W. Djuwita Ramelan
Departemen Arkeologi FIB UI


ABSTRAK

Pengelolaan cagar budaya memerlukan penanganan tidak saja oleh para arkeolog tetapi oleh semua pemangku kepentingan. Cagar budaya yang merupakan warisan budaya adalah milik publik. Cagar budaya memerlukan sebuah sistem legislasi dan administrasi yang khas sesuai dengan publiknya. Permasalahan dalam pengelolaan selama ini sebagian besar terjadi karena adanya perbedaan pemahaman tentang konsep dasar pelestarian khususnya dalam pemanfaatannya. Pengembangan dalam berbagai kajian manajemen sumber daya arkeologi dari berbagai bidang ilmu harus dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengelolaannya sehingga sesuai dengan kepentingan publiknya.


ABSTRACK

Material culture needs to be managed not only by archaeologists but also by all stakeholders. The material culture that is cultural heritage is public owned. It needs a specific legislation and administration systems according to the public. Most of the problems in the management until now happen because of difference understanding in the basic concept of preservation, especially in the utilization. Development of various archaeological resources management studies in various sciences should be able to contribute ideas for its managements so that it would be according to the public interest


A. PENGANTAR

Di dalam negara berkembang seperti Indonesia, pengembangan kebudayaan menyangkut dua hal yang selalu diperhadapkan, yaitu kepentingan materi dan ideologi. Permasalahan yang diakibatkannya tidak akan pernah berhenti selama kepentingan materi lebih besar daripada kepentingan ideologi. Permasalahan di negara semacam ini tidak pernah lepas dari konflik politik dan sosial, korupsi, kekurangan dana, dan kemiskinan. Di dalam alokasi dana, kebudayaan selalu menjadi prioritas akhir. Hal yang sama juga terjadi di negara kita.

Warisan budaya sangat penting di dalam membentuk nilai dan kebanggaan bangsa melalui pesan kesejarahan dan informasi yang terkandung di dalamnya. Arkeolog mempunyai kewajiban untuk memberikan makna yang diungkapkan melalui teori prosesual atau hasil interpretasi teori pasca prosesual, yaitu identitas sejarah, budaya, dan sosial.

Masalahnya kemudian adalah, makna dan identitas siapa? Ketika warisan budaya itu dimaknai atau ditafsirkan sebagai identitas bangsa Indonesia, tidak semua masyarakat memiliki pandangan yang sama. Masyarakat akan melihat benda tertentu dengan persepsi tertentu tergantung dari apa yang melatar belakanginya. Apalagi ketika masalah itu menyentuh perbedaan budaya dan agama. Hal itu merupakan salah satu soal di negara berkembang dengan keragaman budaya dan agama seperti negara kita ini. Artinya, tidak ada perspektif sama terhadap suatu warisan budaya. Benar apa yang dinyatakann oleh Hodder (1991), Cleere (1990), Little (2002), dan lain-lain bahwa cagar budaya itu memiliki publik yang banyak.

Makna dan identitas terkandung di dalam warisan budaya. Seperti juga apa yang dinyatakan oleh Edi Sedyawati (2003:2) bahwa benda budaya setidak-tidaknya memiliki dua dari sejumlah aspek intangible yang melekat padanya, yaitu konsep mengenai benda itu sendiri, perlambangan yang diwujudkan melalui benda itu, kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya, isi pesan yang terkandung di dalamnnya khususnya apabila terdapat tulisan padanya, teknologi untuk membuatnya, dan pola tingkah laku yang terkait dengannya. Jadi, apa yang intangible itulah yang harus disampaikan kepada masyarakat dan harus pula ditekankan semua itu merupakan bagian dari identitas bangsa kita.

