengan yang terdapat di Maluku (bernama Orembai). Hal ini memperkuat dugaan bahwa Kepulauan Maluku merupakan daerah yang penting bagi perkembangan teknologi navigasi dalam hubungannya dengan persebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia.

2. Founder Ideology
Pada umumnya manusia yang melakukan mobilitas memiliki kebutuhan akan identitas. Hal ini akan muncul pada saat suatu komunitas migran ketika berhadapan dengan orang asing yang tidak mengenal sistem budaya komunitas mereka. Komunitas migran memerlukan suatu perangkat identitas diri yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan bahwa mereka bagian dari suatu kelompok tertentu (Sairin, 2002:116). Inovasi di daerah baru memungkinkan para migran untuk menciptakan artefak penanda sebagai perangkat simbol untuk menunjukkan identitas kelompok mereka kepada komunitas lain.

Berdasarkan catatan etnografis beberapa masyarakat Austronesia di Kepulauan Indonesia, terdapat sebuah mekanisme sosial-politis tradisional yang berfungsi sebagai sistem penanda identitas mereka. Pada etnis Minang, Batak dan Badui dikenal adanya sistem kesatuan tiga. Dalam konsep tersebut masing-masing daerah merupakan kekuasaan yang independen. Meskipun demikian satu sama lain dari mereka masih menganggap satu kesatuan. Berdasarkan pengamatan etnografi oleh Van Fraasen (1980) di Halmahera Utar terdapat perbedaan pengelompokan antara masyarakat pantai yang merupakan pendatang dengan komunitas pedalaman yang pada umumnya merupakan penduduk pribumi. Mereka menyebut Soa Siu bagi masyarakat pantai dan Soa Nyagimoi bagi komunitas pedalaman. Studi etnografi yang dilakukan oleh Laksono (2000) menunjukan bahwa masyarakat Kepulauan Kei yang diikat oleh landasan bersama berupa Pela (ikatan persaudaraan) ternyata masih terbagi dalam golongan-golongan yang tercermin dari pola pemukiman mereka yaitu ren-ren (orang kaya/pendatang), mel-mel (tuan tanah) dan iri-iri (budak). Pembedaan penyebutan tersebut merupakan suatu cara untuk menunjukkan identitas masing-masing kelompok.

Kemunculan gerabah Lapita yang khas di Kepulauan Melanesia pada 1.600 BP, mengindikasikan adanya artefak ideologi cikal bakal tersebut. Tipologi gerabah dengan bentuk karinasi dan motif hias geometris, mengindikasikan bahwa pembuat gerabah tersebut memiliki hubungan secara kultural dengan komunitas neolitik dari Kepulauan Asia Tenggara. Di lain pihak, teknik hias tera cap bergerigi yang merupakan hasil inovasi mereka di Kepulauan Melanesia menjadi penciri khusus yang membedakan komunitas Austronesia di kawasan ini dengan saudara sepupu mereka di Asia Tenggara (Tanudirjo, 2002:9). Di Kepulauan Indonesia, bentuk budaya materi yang mungkin dapat merefleksikan ideology cikal bakal adalah bangunan megalitik. Prasetyo (2006) telah merekonstruksi proses muncul dan berkembangnya budaya megalitik di Indonesia. Pada intinya bahwa megalitik tidak muncul pada awal kedatangan masyarakat Austronesia, namun mulai muncul sejak mereka telah mengkoloni dan berkembang di Kepulauan Indonesia. Selain itu, masuknya Kepulauan Indonesia dalam jaringan pelayaran dan perdagangan internasional juga ikut memicu kebutuhan akan identitas pada masyarakat Austronesia.

Pada awal perkembangannya, ideologi cikal bakal merupakan implikasi dari proses migrasi-kolonisasi di daerah baru. Hal ini terjadi pada saat masyarakat yang melakukan kolonisasi telah berkembang, dan kelompok keluarga yang pertama kali mendiami tempat tersebut (membuka lahan) akan menjadi keluarga terhormat dengan status khusus. Posisi penting yang dimiliki keluarga tersebut adalah hak penguasaan lahan, posisi penguasa politis tradisional, penyelenggaraan pesta-pesta adat, serta hak menentukan persekutuan dan perang dengan komunitas lainnya. Kemudian, setelah komunitas para kolonis tersebut semakin berkembang, pada masyarakat tersebut akan terbentuk suatu stratifikasi sosial tertentu (Lihat Bellwood, 2006). Berdasarkan analisis linguistik yang dilakukan oleh Supomo (1995), dapat diketahui institusi kerajaan yang berdiri di Jawa pada masa kuno tersusun berdasarkan sistem kekerabatan. Pada masyarakat Jawa Kuna, satuan teritori terkecil adalah wanua (desa) yang beranggotakan anak thani (anak) dan dipimpin oleh seorang rama (bapak). Aliansi beberapa wanua disatukan dalam sebuah wilayah yang disebut watak dan dipimpin oleh raka atau rake (kakek-nenek). Selanjutnya, institusi politik tertinggi yang merupakan persekutuan beberapa watak diikat dalam sebuah kadatuan (kerajaan) yang dipimpin oleh seorang ratu (leluhur). Nampak bahwa sistem hierarki berjenjang pada masyarakat Jawa Kuna berakar pada konsep ideology cikal bakal yang merupakan ciri khas dalam masyarakat Austronesia.