Tugas para arkeologlah untuk mengarahkan kesatuan pemahaman tanpa merugikan hak-hak masyarakat. Seperti juga ditegaskan oleh Smardz [1] di dalam uraian Merriman (2004: 7) bahwa arkeolog harus dapat menyatukan kebutuhan edukasi, sosial, dan budaya masyarakat melalui kajian manajemen sumber daya arkeologi. Hal itu sejalan dengan pernyataan arkeolog senior Wheeler (1954:224), jauh sebelum kajian manajemen sumber daya arkeologi berkembang: ”It is the duty of the archaeologist to reach and impress the public, and to mould his (sic) words in the common clay of its forthright understanding”.

Permasalahan pengelolaan benda cagar budaya (CB) di Indonesia telah puluhan tahun dibahas oleh para ahli arkeologi dan ilmu-ilmu lain. Namun demikian, masih pula belum ada kejelasan dari semua perdebatan itu. Topik tersebut tidak boleh terus menerus sekadar wacana, diperlukan action dari semua pemangku kepentingan (stakeholder). Master plan yang pernah dilakukan harus digiatkan lagi kini harus merupakan program utama instansi pelestari.


B. PERMASALAHAN PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA

Permasalahan pengelolaan BCB di dalam uraian ini adalah sebagian dari topik yang paling sering muncul di beberapa diskusi di antara para arkelog dan pemangku kepentingan lainnya.

1. Kesamaan Pemahaman terhadap Peraturan Perundangan
Salah satu komponen terpenting dalam pengelolaan cagar budaya adalah perangkat legislasi sebagai dasar kebijakan maupun tinjauan kritis dari ilmu yang mengembangkan bidang itu, baik berupa konvensi, undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan turunannya.

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UUCB), merupakan tugas penting bagi para arkeolog dalam menyatukan pemahamannya. Seringkali peraturan perundang-undangan dianggap sebagai bagian dari tugas ahli hukum untuk memahaminya, padahal dalam hal UUCB arkeologlah yang harus paling mengerti atau memahami isi undang-undang tersebut.

Prinsip dasar yang perlu dipahami secara sama antara lain melingkupi:

a. Terminologi cagar budaya
Dalam UUBCB/No 5/1992 lingkup yang menjadi fokus pengaturan disebut Benda Cagar Budaya dan Situs tetapi dalam UUCB/No 11/2010 disebut dengan Cagar Budaya (CB). Dalam UUBCB/No 5/1992 Pasal 1 disebutkan:

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Benda Cagar Budaya adalah:
a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

2. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.

Sementara itu di dalam UUCB/No 11/2010 ada rincian dan tambahan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 1-6:

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
  2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
  3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
  4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
  5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
  6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Ketika UUCB memberikan batasan yang lebih luas lagi, apa dampaknya terhadap permasalahan yang selama ini terkait dengan cagar budaya? Satu contoh kawasan yang terletak di ibukota, yaitu Kawasan Menteng, Jakarta Pusat. SK Gubernur KDKI Jakarta No D.IV-6098/d/33/1975 menetapkan bahwa Kawasan Menteng sebagai lingkungan pelestarian. Di dalam keputusan itu ditetapkan pula penggolongan bangunan perumahan dan gedung tertentu menjadi golongan pelestarian A, B, C dan D. Kriteria yang ditetapkan, mencakup nilai sejarah, keaslian, kelangkaan, landmark/tengeran, arsitektur, dan umur. Secara realitas, kawasan Menteng kini sedang dihadapkan kepada tekanan-tekanan perkembangan kota dan masalah sosial dari para pemilik aslinya. Meskipun landasan hukumnya sudah jelas, para arkeolog tetap dihadapkan pada suatu permasalahan nyata di lapangan.

b. Penanganan peninggalan arkeologi bawah air
Seringkali pemerintah, khususnya Ditjen Sepur, disebut dengan “jeruk makan jeruk” ketika masyarakat atau sebagian arkeolog membicarakan masalah penanganan peninggalan arkeologi bawah air. Itu pula yang mungkin dibicarakan pada negara-negara lain ketika komersialisasi benda budaya bawah air merupakan hal yang dilematis.

Meskipun telah ditetapkannya Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage 2001 di Paris pada bulan November 2001, masih banyak negara yang masih belum menandatangi perjanjian untuk meratifikasinya termasuk Indonesia seperti dapat dilihat pada tabel 1:

Tabel 1. Daftar negara-negara yang menandatangi konvensi sampai dengan Januari 2010 [2]

Ada empat prinsip yang ditekankan di dalam konvensi itu, yaitu (1) kewajiban untuk melestarikan warisan budaya bawah air, (2) preservasi in situ sebagai opsi yang ditawarkan, (3) tidak boleh dilakukan eksploitasi komersial, dan (4) kerja sama antarnegara dalam beberapa bidang yang terkait. Selama peraturan perundangan kita yang masih berbenturan dengan poin 3, mungkin kita tidak akan pernah menjadi negara penandatangan konvensi.

Permasalahan pengelolaan cagar budaya bawah air dapat diamati mulai dari keberadaan PANNAS Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam yang melibatkan begitu banyak instansi pemerintah (15 instansi) atau merupakan panitia terbesar dan terlama di dunia [3].  Pengaturannya pun selain ditetapkan oleh PANNAS sendiri memerlukan beberapa peraturan menteri terkait. Diperlukan keberanian dari arkeolog pelestari untuk membenahi kerumitan birokrasi itu.

Selain itu, sama dengan permasalahan di dunia, yaitu masih sekitar siapa pemiliknya, bagaimana dan siapa yang harus mengelolanya, di mana harus ditempatkan untuk dipreservasi, dan bagaimana masalah dananya. Hal-hal itu pulalah yang tampaknya menjadi persoalan di negara kita.

Dalam perspektif arkeologi, perlu direnungkan bagaimana mempertanggung jawabkan secara ilmiah benda-benda yang diserahkan kepada investor tercabut dari konteksnya? Mungkinkah kita sempat memberikan makna atau interpretasi identitas atas barang-barang milik investor yang memerlukan tahapan penelitian yang memakan waktu cukup lama? sementara secara perhitungan bisnis, waktu yang lama termasuk ke dalam salah satu komponen bisnis berisiko tinggi.

Kita boleh bersyukur UUCB/No 11/2010 telah menyebutkan peninggalan bawah air yang di dalam UUBCB/No 5/1992 tidak disebutkan sama sekali. Peninggalan bawah air turut disebutkan di bab pertama Pasal 1 Ayat 1 dan 5. Selain itu diatur pula di beberapa pasal penting, yaitu pasal 4 (tentang lingkup pelestarian), pasal 26 ayat 2 dan 4 (tentang pencarian CB dan larangannya), pasal 33 (tentang pengaturan zonasi), dan pasal 34 ayat 4 (khusus tentang perawatan CB bawah air).

Lebih rinci pasal 34 (4) yang khusus tersebut berbunyi:
Perawatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari air harus dilakukan sejak proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya dengan tata cara khusus.

Tinggal bagaimana sekarang undang-undang tentang cagar budaya yang baru itu dapat mengenyampingkan landasan hukum yang mengatur cagar budaya bawah air agar asas ketertiban dan kepastian hukum dapat diterapkan. Peraturan yang terkait dengan peninggalan bawah air, adalah Kep PANAS Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga No. Kep.-4/PN/BMKT/1989 tentang Ketentuan Pelaksanaan Kepres No. 43 th 1989, Kep PANAS Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga No. KEP-25/PN/BMKT/7/ 1991 Tentang Penetapan Jarak (Radius) Lokasi Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga, Kep PANAS Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga No. KEP-11/PN/BMKT/8/1990 tentang Ketentuan Teknis Pelaksanaan Pengangkatan Benda Berharga yang Berada di Daratan, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.

c. Perubahan Kinerja Museum
Dalam pengelolaan benda budaya, seringkali museum dianggap sebagai tempat terakhir yang fungsinya sebagai gudang yang sekali-kali diperlihatkan kepada masyarakat. Museum hanya populer di antara para pelestari dan arkeolog atau murid sekolah dasar dan menengah. Citra museum di masyarakat masih tidak menyenangkan. Museum selalu digambarkan sebagai gedung kuno, gudang benda-benda budaya, kumuh, dan angker. Kondisi ini hampir terjadi di semua museum milik negara. Belum lagi museum yang mengalami masalah dalam aksesibilitas, kesemerawutan kawasan, dan citra buruk kawasan.