Pada pengamatan etnografi oleh Koagou di tahun 1978, masyarakat Modole di Halmahera Utara memiliki kepercayaan pada roh-roh orang mati yang dianggap nenek moyangnya. Dengan bantuan Gomatere (shaman), mereka dapat memanggil roh nenek moyang yang disebut Goma, Wongi, atau Wongemi (Koagou, 1980:325-336). Pada etnis Jawa sampai saat ini masih dilaksanakan tradisi bersih desa, dengan tujuan keselamatan dan kemakmuran bagi penduduk desa. Pada ritual ini, doa-doa ditujukan bagi para penguasa gaib (Dhanyang) dan tokoh-tokoh yang diperdewakan. Tokoh-tokoh tersebut merupakan orang terdahulu yang membuka dan membuat peraturan (adat istiadat) di desa yang bersangkutan (Partahadiningrat, 1987-1988:3). Dhanyang sendiri berasal dari kata Dang Hyang yang berarti nenek moyang yang dianggap suci dan diperdewakan. Dalam masyarakat Austronesia, hal tersebut menunjukan adanya pemujaan leluhur dan mengindikasikan keterkaitan yang sangat erat antara manusia dengan leluhurnya. Pada perkembangannya kemudian, ideologi cikal bakal menjadi salah satu faktor pendorong proses migrasi. Pada budaya masyarakat petani Austronesia yang sangat erat kaitannya dengan kebutuhan akan lahan pertanian, ideologi cikal bakal memacu untuk menemukan daerah baru demi masa depan keturunannya.

Kepala Desa, Tetua Desa, Dukun, Pesinden dan Rombongan Penabuh Gamelan Melakukan Ritual Bersih Desa di Punden Desa Pusungmalang. Sumber: Istari, 2009

Selain data arkeologi, berdasarkan data linguistik dan catatan etnografi, dapat diungkapkan beberapa bukti yang mengisyaratkan adanya perpindahan nenek moyang masyarakat Austronesia dan akibatnya yang terjadi. Mitos-mitos yang menyelimuti petunjuk mengenai kedatangan nenek moyang dari seberang lautan masih banyak dijumpai pada berbagai kelompok etnis Austronesia. Walaupun demikian, transformasi budaya yang terjadi pada tiap etnis yang bersangkutan menyebabkan mitos tersebut tereduksi pada bentuk yang lebih beragam. Fox (1995), mencatat beberapa mitos tersebut, seperti: mitos Raja dan Ikan Hiu pada masyarakat Noikoro (Fiji), mitos Jaka Samodra di Gresik (Jawa), dan Brahmana Ida Dalam Ketut Kresna Kepakisan di Bali. Di Maluku Utara, terdapat mitos mengenai Bikoucigara dan Ular Naga yang bertelur empat. Dari keempat telur ini lahir anak-anaknya yang menetap di Loloda, Ternate, Todore dan Bacan. Bikoucigara dalam bahasa Portugis, atau berarti Biksu Segara (?) menemukan empat telur naga yang kemudian lahir tiga putra yang menetap di Loloda (sebelah utara Jailolo), Ternate dan Tidore serta seorang putri yang kemudian menikah dengan orang Bacan. Mitos ini mirip dengan konsep Moluku Kie Raha yang merupakan kesatuan dari empat kerajaan yang ada di Maluku Utara (Abdurrachman, 1980:225). Pada masyarakat di Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, selain memiliki kepercayaan pada Ubila’a atau Dewa Tertinggi, mereka juga percaya pada Atuf yaitu orang yang pertama kali datang di Pulau Yamdena. Kepercayaan tersebut dimanifestasikan dengan membangun Natar, yaitu monumen perahu batu yang berada di tengah-tengah desa, sebagai pusat penyelenggaraan upacara (Wibawa, 2002). Dengan mempelajari konsep budaya mereka maka dapat disimpulkan bahwa pola kognisi berbagai etnis masyarakat Austronesia yang telah terpisah masih dapat dilacak keterkaitannya dengan mempelajari konsep budaya mereka yaitu memiliki nenek moyang yang melakukan perjalanan lewat laut.

Selain erat kaitannya dengan laut, ideology cikal bakal juga erat kaitannya dengan pembukaan dan penguasaan lahan. Hal ini tercermin dengan terminologi suatu kejadian (sejarah) dalam masyarakat Austronesia di Jawa pada masa lampau. Sejarah dalam versi masyarakat tradisional Jawa disebut dengan babad. Kata babad sendiri secara harfiah bermakna pembukaan lahan (lands clearing) yang merupakan tahap awal dalam sistem pengolahan tanah pada masyarakat petani Austronesia. Dalam babad tersebut biasanya diceritakan bahwa munculnya sebuah peradaban besar bermula dari pembukaan lahan. Kerajaan Majapahit misalnya, bermula ketika pembukaan hutan Trik (babad alas Trik) oleh orang-orang dari Madura. Kerajaan Mataram Islam yang beribukota di Kota Gede dibangun di lokasi bekas hutan Mentaok (babad alas Mentaok). Kesultanan Yogyakarta didirikan di dekat lokasi hutan Bering (babad alas Bering). Salah satu contoh sejarah versi Jawa yang paling terkenal adalah Babad Tanah Jawi yang menceritakan sejak munculnya kehidupan hingga masa berkuasanya raja-raja Jawa yang diturunkan dari Nabi Adam.