ICOM di dalam Code of Ethics for Museums sebenarnya telah menetapkan definisi museum baru sebagai berikut:

A museum is a non-profit making permanent institution in the service of society and of its development, open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits, for purposes of study, education and enjoyment, the tangible and intangible evidence of people and their environment.

Museum-museum milik negara tampaknya masih memerlukan waktu cukup lama untuk dapat mengubah dirinya ke arah museum baru. Di dalam museum baru seperti yang didefinisikan itu, dikembangkan konsep informasi dan komunikasi dari koleksi yang sudah diberi interpretasi menjadi ciri utamanya (Mensch, 2003; Dean, 1994). Apa yang kita lihat di sebagian besar museum adalah sebuah gedung pameran yang tidak dapat memberikan pengetahuan sesuai dengan keinginan pengunjung.

d. Profesionalisme Sumber Daya Manusia
Masalah pendidikan strata 1 di empat perguruan tinggi di Indonesia (UI, UGM, UNUD, dan UNHAS) yang menghasilkan SDM arkeologi tidak mengalami hambatan. Namun demikian, persoalannya adalah bahwa lulusan arkeologi tidak seluruhnya menjadi arkeolog yang bekerja di instansi arkeologi. Ada beberapa sebab, antara lain sangat sedikitnya kesempatan untuk menjadi pegawai di instansi arkeologi dan sebaliknya ada banyak bidang perhatian yang lebih menarik bagi lulusan arkeologi di luar dunia arkeologi.

Apabila di dalam pengelolaan cagar budaya itu kita meletakkan kepentingan masyarakat sebagai salah satu komponen utama, maka pengelola cagar budaya harus memiliki tim yang kompeten untuk melakukan penelitian masyarakat, yaitu ahli sosiologi atau antropologi. Penelitian sosiologi dan antropologi memiliki metode yang berbeda dengan ahli arkeologi. Mereka dibekali pengetahuan dan kemampuan untuk dapat mengamati dan memberikan penafsiran atas keinginan dan perubahan masyarakat yang dinamis. Tim dari berbagai bidang tentu juga sangat diperlukan misalnya ahli hukum, sehingga apa yang dipertentangkan di dalam pemahaman antara UUCB dan undang-undang lainnya atau antara UUCB dengan peraturan pemerintah serta antara UUCB dan peraturan daerah serta peraturan lainnya dapat diarahkan kepada satu persepsi. Tentu saja tidak kalah penting adalah para ahli bidang lainnya yang masih terkait dengan pengelolaan CB.

e. Kelemahan ikatan profesi
Kontrol atas pekerjaan para ahli arkeologi lazimnya dilakukan oleh ikatan profesinya. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) yang telah lahir selama puluhan tahun belum mampu menjadi lembaga kontrol yang efektif. Banyak sebab dari hal itu, antara lain sebagian besar anggota IAAI adalah pegawai di lingkungan arkeologi yang juga pelaku pelestari; sebagian besar anggota IAAI adalah pegawai di lingkungan arkeologi yang terikat oleh aturan birokrasi; IAAI belum menjadi lembaga yang mandiri dalam artian sebuah organisasi; dan IAAI belum mandiri menjadi sebuah organisasi profesi yang mempunyai kekuatan untuk melakukan penilaian pekerjaan instansi arkeologi dan para arkeolog anggotanya atau bahkan memberikan sanksi kepada anggotanya.

Semua permasalahan yang ditunjukkan pada uraian sebelumnya pada intinya harus dikembalikan kepada prinsip-prinsip dasar pelestarian yang secara konseptual telah dibahas selama puluhan tahun di dunia arkeologi. Para arkeolog dunia di dalam memperlakukan benda budaya telah berusaha menyatukan pandangan dengan mengajukan pertanyaan yang sangat hakiki, yaitu apa artinya masa lalu untuk arkeolog? Bagaimana dengan masyarakat yang memiliki sudut pandang yang berbeda dengan apa yang kita pikirkan? Warisan budaya itu milik siapa? Pelestarian benda budaya itu untuk siapa? Bagaimana kita menginterpretasikan, bagaimana kita menyajikannya, dan pelajaran apa yang dapat kita petik dari masa lampau? (Renfrew dan Bahn, 2004; Preucel dan Hodder, 1996; Merriman, 2004; Carmichael dkk, 1994; Smith, 2004).

Secara mendasar dapat dikatakan, bahwa semua action yang akan dan sedang dilakukan untuk pengelolaan cagar budaya haruslah berlandaskan persamaan sudut pandang dari semua stakeholder. Muara dari semua pengelolaan tersebut adalah identitas. Dengan demikian perbedaan kepentingan kelompok atau individual, keyakinan, sosial, dan politik dapat diminimalkan.


C. MANAJEMEN SUMBER DAYA ARKEOLOGI

Semakin meningkatnya dua kepentingan, yaitu pembangunan ekonomi dan pembangunan budaya para arkeolog turut diperhadapkan kebutuhan pemanfaatan cagar budaya untuk kepentingan ekonomi masyarakat. Kondisi tersebut telah menghasilkan kajian baru di dalam ilmu arkeologi yang berkaitan dengan pengelolaan peninggalan budaya.

Pada awalnya, yaitu sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat tumbuh bidang yang disebut dengan istilah Manajemen Sumber Daya Budaya (Cultural Resource Management). Bidang itu berawal dari keprihatinan para pakar arkeologi Amerika terhadap perusakan situs untuk proyek-proyek pembangunan. Sejak tahun 1974, di Amerika Serikat bidang itu makin berkembang sebagai bagian dari disiplin arkeologi (Fowler, 1982:1). Sementara di amerika Serikat dan Australia cabang arkeologi itu disebut dengan istilah cultural resource management (CRM), yang ruang lingkupnya termasuk kebudayaan materi dari masyarakat tradisional, istilah archaeological heritage management (AHM) digunakan secara internasional. Sementara itu di Inggris bidang kajian itu disebut dengan archaeological resource management (ARM). Namun demikian, ada pula yang menyebutnya dengan istilah Conservation archaeology seperti yang diusulkan oleh Schiffer and Gumerman (1977).

Menurut King (2002: 1), manajemen sumber daya budaya:
…… essentially, a process by which the protection and management of the multitudinous but scarce elements of cultural heritage are given some consideration in a modern world with an expanding population and changing needs. Often equated with archaeology, CRM in fact should and does include a range of types of properties: “cultural landscapes, archaeological sites, historical records, social institutions, expressive cultures, old buildings, religious beliefs and practices, industrial heritage, folklife, artifacts [and] spiritual places”.

Pada hakekatnya, arkeolog memiliki peranan yang sangat penting di memberikan interpretasi terhadap benda budaya sebagai sesuatu yang dapat menunjukkan identitas bangsanya. Seperti dinyatakan oleh Renfrew dan Bahn (2004:534): “Collectivelly our cultural inheritance is rooted in deeper past, where lie the origins of our language, our faith, our customs”. Masyarakat harus dapat menangkap nilai yang telah diberikan oleh para arkeolog. Masyarakat harus dapat mengerti bahwa benda yang tersisa itu dapat mengaitkannya dengan nenek moyangnya. Dengan demikian, masyarakat akan memahami identitas dirinya. Demikian pula halnya di museum seperti yang dikemukakan oleh Hooper-Greenhill (2000) bahwa kita harus dapat mengaitkannya benda budaya yang dipamerkan kepada hal yang ingin diketahui oleh pengunjung museum.