3. Integrasi Budaya Austronesia dan Non-Austronesia
Salah satu kawasan di Kepulauan Indonesia yang dapat mencerminkan integrasi budaya Austronesia dan Non Austronesia adalah Kepulauan Maluku Utara. Di kepulauan tersebut hidup secara berdampingan secara damai masyarakat Austronesia dan Papua. Berdasarkan data linguistik, bahasa Austronesia digunakan di Maluku Utara bagian selatan, sedangkan bahasa Non Austronesia yang merupakan rumpun Papua digunakan di bagian Utara. Di beberapa yang termasuk teritorial kerajaan Ternate, bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca oleh masyarakat setempat yang berbahasa ibu bahasa Non-Austronesia. Akibat penggunaan bahasa perantara, maka terbentuk bahasa Malayu Pasar sebagai bahasa pergaulan yang berlaku di seluruh Maluku Utara (Martodirdjo, 2000:70).

Di Kepulauan Maluku Utara terdapat empat institusi politik yang disatukan dalam konsep Moluku Kie Raha yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Kempatnya memiliki independensi masing-masing, walaupun dalam perjalanan sejarahnya tiap institusi tersebut pernah saling mendominasi atas yang lainnya. Berdasarkan ciri-ciri linguistiknya, masyarakat Ternate, Tidore dan Jailolo termasuk dalam rumpun bahasa Non-Austronesia, sedangkan Bacan merupakan komponen budaya tersendiri yaitu Austronesia. Asumsi linguistik menyatakan bahwa perbedaan bahasa merupakan indikasi perbedaan suku bangsa dan semakin jauh perbedaan suku bangsa maka semakin jauh pula hubungan kognitif diantaranya. Namun yang terjadi di Maluku Utara adalah sebaliknya, Bacan yang cenderung berbudaya Austronesia diikat bersama Ternate, Tidore, dan Jailolo yang NonAustronesia dalam konsep Moluku Kie Raha. Di kawasan tersebut, Bacan merupakan bagian integral dari pola pemikiran tradisional Maluku Utara.


PENUTUP

Pada saat masyarakat penutur bahasa Austronesia datang di Kepulauan Indonesia, kawasan ini bukanlah suatu daerah kosong tidak berpenghuni. Beberapa pulau di Kepulauan Indonesia telah dihuni oleh komunitas Non-Austronesia. Pada kondisi seperti ini, terjadinya kontak antar budaya merupakan peluang yang sangat besar. Akibat dari proses adaptasi, inovasi, dan interaksi antar budaya di kawasan koloni barunya tersebut tercermin pada perkembangan teknologi alat kerang, teknologi pelayaran dan domestikasi hewan yang dimiliki masyarakat penutur bahasa Austronesia. Selain interaksi antar budaya, proses migrasi-kolonisasi Austronesia juga memunculkan ideologi cikal bakal pada struktur sosial budaya mereka. Hal tersebut masih dapat ditelusuri pada catatan etnografi yang masih ada hingga saat ini, baik pada masyarakat penutur bahasa Austronesia di Kepulauan Indonesia maupun komunitas lainnya di Kepulauan Indo-Pasifik.

Tahapan interaksi antar budaya untuk kasus migrasi-kolonisasi masyarakat penutur bahasa Austronesia di Kepulauan Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut: Intrusi budaya baru yang datang di Kepulauan Indonesia dibawa oleh masyarakat Austronesia. Akibat dari peristiwa tersebut, di kawasan Kepulauan Indonesia muncul budaya neolitik. Kemudian, setelah terjadi kolonisasi oleh masyarakat Austronesia, budaya neolitik di Kepulauan Indonesia mengalami inovasi yang disebabkan oleh evolusi budaya dan interaksi antara masyarakat pendatang Austronesia dengan komunitas Non-Austronesia yang telah menghuni kawasan ini sejak masa sebelumnya. Evolusi dan interaksi antar budaya yang intensif menyebabkan integrasi budaya Austronesia dan Non-Austronesia di Kepulauan Indonesia. Meskipun demikian, masing-masing budaya tersebut tidak benar-benar melebur menjadi satu, karena masih dapat diamati dan dikelompokkan aspek-aspek dari masing-masing budaya yang berintegrasi tersebut.


KEPUSTAKAAN

Anceaux, J.C. 1991. “Beberapa Teori Linguistik Tentang Tanah Asal Bahasa Austronesia”, dalam Harimurti Kridalaksana, ed. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72-92.

Abdurrachman, Paramita R. 1980. “Kegunaan Sumber-Sumber Portugis dan Spanyol untuk Penulisan Sejarah Maluku Utara”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, Jakarta: Depdikbud, hlm. 247-262.

Abercrombie, M., M. Hickman, M.L. Johnson dan H. Thain. 1993. Kamus Lengkap Biologi, Edisi ke-8, Terjemahan, Jakarta: Penerbit Erlangga

Allen, Jim, Chris Gosden, dan Peter White. 1989. “Human Pleistosen Adaptations in the tropical island Pacific: recent evidence from New Ireland, a Greater Australian outlier”, Antiquity 63, hlm. 548-561.

Asato, Shijun. 1990. “The Distributions of Tridacna Shell Adze in the Southern Ryukyu Islands”, dalam Peter Bellwood, ed., Bulletin of Indo-Pacific Prehistory, vol.1 (1990), Canberra: ANU Press, hlm. 283-290.

Bellwood, Peter. 1975. Man’s Conquest of the Pacific, Auckland: Collins

____________. 1995. “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 96-111.

____________. 2000. Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

____________. 2006. “Hierarcy, Founder Idiology and Austronesian Expansion”, dalam James J. Fox dan Clifford Sather (eds), Origin, Ancestry and Alliance, Exploration in Austronesian Ethnography, Canberra: ANU Press, hlm. 19-41.

Blust, Robert. 1984. “Austronesian Culture History: Some Linguistic Inferences and their Relations to the Archaeological Record”, dalan Peter Van de Velde, eds., Prehistoric Indonesia, USA: Foris Publications, hlm. 218-241.

____________. 1984-1985. “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective”, Asian Perspectives 26 (1), hlm. 45-68.

Chambers, Geoffrey K. 2006. “Polynesian Genetic and Austronesian Prehistory”, dalam Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh, Mohammad Hisyam. eds, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 299-319.

Chazine, Jean-Michel. 2005. Rock Art, Burials and Habitations: Caves in East Kalimantan. Asian Perspectives 44 (1). Hawai’i: University Press. hlm. 219-230.

Chazine, Jean-Michel dan Jean-George Ferrié. 2008. Recent Archaeological Discoveries in East Kalimantan, Indonesia, dalam Bulletin Indo-Pacific Prehistory Association No. 22, hlm. 16-22

Fox, James J. 1995. “Austronesian Societies and Their Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon. eds, The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU printing Service. hlm. 214-228.

Golson, Jack. 1990. “No Room at the Top: Agriculture Intensification in New Guinea Highland”, dalam J. Allen, J. Golson, dan R. Jones ed., Sunda and Sahul: Prehistoric Studies in South-East Asia, Melanesia and Australia, London: Academic press, hlm. 601-638.

Groves, Colin P. 1995. “Domesticated and Commensal Mammals of Austronesia and Their Histories”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 152-164.

Istari, T.M. Rita. 2009. “Tradisi Bersih Desa di Lereng Gunung Bromo”, Artikel Lepas dalam http://www.arkeologijawa.com

Jacob, Teuku. 1967. “Some Problems Pertaining to the Racial History of the Indonesian Region”, Disertasi Doktoral, Utrecht: Drukkerij Neerlandia

Kirch, Patrick V. “Subsistence and Ecology”, dalam The Prehistory of Polynesia, London: Harvard University press, hlm. 286-307.

Koagou, P.H. 1980. “Suatu Pendekatan Teoretis Mengenai Penelitian Shamanisme di Modole”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, Jakarta: Depdikbud, hlm. 325-336.

Laksono, P.M. 2000. “The House of Ren-Ren: The Identity of the Host People in the Kei Islands,” dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, Yogyakarta: PSAP-UGM, hlm. 287-300.

Morwood, M.J., dkk. 2004. “Archaeology and Age of a New Hominin from Flores in Eastern Indonesia”, Nature, Vol. 341, http://www.nature.com

Nusantara, Ariobimo. 1989. “Kronologi Lukisan Dinding Gua di Kab. Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, Tinjauan Berdasarkan Analisis Kontekstual”, Skripsi, Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada.

Ono, Rintaro, A Typological Study of Micronesia Shell Adze: Their Origin and Cultural-Historical Relationships in the Pacific and Southeast Asian World.

Partahadiningrat, KRT. 1987-1988. Bersih Dhusun, Merti Dhusun, Merdi Dhusun utawi Rasulan sakeplasan, Yogyakarta: Jarahnitra.

Pietrusewsky, Michael. 2006. “The Initial Settlement of Remote Oceania: the Evidence from Physical Anthropology”, dalam Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh, Mohammad Hisyam. eds, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 320 – 347.

Prasetyo, Bagyo. 2006. “Austronesian Prehistory from the Perspectives of Comparative Megalithic”, dalam Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh, Mohammad Hisyam. eds, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 163-173.

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sémah, François., Anne-Marie Sémah dan Magali Chacornac-Rault. 2006. “Climate and Continental Record in Island South East Asia since the Late Pleistocene: Trends in Current Research, Relationship with the Holocene Human Migration Wave”, dalam Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh, Mohammad Hisyam. eds, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 15 – 29.

Sillitoe, Paul. 2007. “”, dalam Umberto Albarella, Keith Dobney, Anton Ervynck dan Peter Rowley-Conwy (eds), Pigs and Human, 10.000 Years of Interaction, Oxford: University Press, hlm. 330-356.

Soegondho, Santosa. 2000. “Tradisi Neolitik di Halmahera: Bagian dari Budaya Pasifik”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, Yogyakarta: PSAP-UGM, hlm. 262-264.

Spriggs, Matthew, “What is Southeast Asian about Lapita?”, hlm. 324-348.

____________. 1995. “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania” dalam Peter Bellwood, James J Fox dan Darell Tryon, ed., The Austronesians: Historical and Comparative Perspective, Canbera: ANU, hlm. 112-133.

____________. 2000. “Out of Asia: The Spread of Southeast Asian Pleistocene and Neolithic maritime culture in Island southeast Asia and Western Pacific”, dalam Sue O’Connor dan Peter Veth eds., East of Wallace’s Line, Studies of Past and Present maritime culture of the Indo-Pacific Region, Rotterdam: A.A. Balkema, hlm.51-76.

Supomo, S. 1995. “Indic Transformation: The Sanskritization Java and Javanizationof the Bharata”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU printing Service, hlm. 291-313.