Arkeolog harus pula dapat menyeimbangkan sudut sudut pandang etnisitas maupun relijiusitas yang berbeda, seperti cagar budaya “milik kami” atau cagar budaya “milik mereka”. Hal itu merupakan perbedaan sudut pandang yang mendasar sehingga masalah penolakan masyakarat di Bali atas Candi Besakih menjadi warisan dunia tidak perlu terjadi. Tidak kalah penting adalah perbedaan sudut pandang antara kepentingan bangsa yang diperhadapkan dengan kepentingan individual yang mengakibatkan konflik kepentingan atas bangunan milik pribadinya atau perasaan tercabut dari tanah yang telah ditinggalinya secara turun menurun.

Kajian di dalam manajemen sumber daya arkeologi tidak semata-mata milik para arkeolog tetapi terbuka secara lebar untuk berbagai bidang ilmu. Manajemen sumber daya arkeologi merupakan kajian interdisiplin. Setiap bidang ilmu dapat menyumbangkan pemikirannya terhadap sumber daya arkeologi itu menurut sudut pandang ilmunya namun tetap bermuara kepada kepentingan masyarakat.

Sangat menarik apa yang diajukan oleh William D. Lipe seorang pakar arkeologi yang berpengalaman dalam bidang metode dan teori arkeologi serta manajemen sumber daya budaya . Dalam artikelnya “Value and meaning in cultural resources” , ia mengajukan pemikiran bahwa: “All cultural material, including landscapes, that have survived from the past, are potentially cultural resource – that is, have some potential value or use in the present or future”. Lipe memberikan gambaran bahwa ada hubungan antarnilai sumber daya budaya. Sumber daya budaya setidak-tidaknya dapat diberi empat kategori nilai, yaitu ekonomi, estika, asosiasi/simbolik, dan informasi. Masing-masing kotak kategori nilai tersebut terbentuk oleh konteks nilainya. Para peneliti dapat memberikan nilai sesuai dengan bidang kajiannya. Misalnya, nilai informasi dapat dilakukan melalui sebuah penelitian formal bidang arkeologi, sejarah, seni, sejarah arsitektur, dan folklor. Penelitian mengenai pemasaran sumber daya budaya untuk kepentingan ekonomi, misalnya melalui pengembangan pariwisata, dapat dilakukan oleh para ekonom. Penelitian tentang pengetahuan tradisional, tradisi lokal, mitologi dan lain-lain dapat dikaji untuk memberikan nilai asosiatif atau simbolik. Selain itu, dapat pula dilakukan kajian pemberian makna nilai estetika. Kajian hukum yang memberikan perlindungan terhadap sumber daya budaya dijelaskan harus pula sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Kesemuanya itu harus berakhir pada suatu konsep bagaimana masyarakat memahami dan dapat memberikan apresiasinya kepada warisan budaya serta dapat memberikan kesejahteraan dalam kehidupannya.

Apa yang diajukan oleh Lipe itu merupakan gambaran bahwa manajemen sumber daya budaya merupakan kajian interdisiplin. Tidak dapat dikesampingkan bahwa pengembangan konsep manajemen sumber daya arkeologi tidak dapat dilepaskan dari aspek legal dan administrasi seperti juga ditekankan oleh Cleere (1984: 125) bahwa: “The form of any cultural resource management is determined by the administrative and legislative framework of the country in which it operates”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kajian yang dilakukan oleh para peneliti berbagai bidang ilmu harus pula disampaikan kepada pengelola cagar budaya agar semua kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan kepentingan semua pemangku kepentingan.


Catatan:

[1] K. Smardz. “The past through tomorrow: interpreting Toronto”s heritage to a multicultural public”. Dalam Jameson, J (ed), Presenting Archaeologyto the public: Digging for Truth. London: AltaMira Press. 1997 diacu oleh Merriman (2004).