Tanudirjo, Daud Aris. 2002. Arkeologi Indonesia Dalam Konteks Proses Global, makalah disampaikan dalam PIA IX dan Kongres IAAI, Kediri.

Teljeur, Dik. 1980. “Masalah Praktis Dalam Peneitian Antropologi Budaya di Pulau Halmahera Selatan”, E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 1 Nomor Istimewa (I) Halmahera dan Raja Ampat, Jakarta: Depdikbud, hlm. 79-83.

Tryon, Darrell. 1995. “Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 30.

Van Freesen, Ch. F. 1980. “Types of Sociopolitical Structure in North Halmahera History”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, Jakarta: Depdikbud

Wasita. 1999. “Faktor Pendukung Budidaya Padi Masa Prasejarah”, Naditira Widya No. 03, Banjarmasin: Balai Arkeologi, hlm. 61-69.

Wibawa, Soni Prasetia. 2002. “Monumen Natar di Desa Sangliat Dol, Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, Maluku: Fungsi dan Kedudukannya dalam Pemukiman Tradisional”, Skripsi, Yogyakarta: Fak. Ilmu Budaya, Univ. Gadjah Mada.

Awal Pendaratan Austronesia di Pantai Utara Jawa, Sebuah Prospek Melacak Nenek Moyang Etnis Jawa

Tinggalkan komentar

Oleh: Sofwan Noerwidi
Balai Arkeologi Yogyakarta


Abstrak

Pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan Nusantara. Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 BP yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra. Namun, bukti arkeologis yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis tersebut masih sangat terbatas, sehingga proses awal penghunian pulau Jawa oleh masyarakat neolitik Austronesia masih menjadi misteri. Mungkin saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial. Data geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat penting untuk mengungkap kasus tersebut. Selain itu juga perlu diperhatikan perubahan muka air laut pada masa lampau. Metode pencarian data dari bidang lain mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya.


Abstract

Java Island is the densest island in the Indonesian Archipelago. From linguistic evidence, Blust (1985) argued that there are the created process of proto Javanese, Balinese, Sasak and West Sumbawa language took place approx. in the last 2500 years, which came from a language spoken somewhere in Sumatera or Borneo. The archaeological evidence, which can support these linguistic hypotheses is very rear uncovered, this causes reconstruction of the process of colonization in Java Island by Austronesia speaking people to still be a mystery. Maybe, early Neolithic sites along north coast of Java buried under alluvial deposit at the present time. Geomorphology and Geological data are very important to answer this case. Another hand, ancient sea level fluctuation will be an important factor. Survey methodology from other discipline will very helpful, such as Geo-electric.


Terminologi Austronesia

Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa terbesar yang digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, membentang dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur, serta membujur dari Taiwan dan Hawai’i di utara hingga Selandia Baru di selatan. Luas persebarannya menjadikan rumpun bahasa Austronesia sebagai bahasa terbesar sebelum masa kolonialisme bangsa Eropa. Turunan rumpun bahasa Austronesia beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta orang, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa dan Tagalog. Saat ini, bahasa Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh etnis tertentu di Taiwan (seperti; Atayal, Tsou dan Paiwan), Vietnam, Kamboja (etnis Cham), Birma (pengembara laut di Kep. Mergui), Timor Leste (seperti; Tetum, Quemac, dan Tocodede) dan beberapa etnis di pantai utara Papua (lihat: Tryon, 1995: 17-19 dan Martins, 2000: 78).

Persebaran Berbagai Rumpun Bahasa Manusia (www.wikipedia.com)

Istilah Austronesia pada awalnya diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara Kepulauan, Micronesia, Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Pada perkembangannya, istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu komunitas yang berbudaya Austronesia serta menuturkan bahasa Austronesia. Perhatian terhadap kajian rumpun bahasa Austronesia dapat dirunut hingga awal abad 16, ketika para pengembara mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia dari tempat-tempat yang mereka kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta (seorang berkebangsaan Italia) yang ikut dalam ekspedisi Magellan 1519-1522 (Fox, 2004: 3). Kapten Cornelis de Houtman seorang kapten kapal Belanda yang berlayar menuju Hindia Timur (mendarat di Banten) melalui Madagaskar pada tahun 1596, mengamati berbagai kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu (Tanudirjo, 2001:9).

William von Humboldt adalah tokoh yang pertama kali mengajukan istilah “Malayo- Polynesia” untuk menyebut bahasa-bahasa di kawasan Malaya sampai Polynesia yang memiliki kemiripan. Pada tahun 1889, berdasarkan pada kajian linguistik yang detail dan sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun bahasa “Malayo-Polynesia” menjadi bahasa “Malayo-Polynesia Barat” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan serta Micronesia bagian barat, dan bahasa “Malayo-Polynesia Timur” yang terdiri dari bahasa-bahasa di Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Kemudian pada tahun 1906, Wilhelm Schmidt memperkenalkan terminology “Austronesia”, untuk menyebut bahasa “Malayo-Polynesia”. Selain itu beliau juga mengajukan hipotesis bahwa pada masa lampau di Asia daratan terdapat bahasa “Austric” yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Selain itu, di Asia Daratan juga terdapat beberapa rumpun bahasa besar lainnya, antara lain adalah; Indo-Eropa, Sino-Tibetan, Tai-Kadai, Altaic, Korea, dan Hmong Mien. Bahasa Austronesia kemudaian menurunkan bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik, sedangkan bahasa Austroasiatic berkembang menjadi dua rumpun besar bahasa yaitu; bahasa Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di India bagian timur (lihat: Anceaux, 1991:73 serta Blench dan Dendo, 2004: 13).

Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi yang pertama kali mengadopsi konsep budaya Austronesia dari para linguist. Beliau berpendapat bahwa luas persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya Vierkantbeil Adze, dengan ciri utamanya adalah kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Roger Duff kemudian melakukan kajian berdasarkan hasil penelitian Geldern. Beliau melakukan klasifikasi tipologi beliung persegi berdasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman dan bentuk pangkal (Duff, 1970:8). Akhirnya Duff sampai pada kesimpulan bahwa persebaran komunitas Austronesia di Kepulauan Indonesia (kecuali Papua) yang didukung dengan pola subsistensi pertanian berasal dari Semenanjung Malaya bagian selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung paruh (Malayan Beacked Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff, 1970:14). Ahli lainnya adalah Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa-Huynh dan Kalanay di Asia Tenggara Kepulauan dan Lapita di Melanesia bagian barat memiliki hubungan dengan persebaran orang Austronesia. Namun, beliau mengajukan istilah Nusantau untuk menyebut kelompok orang Austronesia dan budayanya tersebut.


Persebaran Austronesia

Sangat mengagumkan melihat persebaran rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan pada hampir seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya. Hendrik Kern mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa Austronesia menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa beliau pada suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-49).

Robert Blust (1984-1985) seorang linguist, berusaha menyusun silsilah kekerabatan bahasa Austronesia dengan menggunakan metode “Wörter und Sachen Technique”, yaitu dengan menggunakan kosa kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai referensi yang diketahui oleh penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut juga digunakan sebagai dasar untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam penutur bahasa yang direkonstruksi. Hasil reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang bahasa Austronesia dituturkan di sekitar daerah yang tidak jauh dari Pulau Taiwan (Formosa) pada kurun sebelum 4.500 SM. Kemudian bahasa tersebut memisahkan diri menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan Paiwan) dan Proto Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4.500 SM. Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan Melayu-Polynesia Timur-Tengah pada 3.500 SM. Pada 3.000 SM, bahasa Melayu- Polynesia Barat berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan antara Filipina Selatan, Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan Melayu-Polynesia Timur-Tengah berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan Melayu-Polynesia Timur. Akhirnya, pada 2.500 SM bahasa Melayu-Polynesia Timur berkembang menjadi bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat dan bahasa Oseania.

Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978)

Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express Train from Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl), An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept (Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers, 2006:303). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya terdapat tiga kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari dari kawasan Melanesia. Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98).


Kolonisasi Austronesia di Jawa

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan Nusantara. Dari sudut pandang genetik dan linguisik, pada saat ini mayoritas penduduk Pulau Jawa adalah masyarakat dengan ciri genetik Mongoloid serta menuturkan bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Sampai saat ini, penjelasan yang paling luas diterima bagi kasus penyebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia adalah Blust-Bellwood model yang dibangun berdasarkan gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan mereka disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to Polynesia yang intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi dari Taiwan sejak 5.000 BP menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan, Micronesia hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via Filipina. Pada masa sebelumnya, Taiwan dikoloni oleh sekelompok populasi petani dari daratan Cina Selatan via Pulau Peng Hu (Pascadores) pada sekitar 6.000 BP akibat tekanan demografi (Tanudirjo, 2006: 87).

Persebaran Geografis Bahasa Austronesia (Diamond, 2000)

Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa kelompok bahasa Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Barito di Kalimantan Selatan (termasuk Madagaskar). Beliau menduga bahwa proto kelompok bahasa-bahasa tersebut dituturkan di bagian tenggara Kalimantan pada periode 1000-1500 SM. Kemudian mengalami pemisahan yang pertama menjadi nenek moyang Bahasa Barito, Bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Jawa-Bali-Sasak. Proses pemisahan berikutnya yang dialami oleh proto bahasa-bahasa tersebut terjadi pada 800-1000 SM. Namun proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 tahun terakhir yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra.


Beberapa Permasalahan

Berdasarkan kajian arkeologi, “paket” budaya neolitik yang dapat diasosiasikan dengan penyebaran komunitas Austronesia awal dari Taiwan antara lain adalah; pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah berdasar membulat berhias slip merah, cap, gores dan tera tali dengan bibir melipat ke luar, kumparan penggulung benang dari tanah liat, beliung batu dengan potongan lintang persegi empat yang diasah, artefak dari batu sabak (lancipan) dan nephrite (aksesoris), batu pemukul kulit kayu, serta batu pemberat jala. Beberapa dari kategori tersebut, terutama gerabah slip merah berlanjut hingga Indonesia timur kemudian menuju Oseania dalam bentuk komplek budaya Lapita (3.350-2.800 BP) (lihat: Bellwood, 2000: 313 dan 2006: 68). Namun, bukti arkeologis tersebut di atas yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis linguistik Blust masih sangat terbatas ditemukan di Pulau Jawa, sehingga proses awal penghunian pulau ini oleh masyarakat neolitik penutur bahasa Austronesia sampai sekarang masih menjadi misteri.

Data arkeologis yang mengindikasikan adanya kolonisasi Austronesia di Jawa adalah persebaran berbagai macam tipologi beliung persegi yang telah dicatat oleh H.R van Heekeren (1974), antara lain dari daerah; Banten, Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang), Pasir Kuda (Bogor), Cibadak, Cirebon, Tasikmalaya (Priangan), Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas), Semarang, Yogyakarta, Punung dan Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang, Kendeng Lembu dan Pager Gunung (Besuki). Namun sayangnya, sebagian besar dari temuan tersebut berasal dari laporan penduduk dan situs yang tidak jelas asal- usulnya, kecuali beberapa situs yang saat ini telah di teliti secara intensif seperti misalnya Punung.

Bukti arkeologis yang langsung dapat digunakan untuk mendukung hipotesis linguistik masih sangat sedikit yang ditemukan, sehingga proses awal penghunian Pulau Jawa oleh masyarakat penutur bahasa Austronesia sampai saat ini masih menjadi misteri. Proses transformasi data arkeologi berpengaruh sangat besar bagi proses pembentukan dan ditemukannya bukti-bukti arkeologis tersebut. Mungkin keadaannya pada saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial, sehingga sukar untuk ditemukan dan diteliti (Bellwood, 2000: 337). Hal tersebut disebabkan karena di pulau Jawa terdapat beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara, antara lain adalah; Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum di bagian barat, Sungai Kuto, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi di bagian Tengah, serta Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas yang mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura. Permasalahan yang serupa mungkin juga terjadi pada situs-situs di pantai timur Sumatra yang diperkirakan menjadi lokasi pendaratan Austronesia di pulau tersebut.


Prospek Penelitian

Untuk menyiasati permasalahan belum banyaknya bukti arkeologis akibat proses transformasi tersebut, maka harus dicari situs-situs di kawasan yang diperkirakan selamat dari proses pengendapan yang cepat oleh material alluvial kegiatan vulkanik beberapa gunung berapi yang dimulai sejak Jaman Kuarter. Data geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Selain itu juga perlu diperhatikan perubahan tinggi muka air laut pada masa lampau. Berdasarkan pada indicator biogenic dan inorganic untuk merekonstruksi muka air laut pada masa lampau, dapat dikatahui bahwa di Semenanjung Malaysia dan Thailand yang gerak tektoniknya stabil, muka air laut lebih tinggi 5 meter dari muka air laut sekarang yang terjadi pada 5.000 BP (lihat: Tjia, 2006). Jika hal ini juga terjadi di pantai utara Jawa, maka situs-situs pendaratan Austronesia antara 3.000-2.500 BP harus dicari pada kawasan pantai yang konturnya lebih tinggi dari 3-4 meter di atas permukaan laut saat ini.

Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas, maka beberapa kawasan pantai utara Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang memiliki potensi sebagai lokasi pendaratan Austronesia adalah pantai-pantai di sepanjang Semenanjung Blambangan, Tuban, Semarang dan Batang. Oleh karena itu, harus dicari situs permukiman neolitik terbuka di sekitar kawasan pantai-pantai tersebut. Metode pencarian data dari bidang keilmuan lain mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya yang berguna untuk membantu menemukan garis pantai masa lampau sesuai dengan kronologi yang diinginkan (3.000-2.500 BP untuk awal pendaratan Austronesia di Pulau Jawa berdasarkan hipotesis linguistik).

Kondisi Geomorfologi Pulau Jawa, dan Hipotesis pendaratan Austronesia

Mahirta (2006) mengembangkan beberapa model migrasi-kolonisasi yang diajukan oleh Moore untuk diujikan pada kasus persebaran Austronesia. Beliau berpendapat bahwa di Kepulauan Indonesia bagian timur terdapat dua macam pola permukiman prasejarah Austronesia, yaitu (1) permukiman tersebar di sepanjang pantai jika mengkoloni pulau yang tidak terlalu besar, seperti misalnya Pulau Kayoa dan Pulau Gebe di Maluku Utara dan (2) permukiman berkembang memanjang ke pedalaman sejajar dengan alur sungai, seperti misalnya situs-situs Kalumpang di Sulawesi Barat dan permukiman tradisional etnis Dayak di Kalimantan yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini (lihat: Mahirta, 2006). Melihat beberapa kasus tersebut, maka sebaiknya dalam eksplorasi situs-situs di pantai utara Jawa juga memperhatikan keberadaan sungai yang dapat berpotensi sebagai jalur akses menuju ke pedalaman. Hal tersebut disebabkan karena Pulau Jawa terlalu luas bagi komunitas Austronesia jika hanya dikoloni pada bagian sekeliling garis pantainya saja. Selain itu, komunitas petani dan peternak Austronesia tentunya membutuhkan dataran alluvial gunung berapi yang subur di lokasi yang lebih ke pedalaman untuk mengembangkan pola subsistensi bercocok tanam biji-bijian di Pulau Jawa. Dalam hal ini, beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara Jawa harus mendapat perhatian khusus, seperti misalnya Sungai Tuntang di Semarang.

Sebagai referensi lainnya, pada situs-situs Austronesia awal di Cina daratan dan Taiwan, rupa-rupanya telah dikenal sistem pemukiman menetap, dan berkelompok di tempat terbuka dalam bentuk perkampungan. Situs-situs pemukiman rumah panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou dan Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200 SM. Rumah-rumah tersebut berdenah persegi yang dibangun dengan teknik lubang dan pasak yang amat rapi dan didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil. Kemudian pada masa selanjutnya muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan yang bertarik 1500 dan 800 SM. Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi t’ou di Taiwan yang dihuni 2500-500 SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni 2500-1500 SM (Bellwood, 2000: hlm. 309, 315, 319, dan 323). Di Pasifik, pola permukiman budaya Lapita pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung yang berada di pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan Mussau dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai dengan sebaran pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian (Spriggs, 1995: 118).