[2] Sumber: UNESCO 2010

[3] Perpres No. 19 Th 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam menetapkan bahwa PANNAS terdiri atas komponen Depbudpar, Dep. Kelautan dan Perikanan, Dep. Pertahanan, Depdagri, Dep. Perindustrian, Dep. Keuangan, Deplu, Dep. Perdagangan, Dep. Hukum dan HAM, Dep. Perhubungan, Dep. Tenaga Kerja dan Transmigrasi, TNI AL, Sekretaris Kabinet, Polri, dan Kejaksaan Agung.


Daftar Acuan

Cleere, Henry F. 1990. Introdudtion: the rationale of archaeological management, dalam Henry F. Cleree(ed), Archaeological heritage management in the modern world. London :Unwin-Hyman.

Dean, David. Museum Exhibition: Theory and Practice. London: Routledge, 1994.

Edi Sedyawati. Warisan Budaya Intangible yang Tersisa dalam yang Tangible. Ceramah Ilmiah Arkeologi disampaikan pada tanggal 18 Desember 2003 di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok.

Florida. Hlm.3-19Carmichael, David L., dkk (eds). Sacred Sites, Sacred Places. London & New York: Routledge.1994.

Fowler, Don D., Cultural Resource Management. Dalam Advaces in Archaeological Method and Theory. Vol 5.1982 Academic Press Inc. Hlm 1

Hodder, I. 1999. The Archaeological process, an introduction. Oxford:Blackwell

Hooper-Greenhill, Eilean (ed.). The Educational Role of the Museum, 2nd ed.. London: Routlegde, 1994.

ICOM. The ICOM Code of Professional Ethics diadopsi pada 15th General Assembly of ICOM Meeting, Buenos Aires, Argentina, 4 November 1986, diamandemen tahun 2001, dan direvisi pada bulan Oktober 2004 di Seoul, Republic of Korea.

Lipe, William D. Value and Meaning in Cultural Resources. Dalam Approaches To The Archaeological Heritage: A Comparative Study Of World Cultural Resource Management Systems, Henry Cleere (ed.), Hlm 1-11. Cambridge: Cambridge University Press. 1984

Little, Barbara J. 2002. Archaeology as a shared vision, dalam Barbara J. Little (ed) Public benefits of Archaeology. Gainnerville. University Press of Mensch, P. Van. “Museology and Management: Enemis or Friends. Current Tendencies in Theoretical Museology and Museum Management in Europe”, keynote speech dalam konferensi tahunan ke-4 Japanese Museum Management Academy 7 Desember 2003 di Tokyo.

Merriman, Nick (ed.). Public Archaeology. London & New York: Routledge. 2004.

Preucel, Robert W. dan Ian Hodder. Contemporary Archaeology in the Theory: A Reader. Oxford dll: Blackwell Publishing. 1996

Renfrew, Collin dan Paul Bahn. 2004. Archaeology: Theories Methods and Practice. London: Thames & Hudson.

Smith, Laurajane. Archaeological Theory and The Politics of Cultural Heritage. London & New York: Routledge. 2004.

Wheeler, R.E.M. Archaeology from the Earth. London: Penguin Books. 1954.

Peraturan dan perundang-undangan
Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage 2001

Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Kep PANAS Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga No. Kep.-4/PN/BMKT/1989 tentang Ketentuan Pelaksanaan Kepres No. 43 th 1989,

Kep PANAS Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga No. KEP-25/PN/BMKT/7/ 1991 Tentang Penetapan Jarak (Radius) Lokasi Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga

Kep PANAS Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga No. KEP-11/PN/BMKT/8/1990 tentang Ketentuan Teknis Pelaksanaan Pengangkatan Benda Berharga yang Berada di Daratan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam

SK Gubernur DKI No. 475/1993 tentang Bangunan yang Dilindungi Undang-Undang.

Perda DKI Jakarta No. 9 tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya.

*MAKALAH PIA 2011