Berdasarkan data linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsur- unsurnya permukiman lainnya ditemukan di seluruh kawasan barat dan timur persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq (Ind. Rumah) telah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan (Blust, 1984-1985: 220). Sedangkan berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sistem permukiman terbuka tradisional dengan rumah panggung masih banyak ditemukan pada masyarakat tradisional Austronesia, seperti: Rumah Gadang (Minangkabau), Lamin (Dayak), Tongkonan (Toraja).


Implikasi

Banyak situs permukiman neolitik telah ditemukan di Indonesia, dan beberapa diantaranya telah dilakukan penelitian secara intensif, seperti misalnya; Tipar Ponjen, Purbalingga (1.180-870 BP), Nangabalang, Kalimantan Barat (2.871 BP), Minanga Sipakko, Sulawesi Barat (2.570 BP) dan Punung, Pacitan (2.100-1.100 BP) (Simanjuntak, 2002). Namun dari beberapa situs tersebut hanya Situs Kendenglembu di Pulau Jawa, yang merupakan satu di antara dua (yang baru ditemukan) kompleks situs permukiman pure (murni) neolitik di Indonesia berdasarkan kerangka kronologi (bukan tradisi). Situs sejenis lainnya adalah situs-situs di sepanjang Sungai Karama, Kalumpang di Sulawesi Barat, mulai dari Tasiu, Sikendeng dan Lattibung di hilir hingga Minanga Sipakko, Kamassi dan Tambing-tambing di hulu (lihat: Simanjuntak 2006).

Namun, berbeda dengan situs-situs Kalumpang yang terletak di sepanjang Sungai Karama dari hilir hingga hulu, Situs Kendenglembu merupakan situs pedalaman di selatan Jawa bagian timur yang kelihatannya tidak memiliki akses sungai menuju ke pantai utara Jawa, tempat diperkirakannya awal pendaratan Austronesia di pulau ini. Walaupun demikian, melihat perkembangan yang cukup signifikan dari hasil penelitian Situs Kalumpang, maka perlu juga dilakukan penelitian secara sistematis di Situs Kendenglembu dan eksplorasi situs-situs permukiman terbuka neolitik lainnya di pantai utara, yang diperkirakan merupakan situs koloni awal (pendaratan) Austronesia di Pulau Jawa, sebagai cikal bakal atau nenek moyang etnis Jawa di pulau ini.


REFERENSI

Anceaux, J.C. 1991, “Beberapa Teori Linguistik Tentang Tanah Asal Bahasa Austronesia”, dalam Harimurti Kridalaksana, ed. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72-92.

Bellwood, Peter. 1995. “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 96-111.

2000. Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

2006 “The Early Movement of Austronesian-speaking-peoples in the Indonesian Region”, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 61-82.

Blench, Roger dan Mallam Dendo. 2004. “Stratification in the Peopling of China: How Far Does the Linguistic Evidence Match Genetics and Archaeology?”, Paper for the Symposium : Human migrations in continental East Asia and Taiwan: genetic, linguistic and archaeological evidence, Genève: Université de Genève

Blust, Robert. 1984-1985. “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective”, Asian Perspectives 26 (1), hlm. 45-68.

Chambers, Geoffrey K. 2006. “Polynesian Genetic and Austronesian Prehistory”, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 299-319.

Diamond, Jared. M. 2000. “Taiwan’s gift to the world”, Nature, Vol. 403, Macmillan Magazines Ltd

Duff, Roger. 1970. Stone Adze of Southeast Asia, New Zealand: Centerbury Museum

Fox, James J. 2004. “Current Developments in Comparative Austronesian Studies”, makalah disampaikan dalam Symposium Austronesia, Pascasarjana Linguistik dan Kajian Budaya, Universitas Udayana, Bali

Heekeren, H.R. van. 1972. “The Stone Age of Indonesia”, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Tall-, Land-, en Volkenkunde, 61, Revised Edition, The Hague: Martinus Nijhoff

Mahirta. 2006. “The Prehistory of Austronesian Dispersal to the Southern Island of Eastern Indonesia”, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 129-145.

Martins, F.M. 2000. “Susunan Beruntun dalam Bahasa Bunac” dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, Yogyakarta: PSAP-UGM, hlm. 77-89.

Simanjuntak, Truman, ed. 2000. Gunung Sewu in Prehistoric Times, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Simanjuntak, Truman. 2006. “Advance of Research on the Austronesian in Sulawesi”, dalam dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 223-231.

Spriggs, Matthew. 1995. “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 112-133.

Tanudirjo, Daud Aris. 2001. “Island In-Between: the Prehistory of Northeastern Indonesia. Ph.D. Thesis, Canberra: ANU.

2006. ”The Dispersal of Austronesian-speaking-people and the Ethnogenesis Indonesian People” dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 83 – 98.

Tjia, H.D. 2006. “Geological Evidence for Quaternary Land Bridge in Insular Southeast Asia”, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed. Archaeology: Indonesian Perspective, R.P. Soejono’s Festschrift, Jakarta: LIPI Press. hlm. 71-82.

Tryon, Darrel. 1995. “Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds.), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 17-38.